Setiap orang berhak menjual atau tidak menjual apa yang dimilikinya. Demikian pula setiap orang berhak membeli atau tidak membeli apa yang diinginkannya. Hal ini ditegaskan dalam Quran:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (an-Nisa’:29). Hal ini juga ditegaskan dalam Hadis: “sesungguhnya jual beli hanya bisa dilakukan atas dasar suka sama suka”. (Ibnu Majah:2176). Rasulullah juga melarang jual beli yang dilakukan dalam keadaan terpaksa seperti diceritakan Ali bin Abi Thalib. (Abu Daud:2935).
Lebih dari itu, Rasulullah sebagai pribadi maupun pemimpin memperlihatkan bagaimana beliau tidak memaksa orang lain untuk menjual barangnya. Dalam perjalanan hijrah ke Madinah, Rasulullah bermaksud mendirikan masjid di atas tanah yang dimiliki Bani Najjar. Lalu Rasulullah meminta kepada Bani Najjar agar menawarkan tanahnya. Tetapi Bani Najjar tidak bermaksud menjualnya dan hanya bersedia mewafakafkannya. (Bukhori:410). Versi lain menyebutkan bahwa Rasulullah membayarnya dengan 10 dinar. (Thabaqat Ibnu sa’ad). Kisah ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghormati hak milik orang lain dan tidak mencabutnya dari pemiliknya, meskipun itu untuk kepentingan umum. Rasulullah bahkan tidak memiliki privilege yang mengharuskan orang lain menjual barangnya kepada beliau. Aisyah bercerita bahwa Rasulullah bermaksud membeli kain dari seorang Yahudi dengan pembayaran tempo, tetapi orang Yahudi tersebut menolaknya. (Tirmidzi:1134). Demikian pula Anas bin Malik menceritakan kisah yang sama, tetapi penjualnya adalah seorang Nasrani. (Ahmad:13070). Kebebasan yang dimiliki para pelaku pasar mencakup kebebasan menentukan harga tanpa campur tangan penguasa. Anas Bin malik bercerita bahwa pernah terjadi harga-harga membumbung pada masa Rasulullah. Lalu orang-orang berkata kepada beliau, “Tetapkanlah harga untuk kami”. Rasulullah menjawab, “Allah yang menetapkan harga, menyempitkan, melapangkan dan memberikan rizqi. Dan sesungguhnya aku berharap menghadap Allah dalam kondisi tiada seorangpun dari kalian menuntutku atas kedzaliman jiwa ataupun harta”. (Tirmidzi:1235). Rasulullah menolak menetapkan harga, bahkan mengkaitkannya dengan kedzaliman. Menjelaskan Hadis tersebut, Muhammad bin Abdul Hadi dalam Hasiyatus Sindy ala Ibni Majah menuturkan bahwa menetapkan harga sama dengan mengelola milik orang lain tanpa seijin pemiliknya. Dan itu termasuk kedzaliman. | Mungkin anda ingin baca yang ini : |
Asy-Syaukani dalam Nailul Author menyimpulkan bahwa menetapkan harga adalah kedzaliman. Menurutnya, setiap orang berkuasa atas hartanya dan menetapkan harga sama dengan pengekangan kepada pemilik hak. Disamping itu seorang penguasa berkewajiban melindungi kepentingan umat. Dan melindungi kepentingan konsumen dengan memurahkan harga tidaklah lebih utama ketimbang melindungi kepentingan produsen dalam mencapai harga yang diinginakannya. Ketika kepentingan kedua kelompok bernilai sama, maka penguasa harus membuka ruang bagi kedua kelompok untuk berusaha mencapai kepentingan masing-masing. Dan memaksa produsen menjual dengan harga yang tidak diinginkannya bertentangan dengan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (an-Nisa’:29).
Sedangkan Ibnu Taimiah dalam al-Ahisbah memberikan catatan bahwa jika pedagang tidak melakukan kedzaliman dan harga naik karena kelangkaan barang atau karena meningkatnya jumlah konsumen, maka memaksa pedagang menjual dengan harga yang ditetapkan adalah pemaksaan ilegal.
