8.2.12

Al-Qur’an di Negeri Habasyah

Diambil dari Buku BENTENG AKIDAH UMMAT 


Sahabat yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) kira-kira tidak kurang dari delapan puluh orang. Mereka hijrah ke sana secara terus menerus selama lima belas tahun, mulai dari tahun kelima setelah bi’tsah (kenabian) hingga tahun ke tujuh Hijriyyah. Selama itu tanpa terkecuali mereka merasakan aman dan nyaman dalam naungan dan perlindungan raja Habasyah yang adil.
Tujuan utama Rasulullah SAW memerintahkan para shahabat untuk hijrah agar mereka selamat dari cengkraman kaum Quraisy, bisa konsentrasi penuh dalam menjalankan syari’at agama Islam, dan dapat membaca al-Qur’an dengan tanpa adanya gangguan. Al-hamdulillah semua itu terlaksana dengan sempurna.
Akan tetapi suku Quraisy selalu menuntut raja Habasyah untuk mengembalikan shahabat kepada mereka agar bisa melanjutkan kejahatan dan siksaan mereka. Mereka mengirimkan duta mereka untuk menghadap sang raja. Duta tersebut bernama Amr bin al-‘Ash as-Sahmi dan Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi. Keduanya datang dengan membawa banyak hadiah dan kenang-kenangan untuk sang raja, para panglima kerajaan, dan para pendeta.
Namun sang raja membuat majelis umum yang dihadiri oleh tiga golongan, yaitu; delegasi Quraisy, para shahabat dan para panglima dan uskup kerajaan. Majelis tersebut dipimpin langsung sang raja. Beliau pertama kali mengarahkan pembicaraannya kepada para shahabat seraya berkata: “Apakah nama agama yang sebab itu kalian memisahkan diri dari kaum kalian dan tidak mau memeluk salah satu dari agama lainnya?”
Kemudian Ja’far bin Abi Thalib berdiri sambil berkata: “Wahai sang raja! Dahulu kita termasuk komunitas jahiliyyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai dan melaksanakan berbagai macam kejelekan.” Beliau menjelaskan panjang lebar tentang kondisi pada masa jahiliyyah beserta keburukan-keburukannya kepada sang raja. Setelah itu sang raja berkata: “Dahulu kita juga melakukan hal-hal seperti itu hingga Allah SWT mengutus kepada kita seorang nabi dari bangsa kita sendiri. Kita mengakui kejujurannya, sifat amanahnya, dan kewira’iannya. Dia menyeru kepada kita untuk menyembah Allah dan meninggalkan semua yang pernah dilakukan oleh kita sendiri dan nenek moyang kita.”
Selanjutnya Ja’far menjelaskan kebaikan-kebaikan Islam dan segala perlakuan yang mereka temui dari kriminal-kriminal Quraisy. Beliau menuturkan semuanya secara rasional dan dengan lisan yang fasih, sementara sang raja, an-Najasyi, mendengarkan dengan seksama. Setelah itu berkata: Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh teman kalian itu (Muhammad SAW)?” Ja’far menjawab: “Ya.” An-Najasyi berkata: “Maka bacakanlah kepadaku!”
Lalu Ja’far membacakan permualaan Surat Maryam. Dalam surat tersebut sarat dengan kesastraan, penggambaran sikap seorang hamba ketika munajat kepada Tuhannya, do’a Nabi Zakariya kepada Tuhannya dengan suara yang lembut hingga akhir ayat dari perkara yang membuat hati terharu, dan mengalirkan air mata. Sebab itu an-Najasyi tidak mampu menahan tangis hingga jenggotnya basah. Begitu juga para uskup, mereka semua menangis hingga mushaf mereka basah, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar sejarah.
Dan an-Najasyi berkata: “Sesungguhnya agama ini dan apa yang dibawa oleh Musa AS keluar dari sumber cahaya yang satu.” Kemudian beliau memberi idzin orang-orang muslim untuk menetap di negaranya dalam kedaulatan yang sempurna dan mengusir delegasi Quraisy serta menolak hadiahnya. Akhirnya mereka kembali dengan tangan hampa.
Semenjak itu para shahabat menetap di negara Habasyah. Oleh sebab iut, Islam dan al-Qur’an menyebar kepenjuru negara tersebut.
Ahli sejarah berpendapat bahwa pada hari kemudian ‘Amr bin al-‘Ash kembali kepada an-Najasyi untuk memperdaya para shahabat. Dia berkata kepada an-Najasyi: “Sesungguhnya mereka mengatakan tentang Isa bin Maryam tidak sesuai kenyataan.” Kemudian an-Najasyi memanggil para shahabat, sambil berkata: “Apa pendapat kalian terkait dengan Isa?” Ja’far menjawab: “Kami mengatakan tentang Isa sesuai apa yang turun kepada Nabi kami dalam Qur’annya, bahwasannya Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam, seorang gadis suci dan ahli ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ [آل عمران: 59]
”Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah (seorang manusia)!Maka jadilah Dia.” (QS: Ali Imran: 59)
An-Najasyi menguatkan perkataan Ja’far dan memperkokoh keamanan untuk para shahabat serta mengembalikan ‘Amr dengan penuh kekecewaan.

إنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْمٌ، فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٌ، لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ [الواقعة: 77-79]
Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara
(Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
(QS. al-Waqi’ah: 77-79)
Termasuk nash al-Qur’an dan Sunnah yaitu lafadz al-Kitab dengan makna al-Qur’an yang ditulis dalam mushaf. Lafadz al-Qur’an dalam sunnah bermakna mushaf. Ayat di atas yang menjadikan kemulyaan bab ini dengan menjadikannya sebagai judul. Para ulama menggali dalil dengan ayat tersebut atas keharaman menyentuh mushaf bagi selain orang yang berwudlu.
Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni berkata: Kami mempunyai dalil berupa firman Allah SWT:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ [الواقعة: 79]
dan surat Nabi Muhammad SAW kepada ‘Amr bin Hazm yang berbunyi:
لاَ يَمَسُّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ.
Surat tersebut adalah surat yang masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ubaid, al-Qosim bin Sallam dalam kitab Fadlo-ilul Qur’an dan imam lainnya dan juga diriwayatkan oleh al-Atsram.
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad dalam kitab Kifayatul Akhyar menulis: Adapun menyentuh mushaf yakni dalil keharamannya adalah firman Allah SWT:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ [الواقعة: 79]
Al-Qur’an tidak sah disentuh. Kita mengetahui secara pasti bahwa yang dikehendaki yaitu al-Kitab. Ini lah yang lebih mendekati kebenaran, sedangkan kembalinya dlomir (هُ / hu) kepada Lauhul Mahfudz itu dicegah karena Lauhul Mahfudz tidak diturunkan. Dan tidak mungkin menghendakiالْمُطَهَّرُوْنَ  dengan malaikat. Karena dalam kalam ini tersusun dari nafi dan itsbat sementara semua makhluk langit itu suci.
Dengan pemahaman seperti ini hampir saja para ulama ijma’ atas keharaman menyentuh al-Qur’an. Para ulama menjelaskan panjang lebar terkait tafsir ayat-ayat yang diisyarahkan tadi dengan keterangan yang tidak saya sebutkan lebih lanjut. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَ يَمَسُّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ.  
“Tidak boleh memegang al-Qur’an kecuali orang yang bersuci.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim, beliau berkata: “Sanadnya shahih.”



0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan