Sumber : Blog Sebelah (Sahabalit), Maaf pada pemilik blog belum ijin share coz di blognya tidak ada kolom comment sih.. Judul Asli (wawancara dengan Bpk. Idrus Ramli)
Isi makalah yang kami baca jika dikaitkan dengan judulnya, kami
menyimpulkan kalau jenengan memandang hilafah hanyalah nostalgia. Benarkah
kesimpulan kami seperti ini?
Jadi persoalan khilafah sebenarnya
hanyalah satu persoalan kecil diantara sekian persoalan umat islam yang
sekarang ini tidak bisa ditarapkan. Tidak bisa diterapkan ini bukan karena
tidak wajib. Tapi karena memang kita tidak punya kemampuan untuk menegakkan
hilafah. Berhubung didalam agama itu kewajiban selalu di kaitkan dengan
kemampuan, sebagaimana Imam Haromaim dalam kitab Al-Goyasi beliau
mengatakan:
نصب الامام عند امكان الواجب
artinya: mengangkat imam itu wajib ketika memang mampu, kalau tidak mampu, ya berarti tinggal
nostalgia.
Dari ketidak mungkinan menurut jenengan khilafah hanyalah nostalgia,
bukankah dari ketidak mungkinan ini seharusnya kita memperjuangkannya dan
membuatnya menjadi mungkin?
Saya kira tidak seperti itu, karena kalau kita lihat, yang menjadi
sumber utama tidak adanya kesadaran masyarakat kepada tatbiqussyariat
secara umum dan mendirikan khilafah secara khusus, itu karena memang ilmu agama
kurang diminati oleh masarakat. Jadi kalau kita tidak mampu menegakkan kilafah,
kewajiban kita bukanlah untuk memperjuangkan tegaknya kilafah tetapi nasrul
ilmi. Berbicara masalah khilafah secara sosial politik kita juga tidak mampu,
karena memang kilafah itu sekupnya internasional, dan apakah bisa?, bisa atau
tidak, itukan perlu kesadaran. Dari sini biasanya orang terjebak dengan
slogan–slogan HTI, padahal tidak seperti
itu. Artinya, kesadaran itu butuh ilmu pengetahuan. Jadi yang kita perjuangkan
adalah menyebarkan ilmu pengetahuan. Ketika khilafah itu tidak ada agama kita
tidak memerintahkan kita untuk memperjuangkannya, tapi agama memerintahkan kita
untuk attamsuk berpegang teguh dengan ajaran ahli sunnah wal jamaah dan
menyebarkan ajarannya.
Meskipun nasrul ilmi yang seharusnya menjadi fokus kita, tetapi
apakah berjuang melalui jalur politik sama sekali tidak diperlukan?
Menurut saya didalam berjuang itu yang lebih baik bukan lewat jalur
politik, tetapi lewat pesantren dan pengajian-pengajian
kitab kuning. Karena tampilnya seorang imam atau pemimpin yang adil itu
tergantung dari kondisi rakyat, jadi pemimpin itu miniatur gambaran kecil dari
kondisi rakyat. Karenanya didalam Al-quran
ada ayat:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ
بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: deminianlah kami jadikan pemimpim yang dzolim bagi
sebagian orang yang dzolim sebab apa yang mereka lakukan. Imam Fakhrurrozi dalam tafsirnya menjelaskan:
ketika rakyat itu dzolim pemimpinnya juga dzolim, kalau rakyat menginginkan
pemimpin yang adil rakyat haruslah bertaubat kepada Allah, dan bertaubat itu tentunya butuh ilmu pengetahuan. Metodologi seperti
inlah yang sebenarnya banyak dipaparkan imam Ghozali dalam kitab Ihya’
Ulumuddin. Jadi munculnya pemimpin yang adil itu bukan karena diperjuangkan
lewat jalur politik tetapi dari jalur pendidikan guna memperbaiki kondisi
rakyat, sehingga muncullah pemimpin yang baik pula .
Jadi menurut jenengan yang salah dari HTI itu dari konsep
perjuangannya atau dari ideologinya?
Saya kira HTI itu salah semua, salah dari konsep perjuangan seperti
itu yang seharusnya tidak perlu. mengapa demikian?, karena untuk
menyadarkan masyarakat itu yang dibutuhkan adalah ilmu pengetahuan, jadi yang
sebenarnya diperlukan adalah perjuangan nasrul ilmi. Dan dari sisi ideology pun
HTI juga banyak yang melenceng, misalnya masalah qodo' dan qodar, mereka sama
sekali tidak memperhatikan dan tidak menganggap qodo' dan qodar sebagai rukun
iman sehingga rukun iman menurut mereka hanya ada lima. Dan masih banyak lagi
ideologi-ideologi mereka yang melenceng. Inilah yang menjadi persoalan kita. HTI
itu berjuang tetapi perjuangannya ngawur. Ketika dulu Khomaini jadi presiden
Iran pimpinan HTI minta supaya Khomaini jadi seorang khilafah, padahal khomaini
tidak percaya Al-Quran . lha kalo pemimpinnya tidak percaya Al-Quran, gimana
nanti uamt islam ???
Jadi perbedaan perjuangan HTI dengan kita, kalau HTI perjuangannya
dari atas artinya pemerintahan ditegakkan dulu dan setelah berhasil System
Negara atau undang-undang dirubah kemudian setelah itu rakyat diperbaiki
melalui mesin kekuasaan. Kalau kita
dari bawah artinya masarakat kita didik agar sholat dengan baik dan lain sebagainya,
sebab dalam Al-quran
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ
Artinya: bahwa sesungguhnya
sholat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar .
Dari Malik Bin Dinar beliau mengutip firman-firman allah dari kitab
samawi sebelumnya:
أنا الله ملك الملوك، ومالك الملوك وقلوب
الملوك ونواصيهم بيدي فإن العباد أطاعوني جعلتهم عليهم رحمة وإن عصوني جعلتهم
عليهم عقوبة فلا تشتغلوا بسب الملوك ولكن توبوا إليَّ أعطفهم عليكم
Akulah pemilik kerajaan dan rajanya para raja, hati dan ubun-ubun para
raja ada pada kekuasaanku. barang siapa tho’at padaku maka aku jadikan pemimpn
itu rohmat baginya, dan barang siapa maksiat padaku aku jadikan pemimpin itu
malapetaka baginya, maka kamu jangan sibuk memaki pemimpin , tetapi tobatlah
kepadaku maka akan aku jadikan hati penguasa lembut padamu.
Lha sekarang dibuletin-buletinnya HTI malah sibuk membicarakan
penguasa dan sistem-sistemnya. Tidak seperti kita yang mendidik masarakat menjadi
baik.
Perlu diketahui, didalam Hadis, khilafah yang syar’iyah itu hanya
ada selama 30 tahun. Yaitu pada masa Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar,
Sayyidina Ustman, Sayyidina Ali. Setelah itu bukan khilafah lagi, tapi “Mulk atau Kerajaan” meskipun secara formal di
panggil khilafah tetapi sistam pemerintahannya sudah kerajaan.
1 komentar:
http://www.titokpriastomo.com/peristiwa/tawaran-hizbut-tahrir-kepada-khomeini.html
Post a Comment