8.6.11

HATI-HATI MENUDUH KAFIR LARANGAN MENGVONIS KAFIR PEMELUK ISLAM

Diterjemah dari kitab MAFAHIM karangan Syyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki

         Banyak orang yang keliru - semoga Allah memperbaiki keadaan mereka - dalam memahami berbagai penyebab yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam, juga dalam memahami beberapa penyebab yang memastikannya menilai kafir. Kita sering melihat, mereka dengan cepat menghukum seorang Muslim sebagai kafir, hanya karena beda pendapat semata, sehingga di atas muka bumi ini mungkin hanya sedikit yang bisa dinilai tetap sebagai Muslim.

           Menurut kami, penilaian mereka itu hanya merupakan suatu keterlanjuran, lantaran kami berbaik sangka kepada mereka. Kami kira, mungkin niat mereka itu pada dasarnya baik, yakni dalam rangka memenuhi kewajiban ber-amar ma’ruf nahi munkar.

Tetapi ada yang luput dari perhatian mereka, yakni bahwa amar ma’ruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan hikmah (filosofis), maw’izah hasanah (advices), dan bila kondisinya menghendaki adanya perdebatan (dialogis), maka hendaklah ditempuh dengan cara yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT:

 “Serulah (Manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantulah mereka dengan cara yang lebih baik.” (Q.S An Nahl: 125)

Maka yang demikianlah yang lebih cepat diterima, lebih dekat untuk berhasil terhadap apa yang dicita-citakan. Menyalahi metode ini adalah suatu kesalahan dan kebodohan.
Apabila saudara mengajak seorang Muslim - yang taat mendrikan shalat, menunaikan segala kewajibannya, menjauhi semua yang terlarang, giat berdakwah menyiarkan Islam, selalu memfungsikan masjid-masjidnya, menegakkan pesantrennya - maka itu berarti saudara mendakwahinya ke arah suatu perkara yang mungkin benar menurut saudara, sementara dia sendiri pasti memiliki pendapat dan pendirian yang berbeda terhadap perkara itu.
Dalam hal ini, memang para ulama terdahulupun selalu memiliki perbedaan pendapat, baik dalam bentuk ikrar maupun ingkar. Yang sangat menyedihkan adalah; jika orang tersebut menyatakan tidak setuju dengan pendapat saudara, lantas saudara tuduh dengan sebutan kafir - hanya karena berbeda pendapat - maka sama halnya saudara telah berbuat kesalahan besar, yang akan mendatangkan perkara besar dan meresahkan kedua belah pihak, sedangkan hal ini dengan sangat jelas dilarang oleh Allah SWT. Petunjuk-Nya dalam berdakwah adalah harus dituntun dan ditangani denga hikmah dan kebaikan.
Imam Sayyid Ahmad Masyhuri al-Haddad berkata: “Telah menjadi konsensus di antara para ulama, untuk tidak mengkafirkan seorang dari ahli qiblat, kecuali jika seorang menafikan keberadaan atau eksistensi Pencipta alam Yang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Tinggi, atau ada syirik yang begitu jelas pada diri orang tersebut - yang tidak bisa diberi takwil - atau dia mengingkari adanya nubuwah (kenabian), atau mengingkari apa yang diketahui secara dlaruri dan agama, atau mengingkari berita mutawatir dan mengingkari apa yang telah disepakati secara dlaruri dalam agama”.
Yang pasti, telah dimaklumi dalam ajaran agama bahwa dibolehkan menghukum kafir atas orang yang menentang berbagai ajaran seperti tauhid, nubuwat, kebangkitan pada hari kiamat, Nabi  Muhammad sebagai pamungkas, sorga, neraka, hisab (perhitungan amal), jaza (balasan amal), dan sebagainya.
Lantaran tidak ada alasan untuk tidak mengetahuinya bagi setiap Muslim, kecuali Ia pemeluk baru dalam agama Islam - yang baginya dibolehkan tidak mengetahui hal-hal tersebut - sampai Ia selesai mempelajarinya.
Setelah itu, tidak ada alasan lagi yang dapat diterima. Yang lain adalah kabar mutawatir, atau hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh orang banyak, dari jamaah ke jamaah, sejak zaman Rasulullah Sampai sekarang, sehingga saking banyaknya dan bermacam-macam orang yang meriwayatkannya menurut kebiasaan, maka hampir mustahil dipalsukan atau didustakan dari segi isnad, seperti hadits berikut (artinya):
Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah Ia bersiap  tempatnya (nanti) di neraka.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Al Darimi, dan Ahmad)
Selain itu, juga mutawatir dari segi thobaqah (tingkatan dari generasi ke generasi) seperti mutawatirnya Al Qur’an, yang merupakan mutawatir di seluruh muka bumi. Dimana dari segi belajar dan mengajar Al Qur’an, dan dari segi tilawah hafalan, sudah diterima oleh orang banyak, lapisan demi lapisan, generasi demi generasi, sehingga tidak berhajat kepada isnad (pelacakan terhadap pihak-pihak yang membawa riwayat).
Ada juga yang merupakan mutawatir dalam bentuk amal atau mutawatir amali yakni, pekerjaan atau perbuatan Nabi SAW yang disaksikan orang banyak, dikerjakan orang banyak, sehingga tidak mungkin ditambah atau dikurangi, lantaran tata caranya juga sudah kita terima sejak zaman Nabi SAW sampai kini. Ada lagi mutawatir ilmu, seperti mutawatirnya pengetahuan tenlang mukjizat.
Dengan demikian, seorang Muslim harus mengetahui dan menyadari bahwa; “Menghukum kafir terhadap Muslim yang lain pada selain dari hal-hal yang telah kami sebutkan - mulai dari tauhid sampai mutawatir ilmu - merupakan tindakan yang merugikan, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain”.
Lantaran dalam sebuah hadits juga disebutkan (artinya): “Apabila seorang berkata kepada saudaranya, “hai kafir” maka salah seorang telah menjadi kafir.” (HR. Bukhari dariAbu Hurairah)
Oleb sebab itu, perkataan ini hendaknya tidak keluar dari mulut seorang Muslim, kecuali dari orang yang mengetahui benar - dengan nur syariat - mana yang dapat memasukkan seseorang menjadi kafir dan mana yang dapat mengeluarkannya serta menguasai pula batas-babs pemisah antara kafir dan Iman menurnt hukum syara’ yang mulia.
Jadi, tidak boleh sembarangan orang berenang dalam medan ini, atau bertindak mengkafirkan orang lain dengan dasar faham dan persangkaan semata, tanpa dasar kepastian dan keyakinan, tanpa ilmu yang cukup.
Lantaran jika tidak demikian, bercampurlah hak dengan yang bathil dan tidak akan bersisa orang-onang Muslim kecuali segelintir saja.
Sama halnya kita tidak boleh mengkafirkan seseorang yang berbuat banyak maksiat, jika ternyata dalam dadanya masih bersemi Iman dan ikrar dua kalimat syahadal. dan lisannya.
Al Hadits:
Dari Anas ra, Rasulullah bersabda (artinya): “Ada tiga hal yang merupakan asal keimanan yakni, 1) menahan diri dari orang yang berikrar “Laillaha Ilallah”, dengan tidak mengkafirkannya karena suatu dosa dan tidak mengeluarkannya dari Islam kanena perbuatannya, (2) bahwa jihad itu ada sejak aku dibangkitkan dan akan terus ada sampai ummatku yang terakhir memenangi dajjal, jihad itu tidak dibatalkan oleh kezaliman seorang zalim ataupun keadilan seorang adil (3) Iman dengan  kadar.” (HR. Abu Dawud)
Sedangkan Imam Haramain berkata: “Jika kami diminta merinci hal-hal yang mengakibatkan kafir dan apa-apa yang tidak menyebabkan kafir, niscaya permintaan itu akan kami jawab: ini adalah keinginan yang bukan pada tempatnya, karena soal tersebut tidak mudah dijangkau, sulit ditempuh, dan masalahnya bertolak dari pninsip-prinsip ketauhidan, sedangkan barangsiapa yang tidak menguasai ujung-ujung drin hakikat segala perkara, tidak akan pernah berhasil memperoleh dalil untuk mengkafirkan dengan keyakinan yang teguh.
Oleh karena itu kami peringatkan supaya sungguh-sungguh dan benhati-hati dalam melemparkan tuduhan kafir (takfir), pada tempat-tempat yang bukan dari yang kami sebutkan di muka, karena akibat tuduhan itu sangatlah berbahaya. Semoga Allah menunjuki ke jalan yang benar dan kepada-Nya kita kembali.

0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan