28.3.12

PROYEKSI TOTALITAS KEPRIBADIAN PESANTREN

By : Ust. Mahmud Sutarwan Wafa (Denbaguse Wafa)

Dunia pendidikan selalu saja menjadi tumpuan awal bagi segenap hasrat akan terciptanya perbaikan kehidupan di masa depan. Di sini, realitas institusi-institusi pendidikan kemudian begitu saja dianggap sebagai faktor penentu berlangsungnya proses menuju ke sana. Tak terkecuali pesantren sebagai stereo type institusi pendidikan Islam, terutama di tanah Jawa yang dengan segudang ke luguannya justru menyimpan potensi. Benarkah………

            Dalam perjalanan sejarah, pesantren dikenal sangat unik, di satu sisi ia berfungsi sebagai lembaga pendidikan, di sisi lain sebagai lembahga da'wah dan perjuangan (agen of social change) dan di sisi lain sebagai tempat pengkaderan calon-calon ulama' masa depan. Dialegtika antara nilai plus, minus, pesimis dan optimis tentang keberadaan pesantren lebih banyak membuahkan hasil penelitian yang tidak sedikit jumlahnya dalam membuka pengetahuan tentang kaberadaan pesantren, namun seiring dengan perjalanan sejarah, pesantren selalu memproduksi pertanyaan-pertanyaan yang justru mengandung nilai kebingungan tersendiri, apalagi di tengah alternative system pendidikan modern yang jumlahnya ribuan, pesantren tetap mengambil sikap untuk mempertahankan system transmisi kuno dan njawani.
Identitas pesantren pada awal perkembangannya adalah sebagai pendidikan dan penyiaran agama Islam, namun setelah terjadi perubahan di masyarakat, termasuk implikasinya, devinisi di atas tidak lagi memadai, walau pada hakekatnya pesantren tetap berjalan pada mainstreamnya di sela-sela transformasi sosial yang revolusioner, dan justru karena insyaf atas arus perubahan yang terkendali itulah, pihak luar malah melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi, sebagaimana dahulu menentang penetrasi kolonialisme walau dengan cara mengisolasi diri (uzlah).
Kemunculan pesantren pertama kali di nusantara tidak ditemukan data yang kualitatif. Hanya mayoritas asumsi punya tendensi, bahwa pesantren didirikan setelah Islam mulai berakar di bawah perjuangan para pedagang setengah hati, karena tujuannya berdagang dicampuri dengan keinginan menyebarkan agama. Namun benarkah mereka pedagang sungguhan atau para sufi yang mengembara….??. Tidak ada jawaban yang nemuaskan dari berbagai literature sejarah, para sufi yang juga merangkap sebagai pedagang berhasil membumikan Islam di nusantara setidaknya pada abad ke XII-XIV, tepatnya setelah kehancuran Bagdad pada tahun 1258 M dan dunia intelektual Islam terpuruk kehilangan jati dirinya.
Pada masa walisongo, sebagian kalangan meyakini, bahwa penyebaran Islam di tanah Jawa melalui pesantren dianggap sarana sosialisasi yang potensial untuk penyebaran ilmu dan agama. Ini didukung dengan adanya eksistensi para wali yang sangat multi peran seperti kyai. Pada satu saat walisongo bisa berfungsi sebagai para normal yang dapat meramal kejadian hari esok, disaat yang lain justru berperan sebagai penggerak (multivator) terhadap kemapanan pengaruh Hindu Budha, selain tentu saja pada misinya semula, menyebarkan agama Islam.
Diantara simpang siurnya sekian banyak klaim yang dipercaya, Raden Rahmat (Sunan Ampel) adalah pendiri pesantren pertama  kali, yakni pada abad ke-15. Hal ini terjadi ketika beliau meninggalkan Cempo untuk menyusul bibinya prabu Ndorowati yang diambil permaisuri raja Majapahit, Wirabumi IX. Ketegangan terjadi ketika Raden Rahmat mulai menampakkan misinya, menyebarkan agama Islam. Sedangkan untuk mengadakan pengusiran jelas mustahil, karena Raden Rahmat masih terhitung kerabat dekat istana. Maka sebagai jalan keluarnya, Raden Rahmat diberi sebidang tanah yang letaknya jauh dari kota Majapahit (Mojokerto), kawasan itu adalah Ngampel Denta di wilayah Surabaya, makin luasnya pengaruh dan simpati Raden Rahmat menarik berbagai orang di sekitarnya untuk mengguru, selanjutnya sebagai pusat untuk melakukan kegiatan Raden Rahmat membangun sebuah masjid, saking banyaknya orang yang datang untuk ngangsu kaweruh, Raden Rahmat membangun pula sebuah asrama, dan asrama inilah yang akhirnya berkembang mejadi sebuah pondok pesantren tempat Raden Rahmat menyebarkan ilmu (baca : Agama)

REALITAS KARAKTER
Sejarah mencatat bahwa pesantren memiliki tiga peran dan fungsi yang dilaksanakan serentak dengan dijiwai watak kemandirian dan semangat kejuangan.
Pertama : sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam, dalam hal ini pesantren ikut bertanggungjawab dalam mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan sumberdaya manusia, diharapkan bangsa ini bisa memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi (baca : keterampilan) yang handal dengan dilandasi iman dan taqwa yang kokoh dan tangguh yang mampu menjawab berbagai tuntutan teater zaman.
Kedua : sebagai lembaga perjuangan dan da'wah Islamiyah, dalam hal ini pesantren ikut bertanggungjawab menyiarkan agama Islam, selain itu pesantren juga ikut berpartisipasi aktif dalam membina kehidupan umat beragama dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga : sebagai lembaga pemberdaya dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal ini pesantren ikut mendarmabaktikan peran, fungsi, dan potensi yang dimilikinya untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat yang adil, beradab, sejahtera, demokratis berdasarkan teks redaksional Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam perjalanannya, pesantren telah banyak mendapatkan pengaruh, baik dari luar (Eksternal) maupun dari dalam (Internal). Pengaruh-pengaruh ini telah memaksa pesantren untuk melakukan serangkaian penyesuaian guna mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga bertafaqquh fiddin yang mengemban risalah para nabi dan ulama'nya. Ketiga peran dan fungsi di atas diharapkan mampu menjadi sarana untuk meneguhkan kembali komitmen pesantren yaitu : Hidup dari, oleh dan untuk masyarakat.

Wallahu A'lam



0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan