4.2.12

Rizqi Yang Barokah Adalah Inti Semua Kehidupan

Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS Asy Syura (42) ayat 27)

Kalau kita perhatikan, setiap hari dipagi hari orang lalu lalang dijalan, begitu juga disore/malam hari. Ada yang berangkat kerja, ada yang sedang mencari rizki dan ada yang baru balik dari tempat kerja. Begitu juga diri kita, setiap hari kita pergi ke dan pulang dari tempat kerja kita, guna mendapatkan rizki. Ada yang bekerja 8 jam, ad yang 12 jam, bahkan ada yang lebih dari itu. Sungguh Allah menciptakan siang hari untuk kita mencari rizki dan malam hari digunakan untuk beristirahat, sebagaimana firman Nya:

“dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,” (QS An Nabaa (78) ayat 9-11)

Apa sih rezeki/rizki itu? Apakah kalau kita mendapat gaji/pendapatan sebesar 1,5 juta won, itulah rizki kita? Atau sebaliknya apakah kalau kita hanya mendapatkan 300.000 won, itu adalah rizki kita? Jawabnya TIDAK. Rizki adalah apa yang datang dari Allah yang dapat dimanfaatkan, untuk yang baik atau buruk, halal atau haram. Jadi rizki kita adalah sebesar apa yang bisa kita manfaatkan untuk diri kita, selebihnya bukan rizki kita, boleh jadi rizki orang lain, istri, anak, orang tua, saudara, dll. Misalnya, kita mendapatkan uang 1 juta won/bulan, yang bias kita manfaatkan untuk makan, beli pakaian, sepatu, dll. hanya habis 500.000 won. Nah, itulah rizki kita, selebihnya? Tergantung kita berikan kepada siapa. Jadilah uang itu rizki bagi orang yang kita beri.

Bagiaman kita mendapatkan rizki? Rizki bisa mendatangi kepada kita atau kita yang mendatangi rizki. Rizki yang mendatangi kita adalah rizki yang diberikan kepada kita oleh seseorang, misalnya hadiah. Sedangkan rizki yang kita datangi adalah rizki yang kita peroleh dari tempat kita bekerja mendapatkannya. Namun, kita tidak tahu dimana sumber rizki bagi kita. Oleh karena itu kita harus mencarinya dimana saja, bukan hanya menunggunya mendatangi kita. Bisa jadi rizki kita bukan berada ditempat kelahiran kita, bisa jadi juga bukan ditempat kerja kita. Betapa banyak kita melihat orang bekerja siang dan malam, taoi tidak mendapatkan apa-apa, seperti kasus TKI/TKW yang kita bisa baca diberita-berita.

Bisa jadi kita sudah membanting tulang untuk bekerja, tapi kita tidak mendapatkan yang kita harapkan (sedikit), sebaliknya orang yang kerjanya santai, tapi mendapatkan uang yang banyak. Apakah rizki salah alamat? Tidak, rizki tahu alamat pemiliknya, dia tidak akan salah alamat, karena Allah sudah menentukannya.

“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Hud (11) ayat 6)

Kalau kata orang betawi, “Rizki gak kemane-mane …”

Banyaknya rizki yang kita terima juga sudah ditentukan Allah semasa kita masih dalam perut ibu kita, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya." (HR. Al-Bukhariy no.3208 dan Muslim no.2643 dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu)

Mengenai besarnya yang kita terima ketika kita hidup didunia, ayat pertama diatas sudah menerangkan, bahwa Allah menurunkannya sesuai ukuran buat kita masing-masing. Kalau kita dapatnya sebesar A, maka itulah ukuran dari Allah. Kalau diberikan lebih, maka kita akan melampaui batas. Lupa untuk bersyukur, beribadah, dll. Atau kalau kita mencari yang lebih dari ukuran, maka kita bisa terjerumus kepada hal-hal yang diharaman, menipu, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Nau’dzu billahi mindzalik.

