Sultan Muhammad (886 H) pernah berpesan, "Janganlah kamu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara, atau mempergunakan lebih dari sewajarnya. Sebab semua itu pangkal utama kehancuran Dalam Kitab As-Sulthan Muhammad Al-Fatih disebutkan bahwa sebelum wafatnya pemimpin agung Islam, Sultan Muhammad (886 H/1481 M), yang berjuluk Al-Fatih (pembuka, penakluk), ia berwasiat kepada penggantinya :
''Wahai penggantiku, tak lama lagi aku akan menghadap
Allah. Namun aku sama sekali tidak khawatir, karena aku meninggalkan pengganti
seperti kamu. Jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh, dan penebar
kasih sayang. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat, tanpa
membeda-bedakan. Giatlah untuk menyebarkan Islam, mengingat menyebarkan Islam
adalah kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepetingan agama atas
kepentingan apa pun selainnya.
Jangan pernah lemah dan
lalai dalam menegakkan agama. Jangan pernah mengangkat orang-orang yang tidak
mempedulikan agama sebagai pembantu-pembantumu. Juga, jangan pula mengangkat
orang-orang yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai menteri-menterimu.
Hindari bid'ah-bid'ah yang merusak.
Pertahankan negeri
melalui jalan jihad. Jagalah harta di Baitul Mal, jangan dihambur-hamburkan.
Jangan sekali-kali mengambil harta rakyatmu kecuali sesuai dengan aturan Islam.
Himpunlah orang-orang yang lemah dan fakir. Berikan penghormatanmu kepada
orang-orang yang berhak.''
Lalu, di ujung usianya, pahlawan legendaris itu berpesan:
''Pelajaran ini dariku.
Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil. Tapi Allah karuniakan nikmat
kepadaku yang sedemikian besar. Berjalanlah seperti yang aku lakukan. Janganlah
kamu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara, atau kamu pergunakan
lebih dari sewajarnya. Sebab semua itu merupakan penyebab utama kehancuran.''
Siapa yang tak kenal Muhammad bin Murad II, sultan
yang memegang tahta kerajaan Utsmani pada usia 20 tahun dan menumbangkan negara
superpower Byzantium pada usia 25 tahun. Bersama penguasa-penguasa legendaris
lainnya seperti Umar bin Abdul Aziz dan Harun Al-Rasyid, Al-Fatih menorehkan
teladan dalam kepemimpinan dunia yang bisa menjadi panduan bagi generasi
sesudahnya. Termasuk bagi generasi pemerintahan kita sekarang ini.
Pelajaran untuk Pemimpin
Berpijak pada wasiat Sultan Muhammad Al-Fatih di
atas, maka seorang pemimpin atau penguasa seharusnya berusaha menjalankan
sejumlah hal mulia berikut ini:
1. Saleh secara ritual
dan sosial
Sejak kecil Al-Fatih hidup dalam bimbingan Islam yang
kental. Digambarkan dalam sejarah, betapa dalam suasana perang sekalipun nuansa
kedalaman pemahaman syariat Al-Fatih sangat menonjol.
Dalam penaklukan Konstantin misalnya, ia
mengkondisikan pasukannya untuk mengisi malam-malam mereka dengan tahajud dan
membaca Al-Quran. Sampai-sampai digambarkan, suara tilawah seluruh pasukannya
seperti gemuruh jutaan lebah yang menggetarkan musuh-musuh Allah.
Sekalipun berasal dari keluarga raja, Al-Fatih juga
terkenal sangat sederhana dan merakyat. Begitu merakyatnya, ia wafat setelah
diracun oleh orang biasa-biasa saja.
2. Menegakkan Keadilan
Keadilan adalah misi universal yang karenanya Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengutus para Rasul untuk menegakkannya. Keadilan adalah
milik semua kalangan. Ia tak boleh terhijabi oleh perbedaan ras, agama, status
sosial, perasaan, dan apapun yang bisa menghalangi keadilan tegak di muka bumi.
Keadilan Islam telah sejak lama ditulis tinta emas
sejarah peradaban manusia, baik ketika perang maupun dalam kondisi damai. Abu
Bakar Ash-Shiddiq sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan
Romawi, pesan yang disampaikan kepada pasukannya adalah, ''Jangan
berkhianat. Jangan berlebih-lebihan. Jangan ingkar janji. Jangan mencincang
mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita. Jangan membakar
pohon, menebang atau menyembelih kambing kecuali untuk dimakan. Jangan mengusik
orang-orang Kristen yang sedang beribadah. Berangkatlah dengan bismillah.''
3. Melindungi dan mengayomi seluruh rakyat tanpa
membeda-bedakan
Ketika seseorang terpilih menjadi pemimpin mulai dari
level terendah hingga tertinggi, dalam Islam, ia tak lagi menjadi pemimpin bagi
sebagian kalangan yang mencalonkan atau memilihnya. Tapi ia menjadi pemimpin
bagi seluruh konstituen. Oleh karena itu, atribut-atribut partisan seperti ketua
partai, ketua ormas, atau apapun bentuknya, harus ditanggalkan.
Inilah yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih yang
sangat penuh perhatian kepada rakyatnya, baik dari kalangan Muslim atau
non-Muslim. Dikisahkan, penduduk pulau Khabus yang masuk dalam wilayah Khilafah
Utsmaniyah memiliki hutang seribu Duqa kepada Fransisco de Rapeyur, seorang
hartawan non-Muslim di negeri Galata.
