Diambil dari Buku BENTENG AKIDAH UMMAT
Sahabat yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) kira-kira tidak kurang dari delapan puluh orang. Mereka hijrah ke sana secara terus menerus selama lima belas tahun, mulai dari tahun kelima setelah bi’tsah (kenabian) hingga tahun ke tujuh Hijriyyah. Selama itu tanpa terkecuali mereka merasakan aman dan nyaman dalam naungan dan perlindungan raja Habasyah yang adil.
Tujuan
utama Rasulullah SAW memerintahkan para shahabat untuk hijrah agar mereka
selamat dari cengkraman kaum Quraisy, bisa konsentrasi penuh dalam menjalankan
syari’at agama Islam, dan dapat membaca al-Qur’an dengan tanpa adanya gangguan.
Al-hamdulillah semua itu terlaksana dengan sempurna.
Akan
tetapi suku Quraisy selalu menuntut raja Habasyah untuk mengembalikan shahabat
kepada mereka agar bisa melanjutkan kejahatan dan siksaan mereka. Mereka
mengirimkan duta mereka untuk menghadap sang raja. Duta tersebut bernama Amr
bin al-‘Ash as-Sahmi dan Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi. Keduanya datang
dengan membawa banyak hadiah dan kenang-kenangan untuk sang raja, para panglima
kerajaan, dan para pendeta.
Namun
sang raja membuat majelis umum yang dihadiri oleh tiga golongan, yaitu; delegasi
Quraisy, para shahabat dan para panglima dan uskup kerajaan. Majelis tersebut
dipimpin langsung sang raja. Beliau pertama kali mengarahkan pembicaraannya
kepada para shahabat seraya berkata: “Apakah nama agama yang sebab itu kalian
memisahkan diri dari kaum kalian dan tidak mau memeluk salah satu dari agama
lainnya?”
Kemudian
Ja’far bin Abi Thalib berdiri sambil berkata: “Wahai sang raja! Dahulu kita
termasuk komunitas jahiliyyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai dan
melaksanakan berbagai macam kejelekan.” Beliau menjelaskan panjang lebar
tentang kondisi pada masa jahiliyyah beserta keburukan-keburukannya kepada sang
raja. Setelah itu sang raja berkata: “Dahulu kita juga melakukan hal-hal
seperti itu hingga Allah SWT mengutus kepada kita seorang nabi dari bangsa kita
sendiri. Kita mengakui kejujurannya, sifat amanahnya, dan kewira’iannya. Dia
menyeru kepada kita untuk menyembah Allah dan meninggalkan semua yang pernah
dilakukan oleh kita sendiri dan nenek moyang kita.”
Selanjutnya
Ja’far menjelaskan kebaikan-kebaikan Islam dan segala perlakuan yang mereka
temui dari kriminal-kriminal Quraisy. Beliau menuturkan semuanya secara
rasional dan dengan lisan yang fasih, sementara sang raja, an-Najasyi,
mendengarkan dengan seksama. Setelah itu berkata: Apakah kalian membawa sesuatu
yang dibawa oleh teman kalian itu (Muhammad SAW)?” Ja’far menjawab: “Ya.”
An-Najasyi berkata: “Maka bacakanlah kepadaku!”
Lalu
Ja’far membacakan permualaan Surat Maryam. Dalam surat tersebut sarat dengan
kesastraan, penggambaran sikap seorang hamba ketika munajat kepada Tuhannya,
do’a Nabi Zakariya kepada Tuhannya dengan suara yang lembut hingga akhir ayat
dari perkara yang membuat hati terharu, dan mengalirkan air mata. Sebab itu
an-Najasyi tidak mampu menahan tangis hingga jenggotnya basah. Begitu juga para
uskup, mereka semua menangis hingga mushaf mereka basah, sebagaimana
diungkapkan oleh para pakar sejarah.
Dan
an-Najasyi berkata: “Sesungguhnya agama ini dan apa yang dibawa oleh Musa AS
keluar dari sumber cahaya yang satu.” Kemudian beliau memberi idzin orang-orang
muslim untuk menetap di negaranya dalam kedaulatan yang sempurna dan mengusir
delegasi Quraisy serta menolak hadiahnya. Akhirnya mereka kembali dengan tangan
hampa.
Semenjak
itu para shahabat menetap di negara Habasyah. Oleh sebab iut, Islam dan
al-Qur’an menyebar kepenjuru negara tersebut.
Ahli
sejarah berpendapat bahwa pada hari kemudian ‘Amr bin al-‘Ash kembali kepada
an-Najasyi untuk memperdaya para shahabat. Dia berkata kepada an-Najasyi:
“Sesungguhnya mereka mengatakan tentang Isa bin Maryam tidak sesuai kenyataan.”
Kemudian an-Najasyi memanggil para shahabat, sambil berkata: “Apa pendapat
kalian terkait dengan Isa?” Ja’far menjawab: “Kami mengatakan tentang Isa
sesuai apa yang turun kepada Nabi kami dalam Qur’annya, bahwasannya Isa adalah
hamba Allah, utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang diletakkan kepada
Maryam, seorang gadis suci dan ahli ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ
كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ [آل
عمران: 59]
”Sesungguhnya
misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah
(seorang manusia)!Maka jadilah Dia.”
(QS: Ali Imran: 59)
An-Najasyi
menguatkan perkataan Ja’far dan memperkokoh keamanan untuk para shahabat serta
mengembalikan ‘Amr dengan penuh kekecewaan.
إنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْمٌ، فِي كِتَابٍ
مَكْنُوْنٌ، لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ [الواقعة: 77-79]
Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah
bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara
(Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan.
(QS. al-Waqi’ah: 77-79)
Termasuk
nash al-Qur’an dan Sunnah yaitu lafadz al-Kitab dengan makna al-Qur’an yang
ditulis dalam mushaf. Lafadz al-Qur’an dalam sunnah bermakna mushaf. Ayat di
atas yang menjadikan kemulyaan bab ini dengan menjadikannya sebagai judul. Para ulama menggali dalil dengan ayat tersebut atas
keharaman menyentuh mushaf bagi selain orang yang berwudlu.
Imam
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni berkata: Kami mempunyai dalil berupa firman
Allah SWT:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
[الواقعة: 79]
dan surat Nabi Muhammad SAW
kepada ‘Amr bin Hazm yang berbunyi:
لاَ يَمَسُّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ.
Surat tersebut adalah surat yang masyhur yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Ubaid, al-Qosim bin Sallam dalam kitab Fadlo-ilul Qur’an dan imam
lainnya dan juga diriwayatkan oleh al-Atsram.
Syaikh
Abu Bakar bin Muhammad dalam kitab Kifayatul Akhyar menulis: Adapun menyentuh
mushaf yakni dalil keharamannya adalah firman Allah SWT:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ
[الواقعة: 79]
Al-Qur’an
tidak sah disentuh. Kita mengetahui secara pasti bahwa yang dikehendaki yaitu
al-Kitab. Ini lah yang lebih mendekati kebenaran, sedangkan kembalinya dlomir (هُ / hu) kepada
Lauhul Mahfudz itu dicegah karena Lauhul Mahfudz tidak diturunkan. Dan tidak
mungkin menghendakiالْمُطَهَّرُوْنَ dengan malaikat. Karena
dalam kalam ini tersusun dari nafi dan itsbat sementara semua makhluk langit
itu suci.
Dengan
pemahaman seperti ini hampir saja para ulama ijma’ atas keharaman menyentuh
al-Qur’an. Para ulama menjelaskan panjang
lebar terkait tafsir ayat-ayat yang diisyarahkan tadi dengan keterangan yang
tidak saya sebutkan lebih lanjut. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَ يَمَسُّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ.
“Tidak boleh
memegang al-Qur’an kecuali orang yang bersuci.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Hakim, beliau berkata: “Sanadnya shahih.”
0 komentar:
Post a Comment