Judul asli
"AL-KUTUB AL-MU’TABARAH DI LINGKUNGAN NU DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN"
Penulis Ust. Moh. Najib Albuchori
"AL-KUTUB AL-MU’TABARAH DI LINGKUNGAN NU DAN IMPLEMENTASINYA DI LAPANGAN"
Penulis Ust. Moh. Najib Albuchori
Pendahuluan
Adalah hal yang wajar jika setiap komunitas ilmiah memiliki standar referensi: referensi mana yang layak dipakai dan referensi mana yang tidak layak dipakai. Dalam kajian hadis misalnya, Syiah menetapkan kitab klasik sebagi referensi otorotatif, yaitu: al-Kāfī karya al-Kulaynī, Man Lā Yaḥḍuruhu al-Faqīh karya al-Qummī, al-Tahdhīb dan al-Istibṣār keduanya karya al-Tūsī. Sementara di kalangan Ahlussunnah dikenal al-kutub al-sittah atau al-tis’ah sebagai rujukan otoritatif di bidang hadis. Di kalangan Wahabi karya klasik Abu Hamid al-Ghazali, al-Rāzī dan Tāj al-Dīn al-Subkī masuk dalam daftar kitab terlarang. Demikian pula karya kontemporer Abduh dan Muhammad al-Ghazali masuk dalam daftar cekal di lingkungan Wahabi.
Fenomena yang sama juga terjadi di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Di pesantren NU, karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim termasuk kitab yang tidak lazim digunakan sebagai referensi. Bahkan Karya tafsir Ibnu Kathir, seorang penganut mazhab Syafi’i, juga kena cekal, karena kedekatan ideologisnya dengan kedua tokoh di atas. Dari ulama moderen, nama Afghani, Abduh, Rashid Ridho dan Jamaluddin al-Qāsimī termasuk nama-nama yang masuk daftar cekal. Demikian pula fikih Sayyid Sabiq dan Subul al-Salām Sharḥ Bulugh al-Marām karya al-Ṣan’ānī termasuk kitab yang tidak lazim dipelajari di pesantren. Kitab-kitab tersebut di atas tidak lazim dipelajari di pesantren atau bahkan sekedar menjadi bahan bacaan, apalagi sebagai referensi dalam baḥth al-masā`il.
Di lingkungan NU standarisasi kitab yang boleh dipelajari dan dijadikan referensi dikenal dengan istilah al-kutub al-mu’tabarah. Terminologi al-kutub al-mu’tabarah menjadi instrumen penting dalam sistem pengambilan keputusan fatwa pada baḥth al-masā`il yang diselenggarakan di lingkungan NU. al-kutub al-mu’tabarah juga menjadi acuan dalam menentukan kitab-kitab yang dipelajari di pesantren NU.
Landasan Rasional-Ideologis Perumusan al-Kutub al-Mu’tabarah
Secara formal terminologi al-kutub al-mu’tabarah telah disinggung dalam salah satu pasal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU tahun 1926 sebagai berikut, “Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja dikatahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah”. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan kata al-kutub al-mu’tabarah, tetapi pasal di atas jelas memperlihatkan upaya pemabatasan akses terhadap kitab-kitab yang beredar.
Pembatasan akses dimaksud di atas ditegaskan dalam hasil keputusan Munas Alim Ulama NU 1983 di Situbondo. Berdasarkan keputusan Munas tersebut, yang dimaksud al-kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab mazhab empat. Dalam perumusan tersebut tampak bahwa klasifikasi al-kutub al-mu’tabarah lebih ditekankan pada persoalan fikih. Rumusan yang lebih luas diputuskan dalam Munas Bandar Lampung 1992 yang menegaskan bahwa al-kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal jama’ah.
Sejatinya restriksi akses kitab yang dilakukan NU merupakan konsekwensi logis dari tiga pilar keagamaan yang diusungnya, yaitu: dalam Aqidah mengikuti al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam hal fikih mengikuti salah satu dari empat mazahab, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal; dan dalam hal tasawuf mengikuti al-Ghazali dan al-Junaid. Berdsarkan hal tersebut, keputusan NU tentang al-kutub al-mu’tabarah dapat dibaca sebagai penjabaran implementatif dari tiga pilar keagamaan yang diusungnya.
