Kenakalan,  sebenarnya adalah hal yang  normal bagi anak-anak dalam tahap perkembangan kanak-kanak. Mereka  sedang belajar untuk mengontrol tubuh mereka sendiri, memahami  lingkungan sekitarnya, serta  belajar nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat. Mereka banyak  melakukan percobaan (eksperimen) terhadap sesuatu yang menarik perhatian  dan belum mereka ketahui: bagian tubuh, hewan-hewan, perkakas di rumah,  tumbuh-tumbuhan dan obyek-obyek lainnya. Sayangnya, dalam bereksperimen  mereka sering lalai dan ceroboh, hasilnya, eksperimen mereka sering  kali membuat orang tua dan orang  di sekitarnya menjadi jengah dengan ulah mereka: kotoran berserakan,  perkakas berantakan, baju belepotan, perabot pecah, jatuh saat berlari,  sampai konflik sesama anak-anak.Terang saja, menurut Jean Piaget, seorang tokoh psikologi, mereka masih  berada dalam tahap perkembangan kognitif pra-operasional (sekitar usia  2—7 tahun). Pada tahap ini anak sering kali secara kognitif salah dan  irasional dalam memahami sesuatu, kemampuan kognitif (pikiran) mereka  masih belum sempurna. Misalnya, anak yang mendapati pakaiannya semakin  lama semakin kecil dan tidak pas dipakai, biasanya akan berpikir secara irasional bahwa pakaian itu bisa  mengecil jika lama dipakai, padahal sebenarnya bukan pakaian yang  menjadi kecil, akan tetapi dialah yang semakin membesar tubuhnya. Mereka  juga sering salah dalam  menentukan mana yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima secara  moral. Kohlberg yang juga  seorang tokoh psikologi menyebut anak-anak masih berada dalam tahapan  moral pra-konvensional (terjadi kira-kira sebelum usia 9 tahun). Pada  tahap ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral,  penalaran moral anak dikendalikan oleh imbalan/hadiah dan hukuman  internal. Anak-anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat,  karena jika tidak mereka akan mendapat hukuman. Apa yang benar adalah  apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah dan  kesenangan.
Namun,  anak yang sering menunjukkan ketidakpatuhan, suka melanggar aturan  perilaku baik di rumah maupun di sekolah, seperti suka berkelahi,  berbuat rusuh, sulit bekerja sama, kurang ajar, sering gelisah dan  berbohong, serta sering menunjukkan temper  tantrum (marah, menolak dengan menjerit-jerit) tidak dapat dikatakan normal dalam  level perkembangan di mana mestinya ia bisa mematuhi aturan yang ada,  yang telah ia ketahui. Anak yang menunjukkan perilaku seperti ini patut  diwaspadai oleh orang tua khususnya dan orang yang ada di sekitarnya  agar mendapatkan perhatian khusus, dan mendapat penanganan, sehingga  anak tersebut tidak terus berkembang menjadi anak yang menyusahkan  anggota keluarga lainnya dan lingkungan sekitar. Selain itu anak yang  tidak mendapat penanganan yang tepat, besar kemungkinan perilaku  tersebut akan di bawa sampai dewasa, jika demikian, maka ia berpotensi  menjadi orang yang anti-sosial (suka melawan norma masyarakat, seperti  melakukan tindakan kriminal) dan perilakunya menjadi sangat sulit untuk  bisa diubah.
Apa Sebabnya?


Ketiga. Adanya ketidakselarasan dalam pengasuhan (inconsistant parenting). Keadaan ini terjadi sebagai akibat perbedaan standar dalam menilai perilaku anak dari orang-orang yang terlibat dalam pengasuhan. Seperti antara ibu dan ayah, atau kalau pengasuhan tersebut dipegang oleh kakek-nenek si anak, biasanya ketidak-selarasan terjadi antara orang tua dengan kakek-nenek. Pada umumnya standar orang tua lebih ketat bila dibanding dengan kakek-nenek. Pola pengasuhan kakek-nenek kepada cucunya cenderung permisif (serba membolehkan), karena rasa sayang yang lebih besar.
Saran untuk Orang Tua
Tentu  saja dalam melakukan cara-cara untuk membuat anak melakukan perintah,  orang tua perlu melihat keadaan anak, misalnya, anak yang sedang  sakit/menunjukkan tanda-tanda sakit atau sangat lelah akibat perjalanan  jauh, tidak dapat disamakan dengan anak yang berpura-pura sakit atau  berpura-pura kelelahan. Jika demikian, orang tua perlu mempertimbangkan  tiga hal, yaitu (1) harus melihat situasi dan kondisi sebelum memberi  perintah kepada anak, pastikan anak sanggup melaksanakannya, (2) dalam  melakukan cara guna membuat anak menuruti perintahnya, orang tua perlu  mempertimbangkan kondisi anak dan mengambil cara yang paling ringan efek  sampingnya, (3) tidak perlu memupuk rasa kasihan dalam membebankan  tugas tertentu pada anak dalam hal-hal yang dipastikan tidak akan  membahayakan jiwa maupun fisik anak, seperti contoh di atas,  memerintahkan anak membuang sampah. Selain itu penyamaan persepsi  mengenai standar dalam mengasuh anak juga penting untuk dibicarakan  antara ayah dan ibu, perlu ada kesepakatan mengenai apa yang  boleh/baik/harus dilakukan dan yang mana yang tidak boleh, buruk dan  harus ditinggalkan oleh anak. Wallahu  a’lam bish-shawaab.
Renungan
Namun,  anak yang sering menunjukkan ketidakpatuhan, suka melanggar aturan  perilaku baik di rumah maupun di sekolah, seperti suka berkelahi,  berbuat rusuh, sulit bekerja sama, kurang ajar, sering gelisah dan  berbohong, serta sering menunjukkan temper  tantrum (marah, menolak dengan menjerit-jerit) tidak dapat dikatakan normal dalam  level perkembangan di mana mestinya ia bisa mematuhi aturan yang ada,  yang telah ia ketahui. Anak yang menunjukkan perilaku seperti ini patut  diwaspadai oleh orang tua khususnya dan orang yang ada di sekitarnya  agar mendapatkan perhatian khusus, dan mendapat penanganan, sehingga  anak tersebut tidak terus berkembang menjadi anak yang menyusahkan  anggota keluarga lainnya dan lingkungan sekitar. Selain itu anak yang  tidak mendapat penanganan yang tepat, besar kemungkinan perilaku  tersebut akan di bawa sampai dewasa, jika demikian, maka ia berpotensi  menjadi orang yang anti-sosial (suka melawan norma masyarakat, seperti  melakukan tindakan kriminal) dan perilakunya menjadi sangat sulit untuk  bisa diubah.Orang tua  tidak boleh menganggap anaknya yang sering melakukan ciri-ciri perilaku  di atas sebagai sesuatu yang wajar, dan terus-menerus menolerir tindakan  yang merugikan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Orang tua,  karena berbagai sebab (misalnya karena terlalu sayang), seringkali  membuat-buat alasan (rasionalisasi) yang sebenarnya tidak logis agar  dapat menerima perilaku anaknya yang melanggar aturan atau perintah itu.  Cara orang tua dalam menangani masalah (coping problem) seperti ini akan manjadi bomerang tidak  hanya bagi diri orang tua (karena ia akan terus-menerus terusik dan  mendapat perlawanan), tetapi juga bagi anaknya. Anak menjadi tidak paham  terhadap mana yang boleh/baik/harus dilakukan dan yang mana yang tidak  boleh, buruk dan harus ditinggalkan. Alhasil, orang tua turut serta  membentuk anaknya menjadi pribadi sulit dikontrol.
Apa Sebabnya?
Sebenarnya perilaku anak yang suka  melanggar norma tersebut dipelajari secara terpaksa/tidak sengaja,  sebagai cara untuk menunjukkan kontrol anak terhadap perilaku orang tua  mereka. Perilaku pembangkangan pada anak memang tidak dapat lepas dari  cara orang tua memperlakukan anaknya. Pembentukan perilaku-perilaku  pembangkangan oleh anak tersebut terjadi dalam beberapa cara, antara  lain:
Pertama. Orang tua memberikan penguat  negatif (negative reinforcer;  yang justru befungsi memperkuat respon) kepada anak agar ia menghentikan  respon negatif akibat adanya stimulus eversif (tidak menyenangkan) yang  diberikan orang tua sebelumnya. Keadaan semacam ini disebut “perangkap  akibat penguat negatif” (negative  reinforcer trap).
Contoh:  Orang tua menyuruh anaknya membuang sampah, anak menolak dengan cara  menunjukkan temper tantrum (kemarahan yang meledak-ledak, menolak dengan  menjerit-jerit), orang tua manarik perintahnya. Maka anak akan  mempelajari perilaku membangkang tersebut, kapan-kapan ia akan  mengulangi perilaku yang sama untuk melawan perintah orang tua, yaitu  dengan cara temper tantrum.
Contoh lain: ketika berada di tempat  perbelanjaan anak melihat ada mainan yang disukainya, ia merengek-rengek  kepada ibunya minta dibelikan. Ibunya merasa tak tahan dengan rengekan  anaknya dan malu pada orang lain bila anaknya terus-menerus merengek,  akhirnya ia mengabulkan permintaan anaknya. Maka anak akan mempelajari  perilaku merengek sebagai senjata untuk memaksa orang tuanya menuruti  kehendaknya. Kapan-kapan kalau ia menginginkan sesuatu ia akan  merengek-rengek agar mendapatkan yang ia inginkan.
Kedua.       Terjadi akibat adanya penguat positif (positive reinforcer) yang diberikan oleh orang tua untuk  mengatasi respon anak. Biasanya ini akibat pola-pola perhatian dari  orang tua: mencari-cari alasan untuk menerima perilaku anak, berusaha  memahami dengan cara mendiksusikan hal tersebut pada anak. Keadaan  seperti ini disebut sebagai “perangkap penguat positif” (positive reinforcer trap).
Contoh: orang tua menyuruh anaknya mandi,  anak menolak, dan ngambek, agar anak tidak ngambek dan bersedia mandi,  orang tua merayu anak dengan berjanji akan membelikan sesuatu  pada  anak, misalnya makanan yang disukai. Maka anak akan mempelajari perilaku  membangkang tersebut, kapan-kapan ia akan mengulangi perilaku yang sama  untuk melawan perintah orang tua, yaitu dengan mengajukan syarat kepada  orang tua.
Ketiga. Adanya ketidakselarasan dalam pengasuhan (inconsistant parenting). Keadaan ini terjadi sebagai akibat perbedaan standar dalam menilai perilaku anak dari orang-orang yang terlibat dalam pengasuhan. Seperti antara ibu dan ayah, atau kalau pengasuhan tersebut dipegang oleh kakek-nenek si anak, biasanya ketidak-selarasan terjadi antara orang tua dengan kakek-nenek. Pada umumnya standar orang tua lebih ketat bila dibanding dengan kakek-nenek. Pola pengasuhan kakek-nenek kepada cucunya cenderung permisif (serba membolehkan), karena rasa sayang yang lebih besar.
Contoh: anak berkelahi sampai melukai  temannya, ayah marahinya dan menghukum anaknya dengan melarangnya  bermain selama beberapa hari. Ibu tidak sepakat dengan keputusan ayah,  justru membela dan memberikan kasih sayang kepada anaknya, kadang-kadang  kalau ayah tidak ada, ia membiarkan anaknya keluar untuk bermain. Kalau  demikian keadaannya, maka anak kapan-kapan akan melawan perintah atau  hukuman ayahnya karena merasa memiliki pendukung, yaitu ibunya.
Saran untuk Orang Tua
Orang  tua harus pandai-pandai mencari cara-cara alternatif agar perintahnya  dapat dituruti oleh anak. Orang tua harus berjuang keras memastikan anak  melakukan perintah. Orang tua tidak disarankan menarik kembali  (membatalkan perintahnya) atau mengurangi beban yang perintahkan, ini  akan mempengaruhi persepsi anak kepada orang tua, anak menjadi kurang  hormat pada orang tua karena dianggap kurang kewibawaannya. Orang tua  yang mudah dikontrol oleh kemauan anaknya, akan menyebabkan terbentuknya  karekter anak yang kurang mandiri, egois, kurang toleran dan kurang  bisa berempati pada orang lain (empati: menempatkan diri dalam posisi  orang lain agar dapat merasakan perasaan, penderitaan atau kesulitan  orang lain).
Tentu  saja dalam melakukan cara-cara untuk membuat anak melakukan perintah,  orang tua perlu melihat keadaan anak, misalnya, anak yang sedang  sakit/menunjukkan tanda-tanda sakit atau sangat lelah akibat perjalanan  jauh, tidak dapat disamakan dengan anak yang berpura-pura sakit atau  berpura-pura kelelahan. Jika demikian, orang tua perlu mempertimbangkan  tiga hal, yaitu (1) harus melihat situasi dan kondisi sebelum memberi  perintah kepada anak, pastikan anak sanggup melaksanakannya, (2) dalam  melakukan cara guna membuat anak menuruti perintahnya, orang tua perlu  mempertimbangkan kondisi anak dan mengambil cara yang paling ringan efek  sampingnya, (3) tidak perlu memupuk rasa kasihan dalam membebankan  tugas tertentu pada anak dalam hal-hal yang dipastikan tidak akan  membahayakan jiwa maupun fisik anak, seperti contoh di atas,  memerintahkan anak membuang sampah. Selain itu penyamaan persepsi  mengenai standar dalam mengasuh anak juga penting untuk dibicarakan  antara ayah dan ibu, perlu ada kesepakatan mengenai apa yang  boleh/baik/harus dilakukan dan yang mana yang tidak boleh, buruk dan  harus ditinggalkan oleh anak. Wallahu  a’lam bish-shawaab.Renungan
Setelah Anda membaca tulisan di atas, maka  ada baiknya merenungkan dua terjemahan hadits berikut, semoga ada  pelajaran yang dapat diambil.
“Seorang laki-laki adalah penggembala di dalam keluarganya,  dan ia bertanggung jawab terhadapa gembalaannya itu. Dan seorang wanita  adalah pengembala di dalam rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab  terhadap gembalaannya itu.” (riwayat al-Bukhari dan Muslim).
“Seseorang yang mendidik anaknya lebih  baik daripada bersedekah satu sha’.” (riwayat at-Tirmidzi).
Kamudian setelah Anda telah cukup  merenungkannya, maka tuliskanlah hasil renungan Anda itu di atas kertas,  simpanlah kertas tersebut, dan jadikan sebagai pengingat di kala Anda  mulai lelah dengan keseharian Anda.
Semoga bermanfaat.
Komentarnya Yaaa.........



Arif As 66 BTG
 Posted in:  
1 komentar:
yang sayang anak, ikuti tips cara mendidik anak disini
Post a Comment