"Nama Luthfia dipilihkan untuk saya karena berarti lembut dan
penuh kasih. Allah begitu "indah" membimbingku hingga menemukan Islam. Nama itu
juga menjadi pengingat ketika saya lalai." (Ita tentang pemilihan nama
"Luthfia")
Pencerahan itu muncul di usianya yang ke-23 tahun, saat Ita Luthfia berburu dengan waktu menyelesaikan skripsinya di Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran. Diktat-diktat yang diterima salah seorang dosen senior – seorang non-Muslim juga seperti dirinya saat itu -- di universitasnya, menggelitiknya untuk turut membaca. Isinya mengenai doktrin ketuhanan agamanya. Sampai di diktat ketiga, sang dosen menyatakan berhenti membaca. “Iman saya bisa terpengaruh,” ujar Ita menirukan sang dosen. Namun Ita yang mempunyai nama asli Margarita Librariana ini justru semakin penasaran. Ia seperti diajak mengenali kembali agama yang dianutnya.
Diktat itu menghidupkan logika saya yang puluhan tahun mati. Saya seperti dibukakan mata dan hati. Sampai akhirnya di satu titik, saya menyatakan diri atheis,” ujar praktisi hubungan masyarakat ini kepada Republika yang menemuinya di rumah mungilnya yang ditata seperti sebuah apartemen itu. Setahun Ita tak beragama.
Dalam masa setahun itu, mantan manajer public relation sebuah perusahaan elektronik papan atas asal Korea Selatan ini mulai mencari agama. Setiap kali ke kampus mencari buku-buku untuk keperluan skripsi, ia seperti dituntun untuk menuju koleksi buku-buku agama. Tangannya juga seperti digerakkan untuk mendapatkan buku-buku yang menenuhi rasa ingin tahunya dan mengobati dahaga rohaninya.
Ternyata Islam adalah jawaban dari pencarian saya,” ujar Ita kemudian. Konsep ketuhanan dalam Islam, kata dia, paling masuk akal. Tuhan itu ada satu, dan tidak beranak atau diperanakkan. Ide-ide dalam ajaran Islam juga klop dengan dirinya. Ia merasa hidayah Allah telah mencerahkan hati dan pikirannya.
Namun untuk menyatakan keislamannya, ia belum berani. Apalagi keluarganya sangat agamis. “Apa kata mama kalau anaknya menjadi Muslim,” kata Ita, tentang pertentangan batinnya saat itu. Ia memang sangat dekat dengan sang mama dan sangat menghormatinya.
Ia menyimpan semuanya sendiri. Bahkan, ia mengunci rapat-rapat niatnya itu dari para sahabatnya.
Hingga suatu hari, ia mempunyai keberanian untuk mengikuti pengajian ibu-ibu di rumah seorang temannya. Pematerinya adalah ulama Bandung bernama Bahrul Hidayat. Di sanalah, tanpa direncana, tercetus keinginannya untuk masuk Islam. Bertempat di masjid agung Kota Bandung, ia bersyahadat dan mengubah namanya menjadi Ita Luthfia.
Malam itu juga, ia menceritakan para orang tuanya telah menjadi seorang Muslim. Awalnya mereka kaget. Namun lama kelamaan bisa menerima. “Saya mengingat betul pesan pak Bahrul, jangan sedikit pun berkata keras pada orang tua, tetap menjaga hubungan baik dan menyayanginya. Pendek kata, jangan ada sedikit pun yang berubah,” kata dia.
Ita beruntung mempunyai keluarga yang toleran. Pluralitas bukan hal aneh bagi keluarga ini. “Mama bisa menerima saya, kendati saya berkerudung sekarang,” Ita mengucapkan dengan senyum tersungging di bibirnya.
(Di tengah wawancara, Mutiara Anisa, buah cinta Ita dengan La Tofi, meminta telur goreng kesukaannya. Ita bergegas ke dapur dan dengan cekatan menyiapkan menu kesukaan anaknya itu, tak sampai 10 menit. Senyum mengambang di bibir Nisa begitu sang mama membawa piring makan siangnya. Kedua tangannya terangkat ke dada, dan dia membaca doa makan dengan fasih. Setelah membasuhkan kedua tangan ke mukanya, Nisa mulai menyuap sendiri makanannya, hal yang tidak biasa untuk anak berusia kurang dari tiga tahun)
Dia (Nisa, red) mengajarkan saya arti bersabar, tawakal, dan akhlakul karimah,” ujar Ita. Karena pernah keguguran, ia menjaga kehamilan Nisa dengan lebih hati-hati. Selama hamil, ia juga menjaga perilakunya. “Nisa harus menjadi anak yang berakhlak mulia dan mempunyai kepedulian yang tinggi pada sesamanya.
Ita memegang teguh teori berbagi dalam Islam, bahwa dalam harta yang kita miliki terdapat hal orang lain. “Kebanggan bagi saya bila bisa berbagi dan memberi,” kata wanita kelahiran bandung, 12 Oktober 1969 ini. Ia mengacu kebiasaan Fatimah (putri Rasulullah SAW) yang hanya menyisakan sedikit untuk dirinya dan menyerahkan sebagian lainnya untuk kemaslahatan orang yang membutuhkan.
Niat untuk mendidik Nisa dengan baik pula yang membuat wanita yang belasan tahun malang melintang di dunia kehumasan ini berhenti dari segala aktivitasnya. Sesekali ia keluar rumah untuk mengerjakan sebuah proyek, namun selebihnya ia lebih banyak di rumah. Apalagi kantor La Tofi Enterprise yang dibesarkannya bersama suami juga berada di kompleks yang sama dengan tempat tinggalnya, di Rusun Harum, Tebet, Jakarta Selatan. “Semoga selalu berkah dan dilancarkan oleh Allah,” ujarnya, tentang usaha publishing, konsultan PR, dan audiovisual work ini.
Pencerahan itu muncul di usianya yang ke-23 tahun, saat Ita Luthfia berburu dengan waktu menyelesaikan skripsinya di Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran. Diktat-diktat yang diterima salah seorang dosen senior – seorang non-Muslim juga seperti dirinya saat itu -- di universitasnya, menggelitiknya untuk turut membaca. Isinya mengenai doktrin ketuhanan agamanya. Sampai di diktat ketiga, sang dosen menyatakan berhenti membaca. “Iman saya bisa terpengaruh,” ujar Ita menirukan sang dosen. Namun Ita yang mempunyai nama asli Margarita Librariana ini justru semakin penasaran. Ia seperti diajak mengenali kembali agama yang dianutnya.
Diktat itu menghidupkan logika saya yang puluhan tahun mati. Saya seperti dibukakan mata dan hati. Sampai akhirnya di satu titik, saya menyatakan diri atheis,” ujar praktisi hubungan masyarakat ini kepada Republika yang menemuinya di rumah mungilnya yang ditata seperti sebuah apartemen itu. Setahun Ita tak beragama.
Dalam masa setahun itu, mantan manajer public relation sebuah perusahaan elektronik papan atas asal Korea Selatan ini mulai mencari agama. Setiap kali ke kampus mencari buku-buku untuk keperluan skripsi, ia seperti dituntun untuk menuju koleksi buku-buku agama. Tangannya juga seperti digerakkan untuk mendapatkan buku-buku yang menenuhi rasa ingin tahunya dan mengobati dahaga rohaninya.
Ternyata Islam adalah jawaban dari pencarian saya,” ujar Ita kemudian. Konsep ketuhanan dalam Islam, kata dia, paling masuk akal. Tuhan itu ada satu, dan tidak beranak atau diperanakkan. Ide-ide dalam ajaran Islam juga klop dengan dirinya. Ia merasa hidayah Allah telah mencerahkan hati dan pikirannya.
Namun untuk menyatakan keislamannya, ia belum berani. Apalagi keluarganya sangat agamis. “Apa kata mama kalau anaknya menjadi Muslim,” kata Ita, tentang pertentangan batinnya saat itu. Ia memang sangat dekat dengan sang mama dan sangat menghormatinya.
Ia menyimpan semuanya sendiri. Bahkan, ia mengunci rapat-rapat niatnya itu dari para sahabatnya.
Hingga suatu hari, ia mempunyai keberanian untuk mengikuti pengajian ibu-ibu di rumah seorang temannya. Pematerinya adalah ulama Bandung bernama Bahrul Hidayat. Di sanalah, tanpa direncana, tercetus keinginannya untuk masuk Islam. Bertempat di masjid agung Kota Bandung, ia bersyahadat dan mengubah namanya menjadi Ita Luthfia.
Malam itu juga, ia menceritakan para orang tuanya telah menjadi seorang Muslim. Awalnya mereka kaget. Namun lama kelamaan bisa menerima. “Saya mengingat betul pesan pak Bahrul, jangan sedikit pun berkata keras pada orang tua, tetap menjaga hubungan baik dan menyayanginya. Pendek kata, jangan ada sedikit pun yang berubah,” kata dia.
Ita beruntung mempunyai keluarga yang toleran. Pluralitas bukan hal aneh bagi keluarga ini. “Mama bisa menerima saya, kendati saya berkerudung sekarang,” Ita mengucapkan dengan senyum tersungging di bibirnya.
(Di tengah wawancara, Mutiara Anisa, buah cinta Ita dengan La Tofi, meminta telur goreng kesukaannya. Ita bergegas ke dapur dan dengan cekatan menyiapkan menu kesukaan anaknya itu, tak sampai 10 menit. Senyum mengambang di bibir Nisa begitu sang mama membawa piring makan siangnya. Kedua tangannya terangkat ke dada, dan dia membaca doa makan dengan fasih. Setelah membasuhkan kedua tangan ke mukanya, Nisa mulai menyuap sendiri makanannya, hal yang tidak biasa untuk anak berusia kurang dari tiga tahun)
Dia (Nisa, red) mengajarkan saya arti bersabar, tawakal, dan akhlakul karimah,” ujar Ita. Karena pernah keguguran, ia menjaga kehamilan Nisa dengan lebih hati-hati. Selama hamil, ia juga menjaga perilakunya. “Nisa harus menjadi anak yang berakhlak mulia dan mempunyai kepedulian yang tinggi pada sesamanya.
Ita memegang teguh teori berbagi dalam Islam, bahwa dalam harta yang kita miliki terdapat hal orang lain. “Kebanggan bagi saya bila bisa berbagi dan memberi,” kata wanita kelahiran bandung, 12 Oktober 1969 ini. Ia mengacu kebiasaan Fatimah (putri Rasulullah SAW) yang hanya menyisakan sedikit untuk dirinya dan menyerahkan sebagian lainnya untuk kemaslahatan orang yang membutuhkan.
Niat untuk mendidik Nisa dengan baik pula yang membuat wanita yang belasan tahun malang melintang di dunia kehumasan ini berhenti dari segala aktivitasnya. Sesekali ia keluar rumah untuk mengerjakan sebuah proyek, namun selebihnya ia lebih banyak di rumah. Apalagi kantor La Tofi Enterprise yang dibesarkannya bersama suami juga berada di kompleks yang sama dengan tempat tinggalnya, di Rusun Harum, Tebet, Jakarta Selatan. “Semoga selalu berkah dan dilancarkan oleh Allah,” ujarnya, tentang usaha publishing, konsultan PR, dan audiovisual work ini.
0 komentar:
Post a Comment