Di level internasional, pembantaian demi pembantaian terus-menerus terjadi di mana-mana, terutama terhadap kaum muslimin. Belum kering darah syuhada’ di Palestina, terjangan peluru-peluu bengis sudah mengoyak tubuh kaum muslimin di Pattani. Tidak hanya masjid-masjid di Baghdad yang menjadi saksi kekejian terhadap kaum muslimin, pegunungan bersalju abadi di Kaukasus pun menyaksikan penyiksaan dan pembantaian yang serupa.
Kondisi ini sebenarnya sudah menjadi keprihatinan sejak
lama. Dalam piagam deklarasinya, gerakan perlawanan Islam HAMAS yang berjuang
di Palestina mengutip kata-kata bertenaga seorang ulama’ besar, Syaikh Amjad
az-Zahawy. “Dunia Islam kini tengah terbakar, kewajiban setiap kita adalah
memadamkannya sesuai dengan jangkauan tangan kita, tanpa menunggu yang lain…”
Tidak hanya itu, ummat Islam juga sedang difitnah di
mana-mana. Disebut teroris, radikal, fundamentalis, dan beragam sebutan yang
diarahkan ke sesuatu yang negatif. Ada isu bom
sedikit saja, telunjuk media massa
internasional langsung menunjuk ke kaum muslimin. Pencitraan negative terhadap
Islam ini dengan gencar dilakukan oleh media-media massa internasional, baik dengan sengaja
(karena mereka memang punya kepentingan), atau tidak (karena ikut-ikutan dan
tidak tahu faktanya). Tentu saja kita masih ingat kasus kartun Nabi Muhammad
yang dimuat oleh Jyllands-Posten, salah satu media massa
ternama di Denmark.
Belum lagi komik Nabi Muhammad versi Indonesia yang menyorot dan menilai
bahwa Nabi adalah seorang yang hiper-sex.
Ketersingkiran kaum muslimin dari panggung internasional
ini tidak hanya berdampak negative buat kaum muslimin saja. Sejak peradaban
Barat memuncaki peradaban, mulai dari zaman renaisans, berbagai kerusakan
terjadi di bumi ini tanpa bisa dibendung.
Zaman renaisans segera diikuti dengan terjadinya Revolusi Industri yang
melahirkan kapitalisme, yang kemudian berkembang menjadi imperialisme dan
kolonialisme. Pada era kolonialisme inilah bangsa-bangsa Barat berkeliling
dunia dengan kecanggihan teknologi mereka untuk mencari sumber daya alam
sekaligus pangsa pasar bagi produksi mereka. Untuk mencapai tujuan ini, mereka
menghalalkan segala macam cara dengan menganggap wilayah-wilayah yang baru
mereka injak itu adalah “Terra Nullius” alias “Tanah Kosong” yang tak bertuan.
Dengan anggapan seperti itu, dengan seenaknya mereka mengkapling-kapling dunia
as delicious as his own wudel (seenak udelnya sendiri). Nenek moyang
kita di Nusantara juga salah satu korban mereka yang paling tahan lama.
Setelah kolonialisme dikecam di seluruh dunia seiring
dengan gelombang kemerdekaan Negara-negara di Asia Afrika setelah Perang Dunia
Kedua usai, bukan berarti kekejian yang terjadi akibat kerakusan manusia itu
tidak berhenti. Ekploitasi kasar dalam bentuk penjajahan memang tidak terjadi,
tetapi sebenarnya penghisapan itu tetap terjadi sampai sekarang. Melalui
dominasi ekonomi dan politik (dan kadang-kadang militer) Negara-negara maju
memaksakan kehendaknya di berbagai bidang. Negara-negara berkembang dijerat
dalam utah
yang tidak mungkin dapat terbayar sampai tujuh turunan. Tidak hanya itu, mereka
juga semakin dijerumuskan melalui program-program yang dimotori oleh
Negara-negara maju, seperti WTO (World Trade Organization), IMF, atau World
Bank.
Maka, seperti inilah dunia kita sekarang: sekitar dua puluh persen penduduk dunia,
terutama mereka yang berada di belahan dunia utara (Eropa, Amerika Utara, dan
Korea-Jepang) menikmati delapan puluh persen kemakmuran dunia. Sementara itu,
delapan puluh persen penduduk dunia berebut dua puluh persen kemakmuran
sisanya. Pada saat seorang perempuan di Paris
mengecat kukunya dengan biaya jutaan rupiah, anak-anak Somalia sedang berebut sisa-sisa
makanan di kamp pengungsian yang bahkan tak layak disebut sebagai
"kamp".
