19.6.10

Penyebab Anak Menjadi Nakal


Kenakalan, sebenarnya adalah hal yang normal bagi anak-anak dalam tahap perkembangan kanak-kanak. Mereka sedang belajar untuk mengontrol tubuh mereka sendiri, memahami lingkungan sekitarnya, serta belajar nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat. Mereka banyak melakukan percobaan (eksperimen) terhadap sesuatu yang menarik perhatian dan belum mereka ketahui: bagian tubuh, hewan-hewan, perkakas di rumah, tumbuh-tumbuhan dan obyek-obyek lainnya. Sayangnya, dalam bereksperimen mereka sering lalai dan ceroboh, hasilnya, eksperimen mereka sering kali membuat orang tua dan orang di sekitarnya menjadi jengah dengan ulah mereka: kotoran berserakan, perkakas berantakan, baju belepotan, perabot pecah, jatuh saat berlari, sampai konflik sesama anak-anak.

Terang saja, menurut Jean Piaget, seorang tokoh psikologi, mereka masih berada dalam tahap perkembangan kognitif pra-operasional (sekitar usia 2—7 tahun). Pada tahap ini anak sering kali secara kognitif salah dan irasional dalam memahami sesuatu, kemampuan kognitif (pikiran) mereka masih belum sempurna. Misalnya, anak yang mendapati pakaiannya semakin lama semakin kecil dan tidak pas dipakai, biasanya akan berpikir secara irasional bahwa pakaian itu bisa mengecil jika lama dipakai, padahal sebenarnya bukan pakaian yang menjadi kecil, akan tetapi dialah yang semakin membesar tubuhnya. Mereka juga sering salah dalam menentukan mana yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima secara moral. Kohlberg yang juga seorang tokoh psikologi menyebut anak-anak masih berada dalam tahapan moral pra-konvensional (terjadi kira-kira sebelum usia 9 tahun). Pada tahap ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral anak dikendalikan oleh imbalan/hadiah dan hukuman internal. Anak-anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat, karena jika tidak mereka akan mendapat hukuman. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah dan kesenangan.
Namun, anak yang sering menunjukkan ketidakpatuhan, suka melanggar aturan perilaku baik di rumah maupun di sekolah, seperti suka berkelahi, berbuat rusuh, sulit bekerja sama, kurang ajar, sering gelisah dan berbohong, serta sering menunjukkan temper tantrum (marah, menolak dengan menjerit-jerit) tidak dapat dikatakan normal dalam level perkembangan di mana mestinya ia bisa mematuhi aturan yang ada, yang telah ia ketahui. Anak yang menunjukkan perilaku seperti ini patut diwaspadai oleh orang tua khususnya dan orang yang ada di sekitarnya agar mendapatkan perhatian khusus, dan mendapat penanganan, sehingga anak tersebut tidak terus berkembang menjadi anak yang menyusahkan anggota keluarga lainnya dan lingkungan sekitar. Selain itu anak yang tidak mendapat penanganan yang tepat, besar kemungkinan perilaku tersebut akan di bawa sampai dewasa, jika demikian, maka ia berpotensi menjadi orang yang anti-sosial (suka melawan norma masyarakat, seperti melakukan tindakan kriminal) dan perilakunya menjadi sangat sulit untuk bisa diubah.

Orang tua tidak boleh menganggap anaknya yang sering melakukan ciri-ciri perilaku di atas sebagai sesuatu yang wajar, dan terus-menerus menolerir tindakan yang merugikan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Orang tua, karena berbagai sebab (misalnya karena terlalu sayang), seringkali membuat-buat alasan (rasionalisasi) yang sebenarnya tidak logis agar dapat menerima perilaku anaknya yang melanggar aturan atau perintah itu. Cara orang tua dalam menangani masalah (coping problem) seperti ini akan manjadi bomerang tidak hanya bagi diri orang tua (karena ia akan terus-menerus terusik dan mendapat perlawanan), tetapi juga bagi anaknya. Anak menjadi tidak paham terhadap mana yang boleh/baik/harus dilakukan dan yang mana yang tidak boleh, buruk dan harus ditinggalkan. Alhasil, orang tua turut serta membentuk anaknya menjadi pribadi sulit dikontrol.

Apa Sebabnya?

Sebenarnya perilaku anak yang suka melanggar norma tersebut dipelajari secara terpaksa/tidak sengaja, sebagai cara untuk menunjukkan kontrol anak terhadap perilaku orang tua mereka. Perilaku pembangkangan pada anak memang tidak dapat lepas dari cara orang tua memperlakukan anaknya. Pembentukan perilaku-perilaku pembangkangan oleh anak tersebut terjadi dalam beberapa cara, antara lain:

Pertama. Orang tua memberikan penguat negatif (negative reinforcer; yang justru befungsi memperkuat respon) kepada anak agar ia menghentikan respon negatif akibat adanya stimulus eversif (tidak menyenangkan) yang diberikan orang tua sebelumnya. Keadaan semacam ini disebut “perangkap akibat penguat negatif” (negative reinforcer trap).

Contoh: Orang tua menyuruh anaknya membuang sampah, anak menolak dengan cara menunjukkan temper tantrum (kemarahan yang meledak-ledak, menolak dengan menjerit-jerit), orang tua manarik perintahnya. Maka anak akan mempelajari perilaku membangkang tersebut, kapan-kapan ia akan mengulangi perilaku yang sama untuk melawan perintah orang tua, yaitu dengan cara temper tantrum.


