KH. Aufal Marom Kholil
Tadarruj merupakan salah satu metode yang digunakan oleh al-Qur’an untuk mengubah masyarakat. Dengan metode ini, al-Qur’an dapat membersihkan masyarakat dari pola pikir dan tingkah laku yang buruk. Salah satu kesuksesannya adalah bersihnya masyarakat pada masa itu dari minuman keras yang merugikan. Al-Qur’an melakukannya secara bertahap dari halal sampai haram. Negara adikuasa pun seperti Amerika tidak dapat memberantasnya. Dalam kajian ini, penulis mendeskripsikan metode tadarruj dalam al-Qur’an dan aktualisasi metode tersebut. Aktualisasi metode tadarruj pada masa walisongo merupakan salah satu penyebab keberhasilan walisongo mengubah masarakat hindu-buda menjadi masyarakat Islam.
Pendahuluan
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمّد وعلى اله وصحبه اجمعين وبعد:
Segala puji kita panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan segala nikmatnya berupa nikmat Iman, Islam dan tentunya nikmat sehat sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Solawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada Insan Kamil Nabi Agung Muhammad s.a.w. serta ahlulbait dan para sahabatnya.
Al-Qur’an merupakan mukjizat yang agung bagi umat manusia. Keserasian antar ayat al-Qur’an, keindahan susunan kata, sehingga metode yang digunakan untuk mendidik dan melakukan perubahan sangat mengagumkan. Tidak ada karya yang dapat menandingi al-Qur’an, selama 15 abad yang lalu, dan tidak akan ada selama-lamanya.
Kitab suci al-Qur’an telah mencetak sejarah emas atas keberhasilannya membersihkan masyarakat dari perilaku-perilaku yang membahayakan secara ruhani dan jasmani, maupun dunyawi dan ukhrawi. Bahkan sampai saat ini, masih bisa dirasakan manfaatnya oleh umat Islam di penjuru dunia. Salah satu keberhasilan al-Qur’an adalah membersihkan masyarakat dari kebiasaan buruk meminum khamr (minuman keras) yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat.
Keberhasilan yang hebat ini bahkan tidak bisa diperoleh oleh negara adikuasa sekalipun, seperti Amerika. Meski telah mengerahkan segala kemampuan untuk membasmi minuman keras pada tahun 1919, Amerika tetap saja gagal menghilangkan minuman keras sedikitpun kepada masyarakatnya. Lalu bagaimana metode al-Qur’an memutar kondisi masyarakat sampai 180 derajat ini? Jawabnya, dengan tadarruj (gradual, bertahap). Ya, dengan tadarruj disertai dengan hikmah, al-Qur’an dapat melakukan itu. Dalam kesempatan ini, mari kita uraikan bersama mengenai tadarruj dalam al-Qur’an, agar menjadi jelas adanya.
Al-Qur’an merupakan mukjizat yang agung bagi umat manusia. Keserasian antar ayat al-Qur’an, keindahan susunan kata, sehingga metode yang digunakan untuk mendidik dan melakukan perubahan sangat mengagumkan. Tidak ada karya yang dapat menandingi al-Qur’an, selama 15 abad yang lalu, dan tidak akan ada selama-lamanya.
Kitab suci al-Qur’an telah mencetak sejarah emas atas keberhasilannya membersihkan masyarakat dari perilaku-perilaku yang membahayakan secara ruhani dan jasmani, maupun dunyawi dan ukhrawi. Bahkan sampai saat ini, masih bisa dirasakan manfaatnya oleh umat Islam di penjuru dunia. Salah satu keberhasilan al-Qur’an adalah membersihkan masyarakat dari kebiasaan buruk meminum khamr (minuman keras) yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat.
Keberhasilan yang hebat ini bahkan tidak bisa diperoleh oleh negara adikuasa sekalipun, seperti Amerika. Meski telah mengerahkan segala kemampuan untuk membasmi minuman keras pada tahun 1919, Amerika tetap saja gagal menghilangkan minuman keras sedikitpun kepada masyarakatnya. Lalu bagaimana metode al-Qur’an memutar kondisi masyarakat sampai 180 derajat ini? Jawabnya, dengan tadarruj (gradual, bertahap). Ya, dengan tadarruj disertai dengan hikmah, al-Qur’an dapat melakukan itu. Dalam kesempatan ini, mari kita uraikan bersama mengenai tadarruj dalam al-Qur’an, agar menjadi jelas adanya.
