Kedatangan Islam telah memberi warna tersendiri dalam dunia wanita, Islam berhasil mengangkat derajat wanita dari jurang kehinaan dan menempatkannya dalam mahligai kemuliaan. Kalau sekarang Barat dengan lantang menyerukan emansipasi wanita sebenarnya hal itu sudah basi, karena sebelum benih-benih emansipasi tumbuh di Barat empat belas abad sebelumnya, Islam telah lebih dahulu memperjuangkan masalah tersebut. Islam mengaggap seorang wanita sejajar dengan kaum pria, sama sebagai makhluk Allah yang diciptakan hanya untuk beribadah dan mengabdi kepadaNya.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri.” (QS. an-Nisa’:1).
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. ad-Dzariyaat:56).
Dalam berkarya Islampun tidak membeda-kan diantara keduanya. Seorang perempuan akan mendapatkan pahala atas amaliyahnya yang sholihah, sebagaimana seorang laki-laki juga akan mendapatkan balasan atas perilakunya yang sholih.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan-nya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…” (QS. Ali Imron:195)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. an-Nisa’:124)
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin…” (QS.al-Ahzab; 35).
Selain itu Islam juga telah membumi hanguskan budaya-budaya jâhiliyah yang sangat keji dan kejam kepada wanita. Diberikannya hak hidup bagi kaum wanita,
“Sesungguhnya Rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, Karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah Telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada -adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka Telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am:140).
Dihapusnnya pernikahan-pernikahan model jahiliyyah yang sangat melecehkan mereka, diberikan-nya kebebasan untuk mentasarufkan harta mereka sendiri,
“ …(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,…” (QS. an-Nisa’: 32).
dibukanya kesempatan kepada mereka untuk menuntut ilmu,
عن أبِي سعيد الخدريّ قال: «جَاءت امْرَأةٌ إلَى رسولِ الله، فَقَالت: يا رسول الله، ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعملنا مِمّا علمه الله، فقال: «اجتمعن في يوم كذا وكذا في مكان كذا وكذا». (رواه البخاري).
Ditempatkannya seorang ibu pada derajat yang lebih tinggi daripada seorang ayah,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, …” (QS. al-Ahqaaf:15).
عن أبي هريرة قال رجل للرسول: من أحقّ الناس بحسن صحبتي، فقال رسول الله: «أمــّك»، قال: ثم من؟، قال: «أمك»، قال: ثم من؟، قال: «أمك»، قال: ثم من؟، قال: «أبوك». (رواه البخاري ومسلم).
Dan dijadikannya seorang istri sebagai pembawa rahmat dan kedamaian bagi keluarga,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.ar-Rum:21).
Merupakan bukti konkret betapa Islam sangat menghargai pribadi dan posisi wanita.
Adapun beberapa hukum syariat yang terkesan merendahkan wanita sebagaimana tuduhan Barat (orientalis) yang terang-terangan mengatakan, ”Sekiranya Islam memandang wanita sebagai makhluk yang sempurna, ia tidak akan membenarkan praktik poligami, tidak mengharuskan seorang gadis untuk memohon izin kepada ayahnya untuk melangsungkan pernikahannya, tidak akan memberikan hak cerai kepada kaum pria, tidak akan membenarkan wanita dihargai dengan mahar, dan tidak akam menjadikan wanita berada dalam tanggungan pria. Dari fakta tersebut, kata mereka (baca; Barat) tersimpul bahwa Islam mempunyai pandangan yang mendeskreditkan wanita, bahkan lebih ekstrim lagi mereka mengatakan bahwa hukum Islam hanya beredar pada orbit kepentingan dan keuntungan kaum pria. Mereka juga menambahkan bahwa sekalipun Islam adalah agama persamaan (egaliter) dan mengajarkan persamaan, namun dalam konteks urusan pria dan wanita Islam melupakannya. Sejatinya apa yang dilakukan Islam (seperti diatas) tidak terkait sama sekali dengan urusan merendahkan martabat wanita, bahkan agama ini justru berusaha untuk menempatkan wanita pada posisi yang semestinya, sesuai dengan fitrah dan kodratnya.
Dalam masalah poligami, jika syariat poligami dituduh sebagai sarana pendzoliman kaum laki-laki terhadap wanita, maka tudingan itu salah besar9. Bagaimanapun poligami merupakan rahmat bagi kaum wanita, karena memandang bahwa jumlah laki-laki yang siap menikah lebih sedikit dari pada jumlah wanita yang siap menikah. Seorang pakar Barat yang berpikiran luas mengatakan, “Perkawinan yang mengharuskan seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita adalah penindasan atas wanita yang terpaksa tidak menikah”. Kita juga melihat bahwa poligami merupakan jalan untuk memelihara harga diri wanita dan menjadikannya sebagai istri terhormat daripada hidup sebagai kawan kencan atau wanita penghibur. Dengan demikian kaum wanita harus memahami bahwa tanpa praktik poligami, cita-cita dan harapan sebagian dari mereka untuk menjadi ibu rumah tangga tidak akan tercapai.
Falsafah dibalik kenyataan bahwa seorang dara tidak boleh kawin dengan seorang pria tanpa persetujuan ayahnya bukanlah karena gadis itu dipandang kurang dalam suatu segi, atau dianggap lebih rendah dari kaum pria dalam aspek mental, intelektual maupun kematangan sosialnya. Kalau demikian, apa bedanya seorang janda yang berumur dua belas tahun tidak memerlukan persetujuan ayahnya, sedangkan gadis yang berusia dua puluh tahun memerlukannya?. Namun masalah ini sesungguhnya berhubungan dengan aspek psikologis pria dan wanita. Ia berhubungan erat dengan karakter perayu pria disatu sisi dan kepercayaan wanita terhadap pria di sisi yang lain. Menurut psikolog, wanita lebih sabar dan mampu mengontrol nafsunya, namun yang sering menggoyahkan keseimbangannya dan memperbudaknya adalah rayuan cinta. Dalam hal ini wanita sangat mudah percaya terhadap rayuan pria. Seorang wanita yang masih perawan yang belum punya pengalaman tentang pria akan mudah sekali mempercayai bisikan-bisikan cinta dan janji setia seorang pria. Rasulullah – yang juga ahli psikologi – telah menyatakan dengan jelas kebenaran hal ini empat belas abad yang lalu, beliau mengatakan, ” Seorang wanita tidak akan melepaskan dari hatinya kata-kata yang di ucapkan seorang pria kepadanya, “aku cinta padamu”. Seorang pria yang nakal akan memanfaatkan kepekaan wanita sebagai perangkap yang jitu untuk menaklukkan hatinya. Disaat itulah peran seorang ayah sangat di butuhkan, karena bagaimanapun seorang ayah pasti lebih berpengalaman dan mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang tidak sekedar didasari nafsunya dalam memilihkan jodoh untuk putrinya.
Dalam permasalahan talak, Islam sendiri sebenarnya tidak menyukainya, dan lebih suka untuk mempertahankan keluarga agar tetap hidup. Namun apabila jiwa pernikahan telah mati, maka Islam memandang dengan penyesalan dan mengizinkan untuk menguburkannya. Islam tidak bersedia menjadikan bangkainya sebagai mumi dengan pengawetan oleh undang undang untuk memperlihatkan kehidupan yang semu. Sebenarnya logika talak dalam Islam tidak didasarkan atas kepemilikan pria dan status wanita sebagai benda yang dimiliki. Namun hak talak muncul berdasarkan peranan khusus pria dalam percintaan dimana kehidupan keluarga dibangun berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang suami dan istri. Namun satu hal yang penting untuk diketahui ialah bahwa kondisi psikologis wanita dan pria dalam hal ini berbeda. Sesuai dengan fitrahnya cinta selalu dimulai dari pihak pria dan disambut oleh siwanita dengan sikap responsif dan menerima. Kasih sayang dan cinta seorang wanita yang sejati hanya mungkin bila cinta itu lahir sebagai reaksi kasih sayang dan kekaguman pria terhadapnya. Oleh karena itu alam telah memberikan kunci cinta kedua belah pihak kepada si pria (suami). Dengan demikian sangatlah tepat jika kunci pembubaran pernikahan juga ada ditangan pria. Ia yang memulai maka ia pula yang berhak untuk mengakhiri. Selain itu dalam permasalahan ini umumnya pria lebih arif dan bijak serta memiliki pandangan kedepan terhadap segala akibat yang akan terjadi (terutama dampaknya bagi anak-anak mereka). Ia tidak akan menjatuhkan talak kecuali dalam keadan terpaksa yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Lain halnya dengan seorang perempuan yang lebih sering dikuasai emosi dan nafsunya terutama pada waktu menstruasi, seandainya hak thalak diberikan kepadanya maka dengan mudah (tanpa melalui pertimbangan yang matang) ia akan menjatuhkan talak dengan seenaknya.
Dalam masalah mahar, kami percaya bahwa diperkenalkannya mahar merupakan syariat yang sangat bijaksana untuk menjaga keseimbangan hubungan pria dan wanita. Keberadaan mahar sama sekali bukan sebagai harga pembelian terhadap gadis itu dari ayahnya atau dari gadis itu sendiri sehingga ia harus menyerahkan diri dan menjadi budak suaminya. Namun hal ini semata-mata hanya menjadi hadiah untuk sang istri sebagai tanda betapa dalam dan besar cinta sang suami kepada istrinya, serta sebagai tanda penghormatan atas pribadi seorang wanita, sehingga ia merasa dihargai dan dihormati. Bagi wanita nilai moral mahar lebih besar daripada nilai materialnya. Inilah sebabnya mengapa hukum mahar, yang merupakan salah satu pasal dari suatu Undang-Undang yang absolut dan fundamental yang di gariskan oleh Tuhan yang telah membentuk sifat-sifat manusia, tidak boleh dihapus hanya dengan dalih persamaan hak pria dan wanita.
Dalam konteks nafkah sebagaimana juga mahar, ia mempunyai status dan posisi yang khusus dalam dunia wanita. Andaikata Islam memberikan hak kepada pria untuk memanfaatkan pelayanan istri dan mempekerjakannya sebagaimana budak serta menguasai seluruh kekayaan dan hasil kerjanya, maka tidak salah tuduhan Barat yang mengatakan bahwa dasar penalaran nafkah ialah “Apabila seseorang mempekerjakan seekor hewan atau seorang budak untuk memperoleh keuntungan materi, maka dengan sendirinya ia harus mengeluarkan biaya untuk perawatan hewan atau budak tersebut”. Tetapi Islam tidak mengakui logika seperti ini. Apakah setiap orang yang dinafkahi oleh orang lain dengan sendirinya adalah budaknya? Menurut Islam dan semua konstitusi di dunia, seorang ayah berkewajiban untuk memelihara anak-anaknya, lalu apakah dengan demikian, anak-anak itu di pandang sebagai budak dari orang tua mereka? Dalam kacamata Islam, jika seorang ayah atau ibu sudah tidak mampu membiayai hidupnya, maka wajib bagi putra–putranya untuk memberkan nafkah kepadanya, lalu dapatkah kita katakan bahwa Islam memandang para ayah dan ibu sebagai budak putra –putra mereka? Islam telah memberikan kepada kaum wanita suatu keuntungan yang belum pernah ada sebelumnya dalam urusan finansial dan ekonomi. Disatu pihak Islam memberikan kepada mereka kebebasan dan kemerdekaan penuh dalam hal finansial dan mencegah kekuasaan pria atas harta dan hasil kerja wanita dan dipihak lain dengan membebas-kan wanita dari tanggung jawab pembelanjaan keluarga, Islam telah membebaskanya dari kewajiban mencari uang, sehingga ia tetap mampu menjaga sifat kewanitaannya. Karena memelihara kecantikan, daya tarik dan kebanggaan bagi suaminya pasti memerlukan kehidupan yang tentram, damai dan menyenangkan serta jauh dari kecemasan –kecemasan dalam memikirkan kebutuhan. Sekiranya wanita berkewajiban seperti laki-laki untuk berpenghasilan dan mengejar uang kebanggaanya akan merosot dan kerut merut akan muncul di wajahnya,seperti yang muncul diwajah dan dahi kaum pria. Telah sangat sering terdengar bahwa kaum wanita Barat yang terpaksa harus berjuang untuk mencari penghasilan di toko-toko, pabrik-pabrik dan kantor-kantor merasa iri terhadap kaum wanita Timur. Ketika orang-orang yang memuja Barat hendak mengkritik hukum ini, dengan dalih melindungi kaum wanita, maka tuduhan mereka tidak punya alternatif lain, kecuali kebohongan yang nyata.
Semua yang saya paparkan di muka men-ggambarkan betapa hebat dan luwesnya syariat Islam dalam mengolah, meracik dan menyajikan menu yang khusus untuk kaum hawa. Dengan petunjuk wahyu Ilahi, Islam telah mengetahui rahasia kehidupan manusia dan maslahat-maslahat yang ada di dalamnya yang baru dicoba didekati oleh ilmu pengetahuan setelah rentang masa yang panjang, kurang lebih sekitar empat belas abad. Sejauh ini jelas bahwa dasar pemikiran Islam terlalu dalam dan terlalu jauh dari tingkat pemahaman para penuduh (Barat).
0 komentar:
Post a Comment