Kebebasan dimaksud di atas juga mengimplikasikan bahwa seseorang boleh menjual barang di bawah harga pasar. Kisah Umar bin Khattab sebagai amirul mu’minin dan Hatib bin Abi Balta’aah sebagai pedagang membenarkan implikasi tersebut. Suatu kali Umar bertemu Hatib di pasar sedang membawa dua kantong anggur. Umar menanyakan harga anggur tersebut. Hatib menjawab bahwa anggurnya dijual dengan harga 1 dirham per dua mud. Lalu Umar berkata kepada Hatib, “aku mendapat kabar, akan datang kafilah dagang dari Thaif membawa anggur. Dan mereka memperhitungkan hargamu. Karena itu naikkan hargamu atau bawa pulang anggurmu dan juallah (di rumahmu) sesukamu”. Sesampainya di rumah, Umar melakukan instropeksi, kemudian mendatangi Hatib di rumahnya. Umar berkata kepada Hatib,”apa yang aku katakan tadi bukanlah ma’rifah atupun keputusan, melainkan kebaikan yang aku inginkan untuk penduduk desa. Karena itu juallah di manapun dan bagaimanapun kamu mau”. Peristiwa itu menggambarkan bahwa semula Umar memang melarang dumping. Tetapi setelah dipikirkan kembali Umar memperbolehkannya. (Baihaqi)
Apakah kebebasan menentukan harga juga berimplikasi kepada kebebasan penjual dalam menentukan keuntungan yang diperolehnya tanpa ada batas maksimal berdasarkan prosentase ataupun nominal? Setidaknya terdapat dua hadis yang dapat digunakan untuk menelusuri hal tersebut. Pertama, Urwah al-Bariqy bercerita bahwa Rasulullah memberikan satu dinar kepadanya untuk membelikan Rasulullah seekor kambing. Dengan satu dinar Urwah membeli dua ekor kambing. Kemudian yang seekor dijual lagi dengan harga satu dinar. Lalu Urwah kembali dengan membawa seekor kambing dan satu dinar. Dan Rasulullah pun mendoakan berkah kepadanya. (Bukhori:3370). Dengan demikian Urwah telah menjual seekor kambing dengan keuntungan 100 persen. Dan apa yang dilakukan Urwah mendapat restu dari Rasulullah.
Kedua, Abdullah ibnu Zubair bercerita bahwa ketika meninggal, ayahnya memiliki hutang 1.200.000 dan meninggalkan warisan beberapa tanah dan rumah. Salah satu tanah yang diwariskan adalah tanah di ghobah yang dibeli Zubair ibnu Awwam seharga 170.000. Kemudian Abdullah mengkapling tanah tersebut menjadi beberapa kapling dan setiap kapling dijual seharga 100.000. Beberapa kapling diantaranya dijual kepada Abdullah ibnu Ja’far, Amr ibnu Utsman, Mundzir ibnu Zubair, Abdullah Ibnu Zam’ah dan Muawiyah. Dari penjualan seluruh kapling diperoleh uang 1.600.000. (Bukhori:2897). Berarti laba yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut adalah 941 persen. Dari kedua Hadis tersebut, tampaknya sulit disimpulkan bahwa laba perdagangan memiliki batas maksimal yang ditentukan.
Seluruh informasi di atas menngambarkan bahwa para pelaku pasar memiliki kebebasan dalam menentukan harga, dan bahwa pihak pembeli/konsumen tidaklah lebih diutamakan di atas pihak penjual/produsen. Konsekwensinya adalah bahwa pemerintah tidak seharusnya melakukan intervensi baik untuk kepentingan pembeli maupun penjual. Dalam keadaan demikian maka mekanisme pembentukan harga akan sangat ditentukan oleh preferensi para pelaku pasar. Dan pada gilirannya pembentukan harga akan ditentukan oleh faktor permintaan dan penawaran. Bahkan secara eksplisit Ibnu Taimiyah (al-hisbah) menyebutkan bahwa terbentuknya harga karena permintaan dan penawaran adalah sesuatu yang dapat diterima.
Moh Najib Buchori dalam Gagasan
Tambahan :
Syaikhina Maimoen pernah mewasiati pada slah satu santri dalam urusan berdagang, “Nek Njukuk Bati Ojo Sampek Luwih Ko 50% yo Marai ga’ Barokah”
Kira2 Seperti itu kurang lebihnya.
Mari kita tela’ah lebih lanjut kenapa keuntungan diatas 50% ini tidak membawa Berkah, ada apa disitu??? yang jelas dalam bidang perdagangan pastinya yang diutamakan adalah keridloan sang penjual dan pembeli, tapi apa yang terjadi kalau si pembeli ini tahu kalau ternyata sang penjual ini menjual barangnya terlalu mahal, pasti akan menimbulkan kekecewaan pada sang pembeli dari sinilah pendapatan melimpah tidak akan menjadi berkah.
Monggo sami2 ngedol barang sing murah2 ojo njukuk bati akeh2
0 komentar:
Post a Comment