Pada penghujung tahun lalu, di Sidoarjo sempat diadakan forum tabayyun antara Forum Kyai Muda (FKI) NU Jawa Timur dan beberapa tokoh pendukung Jaringan Islam Liberal (JIL). Meski disebut forum tabayyun, namun saling jegal dan debat sengit tetap tak terelakkan dalam pertemuan tersebut. Karena kedua tokoh yang di pertemukan, dari awal memang saling bertolak pandang.
Bagaimanapun juga, kebanyakan
warga nahdliyyin masih kukuh dengan keyakinannya bahwa pemikiran-pemikiran
yang diusung oleh JIL bertentangan dengan pemikiran dan landasan tradisi asli Nahdlatul Ulama`
yang berhalauan Ahlusunnah Waljama`ah. Ide dan pikiran umat Islam liberal
adalah ide dan pemikiran yang cenderung asal-asalan dan tidak berdasar. Karena
menghalalkan kebebasan berpikir dan seenaknya merombak sesuatu yang sudah mapan
dengan tanpa mempertimbangkan common sense. Mereka cenderung menelan
bulat-bulat pemikiran kaum orientalis barat, seperti; Huston Smith, John Shelby
Sponge, Nasr Hamid Abu Zaid, dan lain sebagainya. Merekapun mengbaikan
ulama`salaf.
JIL menjadi masalah
tersendiri dalam NU, karena keberadaannya banyak diidentikkan dengan NU, hanya
karena salah seorang tokoh pentolannya ,Ulil Abshor Abdalla adalah warga NU.
Bahkan, dia telah berada di salah satu jabatan yang signifikan di structural
tubuh NU. Padahal JIL sama sekali tidak bisa dikait-kaitkan dengan NU, karena
pemikiran mereka sangat menyimpang dengan rel pemikiran NU. Terkait dengan adanya
kabar yang mengatakan bahwa terdapat anggota NU yang juga anggota JIL sangatlah
tidak benar, karena secara ideology jika ada anggota NU yang masuk JIL berarti
dia sudah keluar dari NU. Sebab ketika anggota NU yang masuk JIL berarti dia
sudah tidak seideologi lagi dengan NU. Namun yang ironis, hingga saat ini belum
ada aturan administrasi NU yang mengatakan bahwa anggota NU yang masuk JIL
harus dikeluarakan dari NU. Warga nahdliyyin juga tidak sepakat dengan adanya
liberalisasi Islam. Karena pemikiran untuk meliberalkan Islam itu tidak sesuai
dengan ideologi NU. Dan yang lebih penting lagi, jika orang sudah berpikir
meliberalkan Islam, maka secara fiqh ia sudah keluar dari Islam.
Ajaran yang disampaikan
JIL adalah wacana kosong tak berisi, sebab saat mereka ditanya mengenai
pemikirannya, mereka tidak bisa menjelaskan dalil-dalilnya secara lengkap. Mereka
hanya mengutip dalil sepotong demi sepotong untuk mendukung pemikirannya saja.
Dalam kesimpulan forum tabayyun
dialog terbuka antara JIL dan Forum Kyai Muda (FKM) NU Jawa Timur, menghasilkan
banyak pernyataan yang lengkap dan jelas sebagaimana berikut:
1. Saudara Ulil Abshor dengan JIL-nya tidak
memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran
mereka lebih banyak berupa kutipan ide-ide yang asal comot sana-sini dan
terkesan sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung
musim dan waktu (dzuruf ) dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi
berpikir masyarakat bangsa ini.
2. Pada dasarnya, pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan
beragama dan bertradisi kaum nahdliyyin.
Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan liberalisasi
dalam bidang aqidah, liberalisasi dalam bidang pemahaman AL-Qur'an, serta liberalisasi
dalam bidang syariat dan akhlak.
Pertama.
Liberalisasi dalam bidang aqidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama
sama dan tentang pluralisme, bertentangan dengan aqidah Islam Ahlusunnah Wal
Jama`ah. Warga NU menyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan
tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang
agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud
JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathoniyah yang dipegang NU demi
mengkokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh
toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neoliberalisme Amerika yang
berkedok ''pluralisme dan toleransi agama".
Kedua.
Liberalisasi dalam bidang pemahaman Al-Qur'an yang diajarkan JIL, mereka
mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah produk budaya bangsa Arab yang keotentikannya
diragukan. Hal itu tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam
yang meyakini bahwa Al-Quran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW serta terjaga keaslianya.
Ketiga.
Liberialisasi dalam bidang syari'ah dan akhlaq, dimana JIL mengatakan bahwa hukum
tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al-Qur'an dan As
Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan
sikap-sikap tawadhu' dan akhlaqul karimah kepada ulama' dan kyai. JIL juga
tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa dalam mensejahterakan
bangsa dan memperkuat pancasila & NKRI.
3. Ide-ide liberalisasi, kebebasan, dan hak
asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam koteks NU dan
pesantren tidak bisa dilepaskan dari neo-liberalisme yang berasal dari dunia
kapitalisme, yang menghendaki agar para kyai dan komunitas pesantren tidak ikut
campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari
penjajahan dan kekerasan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam
bangsa kita.
4. JIL cenderung membatalkan otoritas para
ulama' salaf dan menanamkan ketidak percayaan kepada mereka, sementara di sisi
lain mereka mengagumi pemikiran orientalis barat seperti Huston Smith, John Shelby
Spong, Nasr Hamid Abu Zaid, dan lain sebagainya.
5. Menghadapi pemikiran JIL, tidak dengan dilawan
dengan amuk-amuk dan cara kekerasan, tapi harus mendahului pendekatan
yang setrategis dan taktis, dengan dialog-dialog pencerahan.
Dari
kesimpulan-kesimpulan di atas, sudah jelas bahwa paham Islam Liberal sangat
bertolak belakang dengan faham Ahlusunnah Wal Jama'ah. Karena sejak dulu Islam
Ahlusunnah Wal Jama'ah sudah terkenal dengan tradisi moderat yang dianut warga
NU, sebagian dari identitas dan jati diri bangsa ini.
Jangan sampai kita
terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran kaum orientalis barat yang lebih memprioritaskan
logika. Pasalnya, NU masih banyak mempunyai agenda kerja yang belum dituntaskan,
dan itu jauh lebih penting. Memang akhir-akhir ini bisa dikatakan kita dalam
posisi berperang, tapi bukan berperang pikiran atau pemahaman (ghazwul fikri).
Oleh karenanya, kita
harus senantiasa berpegang teguh pada al-Quran dan Al Hadist, karena Al-Quran adalah
firman Allah SWT yang dijamin keasliannya dan dapat menunjukkan jalan yang
lurus bagi umat manusia. Sedangkan Hadist adalah semua perkataan, tingkah laku,
atau ketetapan Nabi Muhammad SAW tentang semua hukum-hukum syari'at Islam, jika
kita tetap berpegang teguh pada keduanya itu, maka kita tidak akan mudah dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran yang menyesatkan seperti yang dibawa oleh JIL atau
yang lain. Wallohu A'lam.
0 komentar:
Post a Comment