Oleh karena itulah, kita sebagai muslim tidak boleh takut/khawatir terhadap rizki kita. Semua sudah ada batasannya, tinggal kita mencarinya saja. Juga dalam mencari rizki, bukan mendapatkan sebanyak-banyaknya penghasilan. Tapi kejarlah/carilah rizki yang berkah.

Apa rizki yang berkah itu?
 
Berkah (barokah) artinya bertambahnya berbagai kebajikan. Sesuatu yang menimbulkan kebaikan yang berlipat-lipat. Rizki yang berkah adalah rizki yang apabila digunakan memberikan dampak kebaikan-kebaikan selanjutnya (efek domino). Misalnya, sepiring nasi yang dihasilkan dari rizki yang halal menghasilkan energi yang dapat dipergunakan untuk beribadah kepada Allah atau melakukan kebaikan-kebaikan yang lain. Kebalikan rizki yang berkah adalah rizki yang membawa laknat atau niqmah, yaitu yang akan membawa kepada kepada kesedihan dan kecelakaan manusia, baik didunia maupun di akhirat. Misalnya sepiring nasi yang dihasilkan dari rizki yang tidak halal, menghasilkan energi yang dipergunakan hal-hal yang cenderung kepada hawa nafsu.
Bicara yang melahirkan perselisihan/perpecahan, tindakan yang mengakibatkan perkelahian dan pembunuhan. Atau perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT seperti mencuri, merampok, menipu, dan lain-lain.
Apa yang harus kita lakukan agar rizki yang kita dapatkan menjadi berkah?
Pertama, yakinlah bahwa mencari rizki yang halal adalah bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumu’ah (62) : 10)
Kedua, mencari rizki harus dengan cara yang halal dan barang yang diperolehpun harus halal. Menjauhi diri dari hal-hal yang dilarang syari’at seperti mencuri, merampok, menipu, korupsi, berjudi, dan lain-lain. Disamping itu meskipun caranya halal, tetapi kalau barang yang diproduksi/diperdagangkan tidak halal, maka rizki yang diterimapun menjadi tidak halal. Misalnya, berdagang narkoba, minuman keras, babi, dan barang-barang yang diharamkan syari’at. Begitu juga bekerja disuatu tempat yang memproduksi barang-barang yang haram. Disamping itu tidak dibenarkan bertransaksi dengan cara riba.
Ketiga, rizki yang diperoleh haruslah dibelanjakan/digunakan untuk hal-hal yang diredhoi Allah SWT. Misalnya, menafkahi istri dan anak-anak, memberi kepada orang tua dan saudara, dan berinfak dalam jalan Allah SWT. “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (QS. Al Baqarah (2) : 215)
Pemberian rizki kepada orang yang berada dalam tanggungan kita seharusnya dikontrol, untuk apa mereka gunakan rizki yang kita berikan kepada mereka. Jangan sampai digunakan berlebihan atau mubazir, apalagi digunakan dalam rangka maksiat kepada Allah SWT, misalnya untuk membeli minuman keras atau barang-barang yang dilarang syari’at. Sebaliknya bila rizki itu diperuntukan dijalan Allah, patut kita dukung dan ditambah.
Keempat, rizki yang kita peroleh harus dikeluarkan hak-hak social, baik yang wajib dan sunnah -seperti zakat, infak, shodaqoh, wakaf-, maupun yang tathowwu’ (tambahan/sukarela), seperti hadiah, hibah, sumbangan, dll. Dengan cara seperti ini kita terbebas dari lalai kepada Allah karena harta. Berapa banyak orang yang hidup bergelimang harta tapi lupa kepada Allah, yang akhirnya hidup dalam kebimbangan dan ketakutan kehilangan hartanya. Dengan cara ini pula niscaya rizkinya menjadi berkah dan ditambah oleh Allah SWT. “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS Al Baqarah (2) : 245)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah [166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [166] Pengertian menafkahkan "harta di jalan Allah" meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.” (QS Al Baqarah (2) : 261).
Oleh, Haznan Abimanyu - Korea Selatan
| Kontributor Buletin Hidayah Pumita Busan.
Red. pumitabusan.com
 



0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan