By : Ust. Mahmud Sutarwan Wafa (Denbaguse Wafa)
Dunia pendidikan selalu saja menjadi tumpuan awal bagi segenap hasrat akan terciptanya perbaikan kehidupan di masa depan. Di sini, realitas institusi-institusi pendidikan kemudian begitu saja dianggap sebagai faktor penentu berlangsungnya proses menuju ke sana. Tak terkecuali pesantren sebagai stereo type institusi pendidikan Islam, terutama di tanah Jawa yang dengan segudang ke luguannya justru menyimpan potensi. Benarkah………
Dalam perjalanan sejarah, pesantren dikenal sangat unik,
di satu sisi ia berfungsi sebagai lembaga pendidikan, di sisi lain sebagai lembahga
da'wah dan perjuangan (agen of social change) dan di sisi lain sebagai tempat
pengkaderan calon-calon ulama' masa depan. Dialegtika antara nilai plus, minus,
pesimis dan optimis tentang keberadaan pesantren lebih banyak membuahkan hasil
penelitian yang tidak sedikit jumlahnya dalam membuka pengetahuan tentang
kaberadaan pesantren, namun seiring dengan perjalanan sejarah, pesantren selalu
memproduksi pertanyaan-pertanyaan yang justru mengandung nilai kebingungan
tersendiri, apalagi di tengah alternative system pendidikan modern yang
jumlahnya ribuan, pesantren tetap mengambil sikap untuk mempertahankan system
transmisi kuno dan njawani.
Identitas pesantren
pada awal perkembangannya adalah sebagai pendidikan dan penyiaran agama Islam,
namun setelah terjadi perubahan di masyarakat, termasuk implikasinya, devinisi
di atas tidak lagi memadai, walau pada hakekatnya pesantren tetap berjalan pada
mainstreamnya di sela-sela transformasi sosial yang revolusioner,
dan justru karena insyaf atas arus perubahan yang terkendali itulah, pihak luar
malah melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi
terhadap dampak modernisasi, sebagaimana dahulu menentang penetrasi
kolonialisme walau dengan cara mengisolasi diri (uzlah).
Kemunculan pesantren
pertama kali di nusantara tidak ditemukan data yang kualitatif. Hanya mayoritas
asumsi punya tendensi, bahwa pesantren didirikan setelah Islam mulai berakar di
bawah perjuangan para pedagang setengah hati, karena tujuannya berdagang dicampuri
dengan keinginan menyebarkan agama. Namun benarkah mereka pedagang sungguhan
atau para sufi yang mengembara….??. Tidak ada jawaban yang nemuaskan dari
berbagai literature sejarah, para sufi yang juga merangkap sebagai pedagang
berhasil membumikan Islam di nusantara setidaknya pada abad ke XII-XIV,
tepatnya setelah kehancuran Bagdad pada tahun 1258 M dan dunia intelektual Islam
terpuruk kehilangan jati dirinya.
Pada masa walisongo,
sebagian kalangan meyakini, bahwa penyebaran Islam di tanah Jawa melalui
pesantren dianggap sarana sosialisasi yang potensial untuk penyebaran ilmu dan
agama. Ini didukung dengan adanya eksistensi para wali yang sangat multi
peran seperti kyai. Pada satu saat walisongo bisa berfungsi sebagai para normal
yang dapat meramal kejadian hari esok, disaat yang lain justru berperan sebagai
penggerak (multivator) terhadap kemapanan pengaruh Hindu Budha, selain tentu
saja pada misinya semula, menyebarkan agama Islam.
Diantara simpang siurnya
sekian banyak klaim yang dipercaya, Raden Rahmat (Sunan Ampel) adalah pendiri
pesantren pertama kali, yakni pada abad
ke-15. Hal ini terjadi ketika beliau meninggalkan Cempo untuk menyusul bibinya
prabu Ndorowati yang diambil permaisuri raja Majapahit, Wirabumi IX. Ketegangan
terjadi ketika Raden Rahmat mulai menampakkan misinya, menyebarkan agama Islam.
Sedangkan untuk mengadakan pengusiran jelas mustahil, karena Raden Rahmat masih
terhitung kerabat dekat istana. Maka sebagai jalan keluarnya, Raden Rahmat diberi
sebidang tanah yang letaknya jauh dari kota Majapahit (Mojokerto), kawasan itu
adalah Ngampel Denta di wilayah Surabaya, makin luasnya pengaruh dan simpati Raden
Rahmat menarik berbagai orang di sekitarnya untuk mengguru, selanjutnya sebagai
pusat untuk melakukan kegiatan Raden Rahmat membangun sebuah masjid, saking
banyaknya orang yang datang untuk ngangsu kaweruh, Raden Rahmat membangun
pula sebuah asrama, dan asrama inilah yang akhirnya berkembang mejadi sebuah
pondok pesantren tempat Raden Rahmat menyebarkan ilmu (baca : Agama)
REALITAS KARAKTER
Sejarah mencatat bahwa
pesantren memiliki tiga peran dan fungsi yang dilaksanakan serentak dengan dijiwai
watak kemandirian dan semangat kejuangan.
Pertama :
sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam, dalam hal ini
pesantren ikut bertanggungjawab dalam mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan
sumberdaya manusia, diharapkan bangsa ini bisa memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi (baca : keterampilan) yang handal dengan dilandasi iman dan taqwa
yang kokoh dan tangguh yang mampu menjawab berbagai tuntutan teater zaman.
Kedua : sebagai
lembaga perjuangan dan da'wah Islamiyah, dalam hal ini pesantren ikut
bertanggungjawab menyiarkan agama Islam, selain itu pesantren juga ikut
berpartisipasi aktif dalam membina kehidupan umat beragama dan meningkatkan
kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Ketiga : sebagai
lembaga pemberdaya dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal ini pesantren
ikut mendarmabaktikan peran, fungsi, dan potensi yang dimilikinya untuk
memperbaiki kehidupan bermasyarakat yang adil, beradab, sejahtera, demokratis berdasarkan
teks redaksional Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam perjalanannya, pesantren telah
banyak mendapatkan pengaruh, baik dari luar (Eksternal) maupun dari dalam
(Internal). Pengaruh-pengaruh ini telah memaksa pesantren untuk melakukan
serangkaian penyesuaian guna mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga
bertafaqquh fiddin yang mengemban risalah para nabi dan ulama'nya. Ketiga peran
dan fungsi di atas diharapkan mampu menjadi sarana untuk meneguhkan kembali
komitmen pesantren yaitu : Hidup dari, oleh dan untuk masyarakat.
Wallahu A'lam
0 komentar:
Post a Comment