Demi penampilan dan kesehatan, wanita modern saat ini wajib memanfaatkan jasa salon. Salon merupakan usaha jasa yang bergerak di bidang perawatan tubuh, kecantikan, dan model rambut. Jasa salon pada biasanya tidak hanya punya karyawan perempuan tapi juga banyak karyawan laki-laki yang berlagak mirip cewek (waria). Waria tersebut tidak canggung memberi pelayanan prima kepada klien wanita dengan memegang rambut dan kulitnya sebagai bentuk profesionalitas. Hal ini mudah kita jumpai di kota-kota besar dan mulai merambah ke kecamatan-kecamatan yang telah maju.
Beberapa waktu ini, ada sebagian kalangan menfatwakan haram kegiatan mengais rejeki dengan model seperti ini bagi kaum waria. Muncul pertanyaan dan gugatan dari kalangan mereka, karena menganggap perlakuan masyarakat (red-agamawan) semakin keterlaluan dalam menghakimi hidup mereka. Sehari-hari mereka sudah dimarginalkan dengan stigma buruk, dan dengan fatwa itu mereka semakin terpojok. Padahal dunia salon merupakan peluang bagi mereka untuk hidup lebih wajar, daripada harus berprofesi di dunia 'asusila'.
PERTANYAAN
- Bagaimana hukumnya pelayanan para waria pada klien wanitanya seperti di atas?
- Bolehkah pemilik salon mengangkat karyawan orang-orang waria?
- Jika tidak diperbolehkan, bagaimana solusi terbaik bagi mereka mempertimbangkan dilema di atas?
JAWAB :
- Pada dasarnya pelayanan waria kepada klien wanita tidak ada bedanya dengan pelayanan laki-laki seutuhnya kepada pelanggan wanita. Oleh karenanya hukum pelayanan waria terebut tidak diperbolehkan sebab ada unsur kema’siatan sebagaimana melihat lawan jenis meneyentuh anggota badan wanita dan percampuran dengan lawan jenis. Sedangkan tujuan diatas bukanlah bentuk hajat yang setara dengan hajat yang memperbolehkan melihat dan menyentuh anggota badan wanita. Catatan : Diperbolehkannya waria yang memang asli mempunyai perilaku seperti wanita (tidak dibuat-buat) sebatas melihat kepada wanita dalam madzhab hambali dan maliki itu adalah ketika waria tersebut sudah sama sekali tidak memiliki syahwat kepada wanita.
- Tidak boleh seorang pemilik salon mengangkat karyawan waria untuk melayani klien laki-laki atau perempuan, karena terjadi wujud madzinnah al ma’siat. Catatan: Untuk mengangkat karyawan waria yang tidak menyentuh langsung dengan anggaota badan yang diharamkan, seperti menyapu atau kasir maka diperbolehkan.
- Mengingat waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri, maka segala perilaku waria yang cenderung feminism sebagaimana layaknya wanita harus berusaha dihilangkan dan kembali kekodrat semula. Dan beralih profesi dalam sidang pekerjaan yang dapat menghilangkan karakteristik kewarianya, seperti halnya profesi sebagai desainer dll. Dan semua anggota forum sefaham fatwa MUI, sebagaimana berikut :
BismillahirohmanirohimKomisi Fatwa MUI dalam sidangnya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1418 H, bertepatan dengan tanggal 11 Okt ober 1997 t entang masalah waria, setelah Memperlihatkan :Surat dari Ditjen Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Nomor : 1942/ BRS- 3/ IX/ 97, t anggal 15 Sept ember 1997, yang berisi, antara lain :Penjelasan bahwa secara fisik waria, yang populasinya cukup banyak (9.693 orang), adalah laki-laki, namun secara kejiwaan mereka adalah wanita.
MEMUTUSKANMemfatwakan:Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri. maka segala perilaku waria yang cenderung feminism sebagaimana layaknya wanita harus berusaha dihilangkan dan kembali kekodrat semula.Menghimbau Kepada:Kementrian Kesehatan dan Departemen Sosial RI untuk membimbing para waria agar menjadi orang yang normal, dengan menyertakan para psikolog.Departemen Dalam negeri RI dan instansi terkait lainnya untuk membubarkan organisasi waria.Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : JakartaPada t anggal : 1 Nopember 1997DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
Referensi Jawaban 1
1. Nihayah al Muhtaj, juz VII,
2. I’anah ath-Thalibiin, juz III, hal. 261
3. Hasyiyah Jamal, juz IV, hal.122
4. Al-Wasith, juz III, hal. 124
5. Al-Mughni Ibnu Quddamah, juz III, hal.80
6. Al-Fiqhu al-Islami juz IX, hal. 14
7. Al- Mufasshol, juz III, hal. 347
8. AL-Asybah Wannadzair, juz I, hal.
Referensi Jawaban 2
1. Ihya’ Ulumuddin vol.2 hlm.324
2. Ta’liq Fathal al qarib, hlm. 98
3. Mughni al-Muhtaj vol. 3, hlm. 450
4. Ihya’ Ulumuddin vol.2 hlm.368
5. Bughya al-Murtasydin hlm. 283
6. Al-Majmu’ vol. 4, hlm 483
7. Hasyiyah Jamal vol. 4, hlm.125Referensi Jawaban 3
1. Fathul Bari vol.9 hlm.334
2. Sarh Sohih Muslim Ibnu Bathol vol. 7 hlm.326
3. Ta’liq Fathal al qarib, hlm. 98
4. Is’adur Rofiq vol.2 hlm.120
5. Qowa’id al-Ahkam vol.1 hlm.77
6. Is’adur Rofiq vol 2 hlm.50 Download Versi lengkap nya disini
Demi Kemajuan Blog ini tolong tinggalkan komentar...
0 komentar:
Post a Comment