1. Definisi Tadarruj
Tadarruj menurut bahasa berarti “naik, maju, atau meningkat secara berangsur-angsur”.[1] Begitu pula dalam al-Munjid, dikatakan tadarraja ilā kadzā berarti taqaddama ilaihi syaian fasyaian (mengarah ke depan sedikit demi sedikit).[2]
Tidak jauh berbeda dengan arti tadarruj secara bahasa, tadarruj dalam tulisan ini diartikan sebagai metode keilmuan untuk merubah kondisi masyarakat menjadi yang diinginkan melalui proses yang bertahap dari level permulaan hingga level tertinggi.
Kata tadarruj ada kaitan erat dengan kata darajah yang secara bahasa berarti ‘satu tingkatan anak tangga’. Jadi, kata tadarruj paling tidak menggambarkan dua hal sekaligus[3], yaitu:
a. Gambaran dari tahapan, sedikit demi sedikit, gradual atau langkah demi langkah di satu sisi, dan
b. Suasana jalan yang menanjak dari bawah ke atas sebagaimana tanjakan sebuah tangga yang terdiri dari beberapa anak tangga
2. Konsep Tadarruj dalam Al-Qur’an
Aplikasi tadarruj dalam al-Qur’an ditemukan dalam menetapkan hukum haram terhadap minuman keras (selain al-Qur’an sendiri diturunkan secara tadarruj). Meminum minuman keras pada permulaan Islam sudah mengakar dalam masyarakat. Masyarakat di masa itu terbiasa meminum minuman keras, sehigga menjadi bagian dalam kehidupan mereka.[4] Apabila kebiasaan yang mengakar tersebut diharamkan secara spontan, bisa jadi masyarakat akan mengabaikan larangan tersebut mentah-mentah. Oleh karena itu secara bijaksana, al-Qur’an menetapkan hukum haram minuman keras secara bertahap, dari mubah (diperbolehkan) sampai haram.
Pada awal Islam, meminum khamr (minuman keras) masih diperbolehkan karena Masyarakat Arab tidak bisa lepas dari mengkonsumsi khamr. Sebagaimana Allah mengungkit-ungkit dalam Surat an-Nahl Ayat 67, sedangkan Allah tidak mengungkit hal yang diharamkan:
وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَراً وَرِزْقاً حَسَناً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan dari buah kurma dan aggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti.” (QS: al-Nahl: 67)
Ayat tersebut merupakan ayat makkiyah dan merupakan ayat pertama yang berbicara mengenai khamr. Setelah ayat tersebut, ada tiga ayat lain turun di periode madinah (madaniyyah) yang terkait dengan larangan khamr.[5]
a. Pertama, Surat al-Baqarah ayat 219:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”(QS: al-Baqarah: 219)
Ayat ini menetapkan keburukan khamr meski tidak mengharamkan secara pasti. Dengan turunnya ayat ini, ada kelompok yang tetap meminum karena manfaatnya dan ada yang menjauhi karena keburukannya.
b. Kedua, Surat al-Nisa’ ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (QS: al-Nisa: 43)
Ayat ini menetapkan haramnya meminum khamr saat hendak melaksanakan shalat. Adapun meminumnya di saat yang jauh dari waktu shalat, seperti antara shalat Isya dan shalat Shubuh atau antara shalat Shubuh dan shalat Dzuhur, maka tetap tidak haram.
c. Ketiga, Surat al-Ma’idah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS: al-Maidah: 90)
Ayat ini menunjukkan keharaman khamr secara pasti. Ayat ini secara jelas melarang meminum khamr sama sekali, karena itu termasuk perbuatan setan.
Demikian gambaran tadarruj dalam al-Qur’an yang diterapkan terhadap pelarangan meminum khamr. Selain itu, al-Qur’an sendiri diturunkan secara tadarruj. Al-Qur’an turun semenjak bi’tsah (diangkatnya) Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi di Gua Hira sampai menjelang wafatnya. Masa turun al-Qur’an diperkirakan mencapai 20 tahun, 23 tahun, atau 25 tahun sesuai dengan perbedaan mengenai masa tinggal Nabi Muhammad s.a.w. di Makkah setelah bi’tsah, apakah 10 tahun, 13 tahun, atau 15 tahun. Sedangkan masa tinggal Nabi Muhammad s.a.w. di Madinah adalah 10 tahun tanpa perselisihan ulama.[6]
Allah s.w.t. berfirman dalam Surat al-Isra’ ayat 106:
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً
Artinya: “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS: al-Isra’: 106)
Sealur dengan tadarruj dalam penurunan al-Qur’an, penetapan syari’at Islam pun ditetapkan melalui tadarruj, karena syari’at Islam dalam penetapannya selalu didampingi dengan turunnya al-Qur’an. Jadi penetapan syari’at Islam terjalin berkelindan dengan penurunan al-Qur’an itu sendiri.
Dalam sejarahnya, Islam dimulai dengan menjauhkan masyarakat dari syirk, mengisi hati mereka dengan akidah tauhid, menerangkan dalil-dalil yang dapat membuka mata mereka terhadap tauhid, bukti-bukti terbangunnya umat manusia setelah kematian, argumen-argumen tentang hisab dan hari pembalasan. Setelah periode tauhid, Islam membawa umatnya kepada priode ibadah. Dimulai dari kewajiban shalat yang ditetapkan sebelum hijrah, lalu zakat, lalu puasa pada tahun ke-2 dari hijrah, dan diakhiri dengan kewajiban haji pada tahun ke 6 hijriyyah.[7]
3. Asbabun Nuzul Ayat tentang Keharaman Khamr
Dalam Kitab Rawai’ al-Bayan disebutkan riwayat Imam Amad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi tentang turunnya ayat yang melarang khamr sebagai berikut:
عن عمر بن الخطاب أنه قال : اللهم بين لنا في الخمر بيانا شافيا، فإنه تذهب بالمال والعقل فنـزلت هذه الآية: ﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ﴾ فدعي عمر فقرئت عليه فقال: اللهم بين لنا في الخمر بيانا شافيا، فنـزلت الآية في سورة النساء: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى﴾ فكان منادي رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أقام الصلاة نادى: (أن لا يقربن الصلاة سكران) فدعي عمر فقرئت عليه فقال: اللهم بين لنا في الخمر بيانا شافيا فنـزلت في المائدة فدعي عمر فقرئت عليه فلما بلغ ﴿فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ؟﴾ قال عمر: انتهينا، انتهينا. [8]
Artinya: “Dari Umar bin al-Khaththab bahwa Umar berdo’a kepada Allah meminta penjelasan yang memuaskan mengenai khamr. Sungguh khamr itu dapat menghilangkan harta benda bahkan akal. Lalu turunlah Surat al-Baqarah ayat 219 di atas. Umar pun dipanggil dan dibacakan ayat tersebut. Setelah itu, Umar berdo’a lagi meminta penjelasan yang memuaskan. Lalu turun lagi Surat al-Nisa ayat 43. Pada saat itu, mu’adzdzin jika mengumandangkan iqamah menyerukan “jangan ada orang mabuk mendekati waktu shalat”. Lalu Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut. Lagi-lagi umar belum puas dan berdo’a ke sekian kalinya. Lalu turunlah Surat al-Ma’idah ayat 90. Umar dipanggil lagi dan dibacakan ayat tersebut sampai kalimat fahal antum muntahun. Umar akhirnya berkata, “cukup, cukup”.”
4. Efektifitas Tadarruj dalam Alqur’an
Tadarruj dalam mendidik umat yang sedang berkembang dalam bidang keilmuan dan perilaku memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah[9] :
a. Memudahkan penghafalan dan pemahaman al-Qur’an di kalangan masyarakat Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Bangsa Arab sebagai bangsa yang menyaksikan turunnya al-Qur’an adalah bangsa yang ummi. Budaya tulis menulis di kalangan mereka sangatlah jarang, dikarenakan kesibukan mereka dalam mengurusi mata pencaharian mereka serta mereka menolak pada agama-agama baru dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Jika al-Qur’an diturunkan hanya dalam satu kali saja, maka mereka akan kesulitan dalam menghafal dan memahaminya. Dengan adanya hal tersebut Allah s.w.t menurunkan al-Qur’an secara tadarruj (berangsur-angsur) merupakan hal efektif bagi mereka yang notabene adalah masyarakat awam.
b. Mempersiapkan masyarakat untuk meninggalkan akidah yang bathil, ibadah yang rusak dan budaya yang hina.
