28.3.12

POTRET "KELAM" ISLAM, SERTA PERUBAHAN YANG ADA DI TANGAN KITA


Di level internasional, pembantaian demi pembantaian terus-menerus terjadi di mana-mana, terutama terhadap kaum muslimin. Belum kering darah syuhada’ di Palestina, terjangan peluru-peluu bengis sudah mengoyak tubuh kaum muslimin di Pattani. Tidak hanya masjid-masjid di Baghdad yang menjadi saksi kekejian terhadap kaum muslimin, pegunungan bersalju abadi di Kaukasus pun menyaksikan penyiksaan dan pembantaian yang serupa.

Kondisi ini sebenarnya sudah menjadi keprihatinan sejak lama. Dalam piagam deklarasinya, gerakan perlawanan Islam HAMAS yang berjuang di Palestina mengutip kata-kata bertenaga seorang ulama’ besar, Syaikh Amjad az-Zahawy. “Dunia Islam kini tengah terbakar, kewajiban setiap kita adalah memadamkannya sesuai dengan jangkauan tangan kita, tanpa menunggu yang lain…”
Tidak hanya itu, ummat Islam juga sedang difitnah di mana-mana. Disebut teroris, radikal, fundamentalis, dan beragam sebutan yang diarahkan ke sesuatu yang negatif. Ada isu bom sedikit saja, telunjuk media massa internasional langsung menunjuk ke kaum muslimin. Pencitraan negative terhadap Islam ini dengan gencar dilakukan oleh media-media massa internasional, baik dengan sengaja (karena mereka memang punya kepentingan), atau tidak (karena ikut-ikutan dan tidak tahu faktanya). Tentu saja kita masih ingat kasus kartun Nabi Muhammad yang dimuat oleh Jyllands-Posten, salah satu media massa ternama di Denmark. Belum lagi komik Nabi Muhammad versi Indonesia yang menyorot dan menilai bahwa Nabi adalah seorang yang hiper-sex.
Ketersingkiran kaum muslimin dari panggung internasional ini tidak hanya berdampak negative buat kaum muslimin saja. Sejak peradaban Barat memuncaki peradaban, mulai dari zaman renaisans, berbagai kerusakan terjadi  di bumi ini tanpa bisa dibendung. Zaman renaisans segera diikuti dengan terjadinya Revolusi Industri yang melahirkan kapitalisme, yang kemudian berkembang menjadi imperialisme dan kolonialisme. Pada era kolonialisme inilah bangsa-bangsa Barat berkeliling dunia dengan kecanggihan teknologi mereka untuk mencari sumber daya alam sekaligus pangsa pasar bagi produksi mereka. Untuk mencapai tujuan ini, mereka menghalalkan segala macam cara dengan menganggap wilayah-wilayah yang baru mereka injak itu adalah “Terra Nullius” alias “Tanah Kosong” yang tak bertuan. Dengan anggapan seperti itu, dengan seenaknya mereka mengkapling-kapling dunia as delicious as his own wudel (seenak udelnya sendiri). Nenek moyang kita di Nusantara juga salah satu korban mereka yang paling tahan lama.
Setelah kolonialisme dikecam di seluruh dunia seiring dengan gelombang kemerdekaan Negara-negara di Asia Afrika setelah Perang Dunia Kedua usai, bukan berarti kekejian yang terjadi akibat kerakusan manusia itu tidak berhenti. Ekploitasi kasar dalam bentuk penjajahan memang tidak terjadi, tetapi sebenarnya penghisapan itu tetap terjadi sampai sekarang. Melalui dominasi ekonomi dan politik (dan kadang-kadang militer) Negara-negara maju memaksakan kehendaknya di berbagai bidang. Negara-negara berkembang dijerat dalam utah yang tidak mungkin dapat terbayar sampai tujuh turunan. Tidak hanya itu, mereka juga semakin dijerumuskan melalui program-program yang dimotori oleh Negara-negara maju, seperti WTO (World Trade Organization), IMF, atau World Bank.
Maka, seperti inilah dunia kita sekarang:  sekitar dua puluh persen penduduk dunia, terutama mereka yang berada di belahan dunia utara (Eropa, Amerika Utara, dan Korea-Jepang) menikmati delapan puluh persen kemakmuran dunia. Sementara itu, delapan puluh persen penduduk dunia berebut dua puluh persen kemakmuran sisanya. Pada saat seorang perempuan di Paris mengecat kukunya dengan biaya jutaan rupiah, anak-anak Somalia sedang berebut sisa-sisa makanan di kamp pengungsian yang bahkan tak layak disebut sebagai "kamp".