Contoh lain: ketika berada di tempat perbelanjaan anak melihat ada mainan yang disukainya, ia merengek-rengek kepada ibunya minta dibelikan. Ibunya merasa tak tahan dengan rengekan anaknya dan malu pada orang lain bila anaknya terus-menerus merengek, akhirnya ia mengabulkan permintaan anaknya. Maka anak akan mempelajari perilaku merengek sebagai senjata untuk memaksa orang tuanya menuruti kehendaknya. Kapan-kapan kalau ia menginginkan sesuatu ia akan merengek-rengek agar mendapatkan yang ia inginkan.

Kedua. Terjadi akibat adanya penguat positif (positive reinforcer) yang diberikan oleh orang tua untuk mengatasi respon anak. Biasanya ini akibat pola-pola perhatian dari orang tua: mencari-cari alasan untuk menerima perilaku anak, berusaha memahami dengan cara mendiksusikan hal tersebut pada anak. Keadaan seperti ini disebut sebagai “perangkap penguat positif” (positive reinforcer trap).

Contoh: orang tua menyuruh anaknya mandi, anak menolak, dan ngambek, agar anak tidak ngambek dan bersedia mandi, orang tua merayu anak dengan berjanji akan membelikan sesuatu pada anak, misalnya makanan yang disukai. Maka anak akan mempelajari perilaku membangkang tersebut, kapan-kapan ia akan mengulangi perilaku yang sama untuk melawan perintah orang tua, yaitu dengan mengajukan syarat kepada orang tua.


Ketiga. Adanya ketidakselarasan dalam pengasuhan (inconsistant parenting). Keadaan ini terjadi sebagai akibat perbedaan standar dalam menilai perilaku anak dari orang-orang yang terlibat dalam pengasuhan. Seperti antara ibu dan ayah, atau kalau pengasuhan tersebut dipegang oleh kakek-nenek si anak, biasanya ketidak-selarasan terjadi antara orang tua dengan kakek-nenek. Pada umumnya standar orang tua lebih ketat bila dibanding dengan kakek-nenek. Pola pengasuhan kakek-nenek kepada cucunya cenderung permisif (serba membolehkan), karena rasa sayang yang lebih besar.

Contoh: anak berkelahi sampai melukai temannya, ayah marahinya dan menghukum anaknya dengan melarangnya bermain selama beberapa hari. Ibu tidak sepakat dengan keputusan ayah, justru membela dan memberikan kasih sayang kepada anaknya, kadang-kadang kalau ayah tidak ada, ia membiarkan anaknya keluar untuk bermain. Kalau demikian keadaannya, maka anak kapan-kapan akan melawan perintah atau hukuman ayahnya karena merasa memiliki pendukung, yaitu ibunya.

Saran untuk Orang Tua

Orang tua harus pandai-pandai mencari cara-cara alternatif agar perintahnya dapat dituruti oleh anak. Orang tua harus berjuang keras memastikan anak melakukan perintah. Orang tua tidak disarankan menarik kembali (membatalkan perintahnya) atau mengurangi beban yang perintahkan, ini akan mempengaruhi persepsi anak kepada orang tua, anak menjadi kurang hormat pada orang tua karena dianggap kurang kewibawaannya. Orang tua yang mudah dikontrol oleh kemauan anaknya, akan menyebabkan terbentuknya karekter anak yang kurang mandiri, egois, kurang toleran dan kurang bisa berempati pada orang lain (empati: menempatkan diri dalam posisi orang lain agar dapat merasakan perasaan, penderitaan atau kesulitan orang lain).

Tentu saja dalam melakukan cara-cara untuk membuat anak melakukan perintah, orang tua perlu melihat keadaan anak, misalnya, anak yang sedang sakit/menunjukkan tanda-tanda sakit atau sangat lelah akibat perjalanan jauh, tidak dapat disamakan dengan anak yang berpura-pura sakit atau berpura-pura kelelahan. Jika demikian, orang tua perlu mempertimbangkan tiga hal, yaitu (1) harus melihat situasi dan kondisi sebelum memberi perintah kepada anak, pastikan anak sanggup melaksanakannya, (2) dalam melakukan cara guna membuat anak menuruti perintahnya, orang tua perlu mempertimbangkan kondisi anak dan mengambil cara yang paling ringan efek sampingnya, (3) tidak perlu memupuk rasa kasihan dalam membebankan tugas tertentu pada anak dalam hal-hal yang dipastikan tidak akan membahayakan jiwa maupun fisik anak, seperti contoh di atas, memerintahkan anak membuang sampah. Selain itu penyamaan persepsi mengenai standar dalam mengasuh anak juga penting untuk dibicarakan antara ayah dan ibu, perlu ada kesepakatan mengenai apa yang boleh/baik/harus dilakukan dan yang mana yang tidak boleh, buruk dan harus ditinggalkan oleh anak. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Renungan

Setelah Anda membaca tulisan di atas, maka ada baiknya merenungkan dua terjemahan hadits berikut, semoga ada pelajaran yang dapat diambil.

“Seorang laki-laki adalah penggembala di dalam keluarganya, dan ia bertanggung jawab terhadapa gembalaannya itu. Dan seorang wanita adalah pengembala di dalam rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab terhadap gembalaannya itu.” (riwayat al-Bukhari dan Muslim).

“Seseorang yang mendidik anaknya lebih baik daripada bersedekah satu sha’.” (riwayat at-Tirmidzi).

Kamudian setelah Anda telah cukup merenungkannya, maka tuliskanlah hasil renungan Anda itu di atas kertas, simpanlah kertas tersebut, dan jadikan sebagai pengingat di kala Anda mulai lelah dengan keseharian Anda.

Semoga bermanfaat.

Komentarnya Yaaa.........

1 komentar:

zahracoach said...

yang sayang anak, ikuti tips cara mendidik anak disini

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan