Saling meminta maaf lahir batin merupakan bagian dari tradisi Idul Fitri. Di luar konteks ibadah, memaafkan atau melepaskan luka batin ternyata juga mendatangkan manfaat positif bagi kesehatan karena bisa membuat seseorang jadi lebih sehat jiwa dan raga.
Jika kita bisa mememafkan dan melupakan secara tulus, ada banyak keuntungan yang menyehatkan. Penelitian menunjukkan sikap memaafkan membantu menurunkan teranan darah, menguatkan sistem imun, dan menurunkan sirkulasi hormon stres dalam darah.
Penelitian juga menunjukkan orang yang sudah mampu memaafkan mengaku gejala-gejala gangguan pencernaan, sakit kepala dan juga nyeri punggungnya berkurang.
Dalam sebuah penelitian terhadap 71 orang terungkap efek langsung dari kemarahan. "Ketika para responden fokus pada hal-hal yang tak termaafkan, tekanan darah mereka naik, demikian juga dengan detak jantung," kata Charlotte vanOyen Witvliet, kandidat profesor psikologi dari Hope College.
Sebaliknya, ketika mereka diminta merespon sesuatu dengan maaf, otot-otot menjadi rileks dan napas lebih teratur.
Bukan hanya itu sikap mengampuni juga terkait erat dengan kesehatan mental yang baik. Memaafkan akan mengurangi kemarahan, depresi, dendam, kebencian, dan berbagai emosi negatif lainnya. Intinya, memaafkan membuat kita lebih berbahagia.
Kendati demikian banyak orang yang menganggap memaafkan itu sulit. Tentu saja memaafkan dari hati terdalam tidak dapat dipaksakan. Bila situasinya sangat menyakitkan, mungkin untuk sementara cukup kita melihat memaafkan sebagai murni fenomena internal diri.
Akan tetapi kita bisa memunculkan dorongan untuk memaafkan dengan cara mengatur pikiran bahwa pemaafan adalah bentuk kasih sayang, diperlukan untuk mengembangkan kedamaian hubungan, serta mencegah balas dendam.
Everett L.Worthington Jr, profesor psikologi dan penulit buku Forgiveness and Reconcilliation:Theory and Applications, membagi sikap memaafkan dalam dua tipe.
Pertama adalah keputusan memaafkan (decisional forgiveness), dimana seseorang memilih untuk melepaskan pikiran yang menyebabkan marah. Misalnya kita mengatakan pada diri sendiri "Saya tidak akan membalas dendam", atau "Saya akan menghindari orang itu,".
"Kita bisa memilih keputusan memaafkan tetapi masih ada emosi yang tidak memaafkan di dalam hati," kata Worthington.
Seharusnya yang kita capai adalah memaafkan emosional, yakni mengganti emosi negatif seperti dendam, kebencian, marah, dan takut, menjadi perasaan simpati, empati, kasih, dan cinta.
"Memaafkan emosi lebih berdampak pada kesehatan karena ketika kita tidak bisa melakukannya akan timbul reaksi stres kronik akibat obsesi pada hal-hal menyakitkan yang terjadi. Kita terus memandang diri kita sebagai korban," katanya.
kompas.com
ARTIKEL MENARIK LAINNYA;
0 komentar:
Post a Comment