Dengan adanya Al-Qur’an diturunkan secara bertahap menjadikan mereka dapat menerima kehadiran Al-Qur’an sebagai pembawa agama yang haq. Sedikit demi sedikit mereka menyadari bahwa agama yang mereka anut dari nenek moyang mereka adalah agama yang bathil.
c. Mempersiapkan masyarakat untuk melaksanakan akidah dan ibadah secara sempurna.
Tadarruj al-Qur’an efektif dalam mempersiapkan masyarakat untuk melaksanakan akidah dan ibadah secara sempurna. Al-Qur’an turun secara bertahap. Al-Qur’an turun pada mulanya melarang hal-hal yang besar dan memberikan ancaman yang besar terhadap pelanggarnya, kemudian melarang hal-hal kecil dengan sangat lembut.[10] Sikap dan tingkah laku yang berkaitan dengan kehidupan sosial, namun tidak berkaitan langsung dengan akidah tauhid, dihadapi dengan bimbingan secara bertahap. Meminum khamr, zina, riba, perbudakan dan lain-lain, yang tidak lagi merupakan tingkah laku perorangan, namun telah membudaya dan menjadi bagian dari pandangan masyarakat, dihadapi secara bertahap, sambil menjelaskan sisi-sisi negatifnya.[11]
Malik bin Nabi membandingkan antara sukses Islam memberantas minuman keras dengan cara-cara tersebut, dengan kegagalan Amerika Serikat yang memberantasnya melalui peraturan-peraturan (Acte Volstead tahun 1919), sambil mengarahkan seluruh kekuatan Angkatan Laut dan Udara, serta pengawasan ilmiah guna menghalangi masuknya minuman keras ke wilayah Amerika. Kegagalan ini diakui sendiri, sehingga dengan terpaksa, Kongres Amerika mengubah peraturan-peraturan tersebut pada tahun 1933.[12]
d. Meneguhkan hati kaum muslimin
Al-Qur’an turun sedikit demi sedikit, disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin pada waktu itu. Al-Qur’an sekali-kali memberikan cerita tentang para nabi dan rasul, menggambarkan kondisi pengikut dan musuh nabi-nabi pada zaman dahulu. Di lain kesempatan, al-Qur’an menerangkan janji Allah akan kemenangan dan pahala kepada hamba-Nya yang shaleh. Turunnya al-Qur’an seperti demikian, secara berkesinambungan dapat membangun motivasi yang bisa saja kian melemah dengan berjalannya waktu.
5. Tadarruj Dilaksanakan dengan Hikmah
Tadarruj dalam al-Qur’an sungguh mengagumkan dan melalui perencanaan yang matang. Al-Qur’an menghadapi suatu masyarakat dengan pola pikir, tingkah laku dan sikap yang sedikit atau banyak berbeda dengan apa yang dikehendaki al-Qur’an, seperti politeisme, pemujaan berlebihan terhadap ka’bah, perdukunan, mabuk-mabukan dan sebagainya.[13] Langkah yang ditempuh oleh Al-Qur’an dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah dengan ketegasan menentang atau memberikan bimbingan secara bertahap. Setiap sikap, pola pikir, atau tingkah laku berkaitan secara langsung dengan pandangan tauhid, dan penentangan terhadapnya dihadapi dengan penolakan tegas, sejak dini dan langsung. Adapun sikap dan tingkah laku yang berkaitan dengan kehidupan sosial selain akidah tauhid dihadapi dengan bimbingan secara bertahap.[14]
Namun, tidak satu tingkah laku, sikap, atau pola pikir pun, yang hendak diberantas al-Qur’an atau dimantapkan, kecuali semuanya diuraikan dengan argumen-argumen rasional atau dengan sentuhan-sentuhan psikis, disertai dengan teladan Rasulullah s.a.w., kemudian para sahabat yang utama, sehingga pada akhirnya mengalir dengan arus deras ke seluruh anggota masyarakat.[15]
6. Aktualisasi Tadarruj
Penerapan tadarruj secara aktual dilaksanakan oleh ulama di tanah air sejak dulu. Para ulama memfokuskan perjuangan mereka melalui jalur dakwah dan pendidikan kemasyarakatan, dengan mengelola pesantren, madarasah, musholla dan pengajian-pegajian rutin kepada masyarakat sekitar mereka, sehingga dapat membina masyarakat secara berangsur berangkat dari pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil agama.[16]
Dalam setiap kesempatan berdakwah dan pendidikan kemasyarakatan, para ulama dan kiai selalu mengajarkan kepada santri-santri dan masyarakatnya tentang bagaimana menjalankan ajaran agama dengan benar dan sempurna, seperti menunaikan shalat, puasa, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban agama lainnya secara baik dan sempurna. Hal ini dilakukan karena berangkat dari suatu keyakinan, bahwa dalam pengamalan syari’at sehari-hari, baik dalam ranah individu maupun sosial, umat Islam harus dibekali dengan ilmu pengetahuan agama yang memadai, sehingga mereka dapat mengamalkan kewajiban-kewajiban agama sesuai dengan tuntunan dan ajaran al-Qur’an dan sunnah.[17]
Dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dilakukan dengan pendekatan berhikmah dan bertahap sehingga sukses mentransformasikan masyarakat hindu Majapahit. Di kalangan Walisongo terdapat dua pendekatan yang nampak bertentangan tetapi sebenarnya melengkapi satu sama lain. Pendekatan pertama ialah pendekatan tauhid yang bermaksud para pendakwah menekankan soal tauhid sebagai asas keimanan dan setalah mantap dengan sendirinya mad'u akan meninggalkan segala yang khurafat dan kekufuran. Pendekatan kedua ialah menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara kekerasan dan mengubah adat dan kepercayaan secara halus dengan melakukan pengubahsuaian dan membiarkan dulu yang sulit dan terlalu tebal kepercayaan untuk diubah pada masa dan suasana yang sesuai.
Iktibar yang perlu diambil ialah perbedaan strategi dakwah tidak menyebabkan para pendakwah bermusuhan di antara satu sama lain asalkan ada sikap tasamuh (toleransi), berlapang dada dan faham memahami satu sama lain sebagaimana yang ditunjukkan oleh Walisongo itu. Iktibar yang kedua ialah kemampuan para pendakwah menyerapkan faham Islam ke dalam kesenian amatlah kreatif dengan menganjurkan adat istiadat Jawa diberi ciri-ciri keislaman. [18]
[1]Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 395
[2] Ma’luf, Lois, al-Munjid, (Bairut: Dar el-Machreq, 1983), hlm. 210
[3]Rahim, Musyafa Ahmad, Makna Tadarruj: Fiqih Dakwah, http://www.dakwatuna.com/2011/07/13671/makna-tadarruj/#ixzz1n7SiEm9r pada 23 Pebruari 2012.
[4] Al-Shabuniy, Muhammad Ali, Rawai al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2001), hlm. 212
[5] Al-Syinqithiy, Muhammad al-Amin, Adlwa’ al-Bayan fi Idlah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Bairut: Dar Ehia al-Tourath al-Arabi, 1996), hlm. 165
[6] Az-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Manaahil al-Irfan fii Ulum al-Qur'an, (Kairo: Daar al-Hadiits, 2001), hlm. 47
[7] Ibid., hlm. 51
[8] Al-Shabuniy, Op.Cit., hlm. 210
[9] Az-Zarqani, Op.Cit., hlm. 50
[10] Ibid., hlm. 51
[11] Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 250
[12] Ibid.
[13] Ibid., 245
[14] Ibid., 250
[15] Ibid., 251
[16] Romli, Idrus, Khilafah: Agenda atau Nostalgia, (Sarang: Dewan Murid MGS, 2012), hlm 17.
[17] Ibid.
[18] Ghazali, Mohd Rumaizuddin, Fiqh al-Awlawiyyat dalam Dakwah : Harapan dan Cabaran Kepada Generasi Serantau, http://www.mindamadani.my/content/view/96/6/ pada 24 Pebruari 2012
0 komentar:
Post a Comment