Tak perlu jauh-jauh sampai ke dunia internasional, Indonesia kita tercinta ini juga gambaran yang cukup sempurna dari ketidakadilan global ini. Ratusan triliun diberikan Cuma-Cuma buat para konglomerat, sementara untuk pendidikan pun tidak ada anggaran APBN yang tersedia. Gedung-gedung mewah berjejeran di Jakarta, sementara di sela-selanya terselip rumah-rumah kumuh yang tak layak huni. Identitas kita sebagai sebuah bangsa yang berbudaya juga semakin terkikis oleh serbuan penjajahan budaya dan gaya hidup yang ditopang oleh para pemodal. Persis seperti kerbau dicongok hidungnya, pemuda-pemuda kita dicetak untuk berperilaku sesuai keinginan para penguasa modal ini. Bagaimana jadinya masa depan bangsa ini kalau bocah-bocah SD saja sudah terbiasa membaca dan nonton film porno?? Piye jal??
Semua kerusakan tersebut, mulai dari yang ada di skala paling kecil sampai di skala dunia, terjadi karena manusia telah tercabut dari kemanusiaannya. Mereka lupa atau bahkan tidak mau tahu, untuk apa mereka ada dan hidup di dunia. Mereka lupa aturan-aturan yang harus diikuti untuk menjalani peran sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Sudah jelas, akibatnya nafsulah yang berkuasa dan menunggangi mereka.
Jawaban untuk berbagai persoalan tadi sebenarnya sangat sederhana. Cukup dengan mengembalikan manusia kepada "kemanusiaan"-nya, niscaya manusia akan hidup dengan harmonis satu sama lain. Keadilan pasti akan tegak jika fitrah manusia (Islam) telah tegak di hati manusia.
Saat ini, gelombang kembali menuju Islam sedang bergelora di mana-mana. Di negeri-negeri Muslim yang sekuler seperti Turki atau Mesir, gerakan Islam mulai tampil sebagai salah satu pemain utama di arena politik. HAMAS di Palestina justru tampil menjadi pemerintah, meskipun terus-menerus dirongrong melalui segala cara yang tidak halal oleh AS dan sekutunya, terutama Israel. Eropa dan Amerika yang selama berabad-abad sangat tertutup terhadap Islam, kini menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan agama ini, meskipun tetap saja mengalami berbagai diskriminasi.
Indonesia sekarang juga jelas berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu. Masa-masa di mana para aktivis Islam dapat dengan gampang ditangkapi, Islam mulai mewarnai sedikit demi sedikit kehidupan masyarakat kita, meskipun masih banyak hal yang harus dilakukan. Setidaknya, sinetron-sinetron kita juga mulai bergaya Islami, meskipun baru gayanya.
Saat ini Negara-negara maju manusia modern mulai kembali mencari "Tuhan". Karena telah banyak yang merasa meraih kesuksesan dengan kecerdasan-kecerdasan mereka (baik Kecerdasan Intelejensi [IQ] maupun Kecerdasan Emosional [EQ]), namun ternyata kehidupannya tidak terlalu menyenangkan. Padahal di mata manusia mereka sukses: punya rumah mewah, pasangan menawan, harta melimpah, mobil berderet-deret, helicopter pribadi, dan seterusnya.
Fenomena yang disebut Giles Kepel sebagai "La Revanche de Dieu" ("The Revenge of God"), yaitu kembalinya "Tuhan" ke dalam kehidupan manusia modern – setelah ditinggalkan – sebagai bagian dari pencerahan. Karena Eropa mengalami pengalaman buruk dengan gereja yang gemar menindas, berbeda dengan Islam di mana agama memberikan ruang sangat lapang bagi pengetahuan. Hari ini, Islam adalah agama yang paling cepat pertumbuhannya di seluruh dunia. Hal ini diakui dalam novel best seller karya Raymond Khoury: "The Messiah Conspiracy", di mana di dalamnya disertakan sejarah kedustaan gereja dan secara tidak langsung menunjukkan kebenaran ajaran Tauhid.
So?? Bagi orang-orang yang bisa mambaca arah perubahan zaman, jelaslah bahwa seluruh dunia saat ini tengah menuju kepada satu titik : Islam. Menentang arah perubahan ini berarti membuat kita tertelan gelombang perubahan itu sendiri. Pilihan ada di tangan kita. Memilih menjadi "Generasi Pengganti" sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah 54, ataukah menjadi golongan yang tertindas gelombang perubahan.



0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan