“ Dan jikalau Allah melapangkan
rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di
muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan
ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi
Maha Melihat.” (QS Asy Syura (42) ayat 27)
Kalau
kita perhatikan, setiap hari dipagi hari orang lalu lalang dijalan,
begitu juga disore/malam hari. Ada yang berangkat kerja, ada yang sedang
mencari rizki dan ada yang baru balik dari tempat kerja. Begitu juga
diri kita, setiap hari kita pergi ke dan pulang dari tempat kerja kita,
guna mendapatkan rizki. Ada yang bekerja 8 jam, ad yang 12 jam, bahkan
ada yang lebih dari itu. Sungguh Allah menciptakan siang hari untuk kita
mencari rizki dan malam hari digunakan untuk beristirahat, sebagaimana
firman Nya:
“dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,” (QS An Nabaa (78) ayat 9-11)
Apa
sih rezeki/rizki itu? Apakah kalau kita mendapat gaji/pendapatan
sebesar 1,5 juta won, itulah rizki kita? Atau sebaliknya apakah kalau
kita hanya mendapatkan 300.000 won, itu adalah rizki kita? Jawabnya
TIDAK. Rizki adalah apa yang datang dari Allah yang dapat dimanfaatkan,
untuk yang baik atau buruk, halal atau haram. Jadi rizki kita adalah
sebesar apa yang bisa kita manfaatkan untuk diri kita, selebihnya bukan
rizki kita, boleh jadi rizki orang lain, istri, anak, orang tua,
saudara, dll. Misalnya, kita mendapatkan uang 1 juta won/bulan, yang
bias kita manfaatkan untuk makan, beli pakaian, sepatu, dll. hanya habis
500.000 won. Nah, itulah rizki kita, selebihnya? Tergantung kita
berikan kepada siapa. Jadilah uang itu rizki bagi orang yang kita beri.
Bagiaman
kita mendapatkan rizki? Rizki bisa mendatangi kepada kita atau kita
yang mendatangi rizki. Rizki yang mendatangi kita adalah rizki yang
diberikan kepada kita oleh seseorang, misalnya hadiah. Sedangkan rizki
yang kita datangi adalah rizki yang kita peroleh dari tempat kita
bekerja mendapatkannya. Namun, kita tidak tahu dimana sumber rizki bagi
kita. Oleh karena itu kita harus mencarinya dimana saja, bukan hanya
menunggunya mendatangi kita. Bisa jadi rizki kita bukan berada ditempat
kelahiran kita, bisa jadi juga bukan ditempat kerja kita. Betapa banyak
kita melihat orang bekerja siang dan malam, taoi tidak mendapatkan
apa-apa, seperti kasus TKI/TKW yang kita bisa baca diberita-berita.
Bisa
jadi kita sudah membanting tulang untuk bekerja, tapi kita tidak
mendapatkan yang kita harapkan (sedikit), sebaliknya orang yang kerjanya
santai, tapi mendapatkan uang yang banyak. Apakah rizki salah alamat?
Tidak, rizki tahu alamat pemiliknya, dia tidak akan salah alamat, karena
Allah sudah menentukannya.
“Dan
tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” (QS Hud (11) ayat 6)
Kalau kata orang betawi, “Rizki gak kemane-mane …”
Banyaknya
rizki yang kita terima juga sudah ditentukan Allah semasa kita masih
dalam perut ibu kita, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Sesungguhnya
salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya
selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk
segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam
waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu
ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara:
ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya." (HR.
Al-Bukhariy no.3208 dan Muslim no.2643 dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu
'anhu)
Mengenai
besarnya yang kita terima ketika kita hidup didunia, ayat pertama
diatas sudah menerangkan, bahwa Allah menurunkannya sesuai ukuran buat
kita masing-masing. Kalau kita dapatnya sebesar A, maka itulah ukuran
dari Allah. Kalau diberikan lebih, maka kita akan melampaui batas. Lupa
untuk bersyukur, beribadah, dll. Atau kalau kita mencari yang lebih dari
ukuran, maka kita bisa terjerumus kepada hal-hal yang diharaman,
menipu, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Nau’dzu billahi mindzalik.
Oleh
karena itulah, kita sebagai muslim tidak boleh takut/khawatir terhadap
rizki kita. Semua sudah ada batasannya, tinggal kita mencarinya saja.