Saat Fransisco tak mampu menagih hutangnya, ia
melaporkannya kepada Sultan. Atas dasar laporan ini, Al-Fatih mengirimkan
pasukannya. Tapi mereka menolak membayar hutang dan malah melawan prajurit
Sultan. Ketika itu Sultan berkata kepada Fransisco, ''Akulah yang akan
menanggung semua hutang mereka terhadapmu. Dan aku juga akan menuntut tebusan
berlipat terhadap mereka atas darah tentaraku yang meninggal.''
4. Giat menebar nilai-nilai Islam ke dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara
Sebagai seorang pemimpin, kewajibannya adalah seperti
yang difirmankan Allah:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan
kebahagiaan.'' (QS Ali Imran: 104)
Seyogyanya, nilai-nilai Islam tersebut tidak hanya
sekadar slogan atau seremonial semata, tapi benar-benar dibuktikan dalam
kehidupan sehari-hari sang pemimpin, keluarga, staf-stafnya, dan juga dalam
kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Tentu penyebaran nilai-nilai
Islam ini harus dilakukan secara bertahap dan tepat sasaran. Artinya, tidak
terburu-buru dan juga tidak hanya menonjolkan kulit saja.
Mungkin di antara konsep paling mudah dan tepat
adalah prinsip mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari
sekarang secara dawam.
5. Mengedepankan kepentingan dan pertimbangan moralitas
Kebijakan pihak berwenang saat ini sangat amburadul.
Apapun akan digusur bila kepentingan ekonomi-bisnis yang berbicara. Judi
menjadi legal, hanya dengan dalih menambah devisa untuk pembangunan. Prostitusi
dilindungi demi memenuhi tuntutan para pelaku maksiat. Minuman keras terus
dibiarkan berproduksi untuk menambah pajak.
Belum lagi berbicara korupsi, kolusi, pencurian uang
rakyat dengan berbagai dalih. Moralitas inilah yang harus dikedepankan
pihak-pihak yang berwenang, jika ia ingin sukses memimpin negeri.
6. Tidak menunjuk pejabat dari kalangan orang-orang
yang tak taat agama dan bergelimang dosa
Uji kepatutan dan kelayakan yang sering kita dengar
saat menyeleksi pejabat baru, seyogyanya menyentuh pula aspek ketaatan terhadap
keyakinan dan agama serta track record-nya dalam berbuat dosa dan
maksiat. Maraknya kasus korupsi di puluhan DPRD dan lembaga-lembaga terhormat
lainnya, mencerminkan lemahnya aspek uji kepatutan dan kelayakan yang hanya
menyangkut aspek otak saja. Belum lagi ratusan kasus para pejabat yang
tertangkap basah tengah pesta narkoba. Ditambah lagi para pejabat yang gemar
''jajan'' dan berselingkuh, yang ditenggarai sudah menjadi salah satu tren
hidup para petinggi negeri ini.
7. Mempertahankan negeri dengan gelora jihad
Semangat jihad sudah hilang dan goyah oleh
pragmatisme sesaat. Penyakit ini bukan hanya mengiris mental masyarakat umum,
tapi juga menyayat elemen pertahanan. KSAD berkali-kali mensinyalir, lebih dari
60 ribu intelejen asing bergentayangan di negeri ini. Tapi kita saksikan,
mereka yang berseragam justru sibuk berbisnis mengeksploitasi sumber daya alam
dan melupakan tugas pokoknya. Kapolri juga sampai memprihatinkan kinerja
jajaran kepolisian yang dipimpinnya.
8. Membelanjakan uang negara secara proporsional dan
tidak merampas hak rakyat
Perilaku boros, manja, foya-foya, dan kehidupan jet
set yang dipertontonkan para pejabat, birokrat, dan para pemimpin negeri
ini sudah menjadi pemandangan umum. Mereka gelontorkan uang pajak untuk
keperluan konsumtif yang sejatinya tidak perlu dilakukan. Hal ini nampak jelas
dari mobil mewah yang digunakan, rumah megah yang ditinggali, hingga berbagai
fasilitas yang rakyat kebanyakan mustahil mencicipinya. Ironisnya, semua
kebobrokan ini dilakukan saat rakyat kecil diperas dan diperintahkan untuk
mengeratkan ikat pinggang.
9. Lebih berpihak kepada orang-orang lemah dan rakyat
jelata
Keberpihakan ini sangat dirindukan oleh mayoritas
anak bangsa. Lima kali sudah Indonesia berganti penguasa, tapi
kehidupan rakyat tak kunjung beranjak baik. Malah, rakyat semakin diperbudak,
dinistakan, harga diri mereka diinjak-injak, harta mereka digusur, hak-hak
mereka dirampas, hingga tak ada kenikmatan yang dapat dirasakan. Semua akibat
kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Kita merindukan pemimpin yang tidak acuh lagi saat
ratusan ribu TKI diusir, ratusan orang dianiyaya. Kita tak ingin pemimpin
menangkapi para aktivis Islam, tapi malah membiarkan begitu saja para
pencoleng, perampok, dan koruptor ulung negeri ini kabur ke luar negeri.
Bila semua problem ini dapat diselesaikan dengan
baik, niscaya sang pemimpin akan dikenang bukan hanya dalam sejarah tapi
ditulis tinta emas dalam hati seluruh rakyat.
0 komentar:
Post a Comment