Tak perlu jauh-jauh sampai ke dunia internasional, Indonesia
kita tercinta ini juga gambaran yang cukup sempurna dari ketidakadilan global
ini. Ratusan triliun diberikan Cuma-Cuma buat para konglomerat, sementara untuk
pendidikan pun tidak ada anggaran APBN yang tersedia. Gedung-gedung mewah
berjejeran di Jakarta,
sementara di sela-selanya terselip rumah-rumah kumuh yang tak layak huni.
Identitas kita sebagai sebuah bangsa yang berbudaya juga semakin terkikis oleh
serbuan penjajahan budaya dan gaya
hidup yang ditopang oleh para pemodal. Persis seperti kerbau dicongok
hidungnya, pemuda-pemuda kita dicetak untuk berperilaku sesuai keinginan para
penguasa modal ini. Bagaimana jadinya masa depan bangsa ini kalau bocah-bocah
SD saja sudah terbiasa membaca dan nonton film porno?? Piye jal??
Semua kerusakan tersebut, mulai dari yang ada di skala
paling kecil sampai di skala dunia, terjadi karena manusia telah tercabut dari
kemanusiaannya. Mereka lupa atau bahkan tidak mau tahu, untuk apa mereka ada
dan hidup di dunia. Mereka lupa aturan-aturan yang harus diikuti untuk
menjalani peran sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Sudah jelas, akibatnya
nafsulah yang berkuasa dan menunggangi mereka.
Jawaban untuk berbagai persoalan tadi sebenarnya sangat sederhana.
Cukup dengan mengembalikan manusia kepada "kemanusiaan"-nya, niscaya
manusia akan hidup dengan harmonis satu sama lain. Keadilan pasti akan tegak
jika fitrah manusia (Islam) telah tegak di hati manusia.
Saat ini, gelombang kembali menuju Islam sedang
bergelora di mana-mana. Di negeri-negeri Muslim yang sekuler seperti Turki atau
Mesir, gerakan Islam mulai tampil sebagai salah satu pemain utama di arena
politik. HAMAS di Palestina justru tampil menjadi pemerintah, meskipun
terus-menerus dirongrong melalui segala cara yang tidak halal oleh AS dan
sekutunya, terutama Israel.
Eropa dan Amerika yang selama berabad-abad sangat tertutup terhadap Islam, kini
menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan agama ini, meskipun tetap saja
mengalami berbagai diskriminasi.
Indonesia
sekarang juga jelas berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu. Masa-masa di mana
para aktivis Islam dapat dengan gampang ditangkapi, Islam mulai mewarnai
sedikit demi sedikit kehidupan masyarakat kita, meskipun masih banyak hal yang
harus dilakukan. Setidaknya, sinetron-sinetron kita juga mulai bergaya Islami,
meskipun baru gayanya.
Saat ini Negara-negara maju manusia modern mulai kembali
mencari "Tuhan". Karena telah banyak yang merasa meraih kesuksesan
dengan kecerdasan-kecerdasan mereka (baik Kecerdasan Intelejensi [IQ] maupun
Kecerdasan Emosional [EQ]), namun ternyata kehidupannya tidak terlalu
menyenangkan. Padahal di mata manusia mereka sukses: punya rumah mewah,
pasangan menawan, harta melimpah, mobil berderet-deret, helicopter pribadi, dan
seterusnya.
Fenomena yang disebut Giles Kepel sebagai
"La Revanche de Dieu" ("The Revenge of God"), yaitu
kembalinya "Tuhan" ke dalam kehidupan manusia modern – setelah
ditinggalkan – sebagai bagian dari pencerahan. Karena Eropa mengalami pengalaman
buruk dengan gereja yang gemar menindas, berbeda dengan Islam di mana agama
memberikan ruang sangat lapang bagi pengetahuan. Hari ini, Islam adalah agama
yang paling cepat pertumbuhannya di seluruh dunia. Hal ini diakui dalam novel
best seller karya Raymond Khoury: "The Messiah Conspiracy", di mana
di dalamnya disertakan sejarah kedustaan gereja dan secara tidak langsung
menunjukkan kebenaran ajaran Tauhid.
So?? Bagi orang-orang yang bisa mambaca arah perubahan
zaman, jelaslah bahwa seluruh dunia saat ini tengah menuju kepada satu titik :
Islam. Menentang arah perubahan ini berarti membuat kita tertelan gelombang
perubahan itu sendiri. Pilihan ada di tangan kita. Memilih menjadi
"Generasi Pengganti" sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah 54,
ataukah menjadi golongan yang tertindas gelombang perubahan.
0 komentar:
Post a Comment