Juga dalam mencari rizki, bukan mendapatkan sebanyak-banyaknya
penghasilan. Tapi kejarlah/carilah rizki yang berkah.
Apa rizki yang berkah itu?
Berkah (barokah)
artinya bertambahnya berbagai kebajikan. Sesuatu yang menimbulkan
kebaikan yang berlipat-lipat. Rizki yang berkah adalah rizki yang
apabila digunakan memberikan dampak kebaikan-kebaikan selanjutnya (efek
domino). Misalnya, sepiring nasi yang dihasilkan dari rizki yang halal
menghasilkan energi yang dapat dipergunakan untuk beribadah kepada Allah
atau melakukan kebaikan-kebaikan yang lain. Kebalikan rizki yang berkah
adalah rizki yang membawa laknat atau niqmah, yaitu
yang akan membawa kepada kepada kesedihan dan kecelakaan manusia, baik
didunia maupun di akhirat. Misalnya sepiring nasi yang dihasilkan dari
rizki yang tidak halal, menghasilkan energi yang dipergunakan hal-hal
yang cenderung kepada hawa nafsu.
Bicara
yang melahirkan perselisihan/perpecahan, tindakan yang mengakibatkan
perkelahian dan pembunuhan. Atau perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Allah SWT seperti mencuri, merampok, menipu, dan lain-lain.
Apa yang harus kita lakukan agar rizki yang kita dapatkan menjadi berkah?
Pertama, yakinlah bahwa mencari rizki yang halal adalah bagian dari ibadah kepada Allah SWT. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumu’ah (62) : 10)
Kedua,
mencari rizki harus dengan cara yang halal dan barang yang diperolehpun
harus halal. Menjauhi diri dari hal-hal yang dilarang syari’at seperti
mencuri, merampok, menipu, korupsi, berjudi, dan lain-lain. Disamping
itu meskipun caranya halal, tetapi kalau barang yang
diproduksi/diperdagangkan tidak halal, maka rizki yang diterimapun
menjadi tidak halal. Misalnya, berdagang narkoba, minuman keras, babi,
dan barang-barang yang diharamkan syari’at. Begitu juga bekerja disuatu
tempat yang memproduksi barang-barang yang haram. Disamping itu tidak
dibenarkan bertransaksi dengan cara riba.
Ketiga,
rizki yang diperoleh haruslah dibelanjakan/digunakan untuk hal-hal yang
diredhoi Allah SWT. Misalnya, menafkahi istri dan anak-anak, memberi
kepada orang tua dan saudara, dan berinfak dalam jalan Allah SWT. “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan
apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya”. (QS. Al Baqarah (2) : 215)
Pemberian
rizki kepada orang yang berada dalam tanggungan kita seharusnya
dikontrol, untuk apa mereka gunakan rizki yang kita berikan kepada
mereka. Jangan sampai digunakan berlebihan atau mubazir, apalagi
digunakan dalam rangka maksiat kepada Allah SWT, misalnya untuk membeli
minuman keras atau barang-barang yang dilarang syari’at. Sebaliknya bila
rizki itu diperuntukan dijalan Allah, patut kita dukung dan ditambah.
Keempat,
rizki yang kita peroleh harus dikeluarkan hak-hak social, baik yang
wajib dan sunnah -seperti zakat, infak, shodaqoh, wakaf-, maupun yang tathowwu’
(tambahan/sukarela), seperti hadiah, hibah, sumbangan, dll. Dengan cara
seperti ini kita terbebas dari lalai kepada Allah karena harta. Berapa
banyak orang yang hidup bergelimang harta tapi lupa kepada Allah, yang
akhirnya hidup dalam kebimbangan dan ketakutan kehilangan hartanya.
Dengan cara ini pula niscaya rizkinya menjadi berkah dan ditambah oleh
Allah SWT. “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS Al Baqarah (2) : 245)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah [166] adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [166] Pengertian menafkahkan
"harta di jalan Allah" meliputi belanja untuk kepentingan jihad,
pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan
lain-lain.” (QS Al Baqarah (2) : 261).
Oleh, Haznan Abimanyu - Korea Selatan
| Kontributor Buletin Hidayah Pumita Busan.
Red. pumitabusan.com
| Kontributor Buletin Hidayah Pumita Busan.
Red. pumitabusan.com
0 komentar:
Post a Comment