Jika ditarik lebih ke belakang lagi, tiga pilar keagamaan NU sejatinya merupakan upaya untuk membendung gerakan pembaruan yang digelorakan Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani serta gerakan purifikasi keagamaan yang dikampanykean Wahabi. Dua gerakan tersebut berpotensi mengancam keberlangsungan ideologi dan praktik keagamaan yang pada saat itu menjadi arus utama keagamaan di kalangan umat Islam dan dianut oleh ulama dari kalangan NU. Dengan asumsi bahwa perumusan al-kutub al-mu’tabarah merupakan penjabaran implementatif dari tiga pilar keagamaan NU, maka perumusan al-kutub al-mu’tabarah merupakan upaya untuk membendung penetrasi pemikiran pembaruan dan purifikasi keagamaan melalui karya literal.
Dengan demikian dapat diduga bahwa perumusan al-kutub al-mu’tabarah pada awalnya dimaksudkan untuk mencekal (mencegah dan menangkal) karya-karya ulama pembaharu, seperti Muhammad Abduh, Rashid Ridlo, Jamaluddin al-Qasimi dan karya-karya ulama yang ditokohkan oleh gerakan purifikasi, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim.
Pencekalan yang dilakukan NU bukanlah hal baru dalam sejarah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Abdul Qahir al-Baghdādī dalam al-Farq Bayn al-Firaq membagi firqah nājiyah ke dalam delapan golongan. Dalam penjelasannya, Abdul Qahir menyebutkan beberapa kriteria yang dapat dipahami sebagai upaya mengeluarkan kelompok-kelompok tertentu dari lingkaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pada golongan pertama misalnya, dijelaskan bahwa mutakallimīn ahlussunnah adalah yang terbebas dari pendapat bid’ah Rāfiḍah, Khawārij dan Jahmiyyah. Pada golongan kedua juga dijelaskan bahwa ulama fikih yang termasuk ahlussunnah adalah mereka yang pendapatnya terbebas dari pendapat Qadariyah dan Mu’tazilah. Di samping itu ciri ulama fikih ahlussunnah adalah berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sah, hal mana mengindikasikan keluarnya Syiah dari lingkaran Ahlusunnah. Dengan demikian Abdul Qahir mengeluarkan Rāfiḍah, Khawārij, Qadariyah, Mu’tazilah dan Syiah dari lingkaran Ahlussunnah.
Abdul Qahir bahkan menyebutkan nama-nama yang termasuk kelompok Ahlussunnah. Dalam penjelasannya tentang golongan kedua misalnya, Abdul Qahir menyebut sejumlah nama ulama fiqih yang termasuk ahlussunnah, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, Auza’i, Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal dan pengikut mazhab Abu Daud al-Ẓahirī. Demikian pula pada penjelasan tentang golongan kedelapan, Abdul Qahir menyebut sejumlah nama yang termasuk ahlussunnah, di antaranya adalah al-Khalīl, Ibnu al-‘Alā` dan Sibawaih.
Penyebutan kelompok, nama dan kriteria tersebut di atas dapat dipahami sebagai upaya untuk membuat oposisi biner antara “kami” dan “mereka”. Pada gilirannya klasifikasi “kami” dan “mereka menjadi acuan dalam menentukan, karya siapakah yang dapat dijadikan rujukan otoritatif, baik dalam pembelajaran maupun dalam memutuskan fatwa hukum.
Jadi, perumusan al-kutub al-mu’tabarah adalah upaya membendung penetrasi pemikiran melalui karya literal dari kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai “mereka”, baik dalam konteks pembelajaran maupun pengambilan keputusan fatwa hukum
Implementasi al-Kutub al-Mu’tabarah di Lapangan
Meskipun NU telah mengeluarkan keputusan tentang al-kutub al-mu’tabarah, namun tidak ditemukan satu keputusan pun baik dari NU mapun lembaga lain yang berafiliasi dengan NU, tentang daftar kitab yang bisa menjadi rujukan dalam baḥth al-masā`il dan diperbolehkan diajarkan di sekolah-sekolah NU. Seolah-olah sudah ada kesepakatan tidak tertulis tentang siapakah yang termasuk ulama ahlussunnah dan siapa yang tidak termasuk. Pada tataran praktis penentuan al-kutub mu’tabarah bisa berbeda antara satu institusi dengan institusi lain, antara aspek pembelajaran dan aspek fatwa, bahkan bisa berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam fikih misalnya, apakah mazhab Abu Daud al-Ẓahirī termasuk termasuk golongan ahlussunnah? Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H.) sebagaimana dijelaskan di atas memasukkan pengikut al-Ẓahirī ke dalam golongan Ahlussunnah. Dalam berbagai kitab di lingkungan mazhab Syafi’i dikutip pendapat Ibnu al-Ṣalāḥ (w. 643 H.) yang mengatakan bahwa mazhab fikih yang dapat diikuti hanya mazhab empat saja. Alasannya, selain mazhab empat, transmisi intelektual yang besambung kepada pendiri mazhab tidak kredibel. Dengan perkataan lain, alasan penolakan terhadap selain empat mazhab, bukan karena mereka tidak termasuk golongan ahlussunnah, melainkan karena klaim bahwa pendapat tertentu adalah pendapat mazhab atau sejalan dengan mazhab tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sementara Tāj al-Dīn al-Subkī (w. 771 H.) menyerang pendapat-pendapat Ibnu Hazm, dan darinya berkembang persepsi bahwa Ibnu Hazm yang merepresentasikan mazhab al-Ẓahirī tidak termasuk mu’tabar.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa penentuan al-kutub al-mu’tabarah pada tataran praktis bersifat problematik. Dalam konteks kekinian, jika ditanyakan, apakah mazhab al-Ẓahirī mu’tabar? Bisa jadi kalangan Nahdliyin menjawab “tidak mu’tabar”. Sejalan dengan jawaban tersebut, maka al-Muḥallā karya Ibnu Hazm (w. 456 H.) yang merepresentasikan mazhab al-Ẓahirī juga tidak mu’tabar. Tetapi ketika ditanyakan, apakah pendapat mazhab al-Ẓahirī boleh dikutip dalam pembelajaran, tentu kalangan Nahdliyin menjawab, “boleh”. Sebab, faktanya pendapat-pendapat al-Ẓahirī memang dikutip di beberapa kitab yang diajarkan di pesantren.
Di sisi lain, keputusan bahwa kitab tertentu termasuk dalam mazhab yang mu’tabar tidak serta merta diikuti dengan keputusan bahwa pendapat-pendapat pengarang kitab tersebut juga diterima sebagai referensi baḥth al-masā`il. Ada filter berikutnya yang menghadang kitab-kitab tertentu, yaitu kewajiban untuk mengambil pendapat yang aṣaḥḥ. Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir karya al-Suyūṭī tentu termasuk kitab yang mu’tabar, karena faktanya kitab tersebut diajarkan di banyak pesantren. Demikian pula karya-karya fikih al-Ghazali, seperti al-Basīṭ tentu juga masuk dalam daftar kitab mu’tabar. Namun demikian, tidak seluruh pendapat yang ada dalam kitab tersebut dapat diterima sebagai referensi baḥth al-masā`il.
Dalam pedoman tarjīḥ yang berkembang di kalangan mazhab Syafi’i, tarjīḥ al-Nawawi dan al-Rafi’i demikian pula tarjīḥ al-Haytami dan al-Ramli menjadi acuan dalam menentukan pendapat yang aṣaḥḥ. Dengan demikian pendapat mazhab yang muncul sebelum era al-Nawawi dan al-Rafi’i sulit diterima sebagai referensi dalam baḥth al-masā`il. Karena alasan itulah, pendapat-pendapat fikih al-Ghazali tidak ditemukan dalam referensi-referensi baḥth al-masā`il.
Penelitian yang dilakukan Ahmad Zahro menunjukkan bahwa dalam rentang 1926-1999 terdapat 153 kitab yang menjadi rujukan baḥth al-masā`il muktamar NU, dengan frekwensi perujukan 825 kali. Dari 153 kitab yang menjadi rujukan, 109 (71,2 %) di antaranya merupakan kitab-kitab yang berafiliasi kepada mazhab Syafi’i. Kemudian dari 825 frekwensi perujukan, 755 kali (91,5 %) merujuk kepada kitab-kitab Syafi’iiyah.
Dari 755 frekwensi perujukan kepada kitab-kitab Syafi’iyyah, 82 kali (10,9 %) di antaranya merujuk ke I’ānah al-Ṭālibīn dan 173 kali (22,9 %) merujuk ke kitab-kitab serumpun dalam keluaga al-Muḥarrar. Jika data yang ditemukan Ahmad Zahro diperinci lagi, maka yang dimaksud keluarga al-Muḥarrar justru tidak memasukkan al-Muḥarrar itu sendiri. Memang pada praktiknya baḥth al-masā`il jarang merujuk langsung ke karya al-Nawawi, lebih jarang lagi merujuk kepada al-Rafi’i, bahkan mungkin tidak ada. Akan lebih tepat jika dikatakan 173 kali merujuk ke kitab serumpun keluarga Minhāj al-Tālibīn. Sebab faktanya yang menjadi rujukan adalah sharḥ, ḥāshiyah dan Ikhtiṣār dari Minhāj al-Tālibīn.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa meskipun beberapa kitab telah dinyatakan sebagai mu’tabar, tetapi tidak dijadikan rujukan. Bisa jadi problem akses kitab menjadi alasan mengapa beberapa kitab mu’tabar tidak muncul sebagai rujukan dalam baḥth al-masā`il. Tetapi sulit diingkari bahwa filter aṣaḥḥ sebagaimana disebutkan di atas menjadi salah satu faktor bahkan bisa jadi faktor utama, kenapa beberapa kitab tidak dijadikan rujukan dalam baḥth al-masā`il. Filter aṣaḥḥ juga menjelaskan mengapa rujukan baḥth al-masā`il terkonsentrasi di sekitar rumpun Minhāj al-Tālibīn. Sebab, kitab-kitab itulah yang menyediakan penilaian tentang pendapat aṣaḥḥ, setidaknya menurut pemikiran yang berkembang di kalangan pengikut mazhab Syafi’i.
Di sinilah mucul istilah al-kutub al-mu’tamadah fi al-Madhhab atau kitab-kitab otoritatif yang merepresantasikan pendapat Mazhab. Kitab-kitab fikih al-Ghazali mu’tabar tetapi tidak mu’tamad dalam merepresentasikan pendapat mahab Syafi’i. Demikian pula fikih al-Rowyani dan al-Qaffal. Tentang hal ini Ibnu Hajar al-Haytami menegaskan bahwa kitab-kitab yang lahir sebelum Rafi’i dan Nawawi tidak dapat dijadikan pegangan yang merepresentasikan mazhab Syafi’i kecuali telah dilakukan kajian yang mendalam hingga diyakini bahwa pendapat-pendapat dalam kitab tersebut adalah pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut:
Secara ideologis perumusan al-kutub al-mu’tabarah adalah bagian dari upaya NU untuk membendung penetrasi pemikiran yang tidak sejalan dengan ideologi keagamaan yang diusung NU.
Pada tataran praktis penilaian mu’tabar bisa berbeda antara satu ulama dengan ulama lain. Terkait hal tersebut al-kutub al-mu’tabarah dapat dikalsifikasikan menjadi tiga, yaitu: kitab-kitab yang disepakati mu’tabar; kitab-kitab yang disepakati tidak mu’tabar; dan kitab-kitab yang diperdebatkan kemu’tabar Perbedaan pendapat ulama tentng kemu’tabaran suatu kitab bersumber dari parameter yang digunakan untuk mengukur kemu’tabaran tersebut.
Kitab-kitab yang dinilai mu’tabar dalam konteks pengajaran tidak serta merta juga mu’tabar dalam konteks baḥth al-masā`il.
Penilaian mu’tabar tidak hanya dikenakan pada kitab, tetapi juga pada pengarang dan pendapatnya
Penilaian mu’tabar terhadap suatu kitab tidak dengan serta merta menjadikan kitab tersebut sering dirujuk dalam baḥth al-masā`il. Sebab, faktor pemilihan pendapat aṣaḥḥ atau mu’tamad fi al-madhhab menjadi pertimbangan paling dominan dalam menentukan kitab mana yang dijadikan rujukan. Karena itulah dalam baḥth al-masā`il di lingkungan NU, kitab serumpun Minhāj al-Tālibīn mendominasi daftar referensi keputusan baḥth al-masā`il.
Pada tataran praktis penilaian mu’tabar bisa berbeda antara satu ulama dengan ulama lain. Terkait hal tersebut al-kutub al-mu’tabarah dapat dikalsifikasikan menjadi tiga, yaitu: kitab-kitab yang disepakati mu’tabar; kitab-kitab yang disepakati tidak mu’tabar; dan kitab-kitab yang diperdebatkan kemu’tabar Perbedaan pendapat ulama tentng kemu’tabaran suatu kitab bersumber dari parameter yang digunakan untuk mengukur kemu’tabaran tersebut.
Kitab-kitab yang dinilai mu’tabar dalam konteks pengajaran tidak serta merta juga mu’tabar dalam konteks baḥth al-masā`il.
Penilaian mu’tabar tidak hanya dikenakan pada kitab, tetapi juga pada pengarang dan pendapatnya
Penilaian mu’tabar terhadap suatu kitab tidak dengan serta merta menjadikan kitab tersebut sering dirujuk dalam baḥth al-masā`il. Sebab, faktor pemilihan pendapat aṣaḥḥ atau mu’tamad fi al-madhhab menjadi pertimbangan paling dominan dalam menentukan kitab mana yang dijadikan rujukan. Karena itulah dalam baḥth al-masā`il di lingkungan NU, kitab serumpun Minhāj al-Tālibīn mendominasi daftar referensi keputusan baḥth al-masā`il.
Wa Allah a’lam bi al-ṣowāb.
Sarang, 21 Desember 2015
0 komentar:
Post a Comment