Imam Ibnul Qayyim menyebutkan empat macam pintu masuknya syetan
untuk menjerumuskan manusia. Empat pintu tersebut adalah; lahazhat
(pandangan mata), khatharat (angan-angan), lafzhat (ucapan lisan),
dan khuthuwat (langkah kaki). Beliau rahimahullah telah
menjelaskan betapa bahayanya jika kita meremeh kan dan tidak waspada terhadap
empat hal ini. Selain itu, beliau juga menjelaskan bagaimana cara untuk menjaga
diri darinya agar seseorang selamat dari tipu daya dan gangguan syetan.
Di antaranya beliau mengatakan, "Karena sumber kemaksiatan itu dimulai dari pandangan, maka Allah subhanahu wata’ala mendahulukan perintah menundukkan pandangan daripada perintah menjaga kemaluan. Karena berbagai kejadian buruk itu dimulai dari padangan, sebagaimana api yang besar berasal dari percikan yang kecil. Maka dimulai dari pandangan, lalu menjadi angan-angan, lalu langkah kaki dan terakhir melakukan dosa. Berikut ini penjelasan ringkas tentang empat hal di atas, semoga bermanfaat.
Lahazhat (Pandangan Mata)
Yang dimaksudkan lahazhat adalah mengikuti hawa nafsu dan memberi kebebasan kepadanya. Padahal menjaganya adalah pangkal terjaganya kemaluan. Maka siapa yang dengan bebas melemparkan pandangan dan mengikuti hawa nafsunya, berarti dia telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam telah mengingatkan kita, sebagaimana sabdanya,
"Janganlah engkau ikuti padangan dengan padangan berikutnya, karena untukmu adalah padangan yang pertama, sedangkan selanjutnya bukan untukmu." (HR. Ahmad)
Beliau juga melarang duduk-duduk di pinggir jalan. Maka para shahabat bertanya, "Bagaimana jika kondisi mengharuskan untuk itu (duduk di pinggir jalan)?” Maka beliau menjawab, "Jika engkau memang harus melakukan itu, maka berikanlah hak jalan." Para shahabat bertanya, "Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, "Menahan pandangan, tidak mengganggu orang dan menjawab salam." (Muttafaq 'alaih)
Pandangan adalah sumber berbagai bencana yang banyak menimpa manusia, karena pandangan akan melahirkan angan-angan, lalu angan-angan melahirkan pemikiran, pemikiran melahirkan syahwat, dan syahwat memunculkan keinginan, lalu keinginan itu makin menguat hingga menjadi azam (tekad), akhirnya terjadilah perbuatan, jika tidak ada yang menghalangi. Maka dikatakan bahwa bersabar untuk menahan pandangan lebih ringan dibanding bersabar menahan derita setelahnya.
Pandangan seperti anak panah yang meluncur terus dan tidak akan sampai pada sasaran sebelum orang yang memandang menyediakan tempat untuknya di dalam hati. Kemudian setelah itu pandangan tersebut menggoreskan luka dalam hati, lalu disusul lagi dengan luka yang lain sebagai tambahan atas luka yang sebelumnya. Akhirnya pedihnya luka pun tak dapat terhindarkan lagi karena pandangan yang terulang terus menerus tiada henti.
Khatharat (Angan-angan)
Angan-angan urusannya lebih sulit lagi, karena ia merupakan awal terjadinya kebaikan atau keburukan. Dari angan-angan lahir keinginan dan kemauan serta azam (tekad). Maka siapa yang memelihara angan-angannya berarti dia telah memegang kendali dirinya, telah menundukkan hawa nafsunya. Dan siapa yang dikalahkan oleh angan-angannya maka hawa nafsu akan mengendalikannya. Siapa yang meremehkan angan-angan, maka angan-angannya akan menggiring nya menuju kehancuran.
Angan-angan seseorang berkisar pada empat hal pokok, yaitu; Pertama, angan-angan yang memberikan manfaat keduniaan; Ke dua, angan-angan yang mendatangkan madharat keduniaan; Ke tiga, angan-angan yang memberikan maslahat akhirat; Ke empat, angan-angan yang mendatang kan madharat akhirat.
Maka hendaknya seseorang selalu melihat kepada apa yang dia angankan, dia pikirkan, dan dia inginkan lalu menimbangnya dengan empat hal di atas. Lalu memilih yang terbaik, mendahulukan mana yang terpenting, mengakhirkan yang kurang penting.
Khayalan dan angan-angan kosong adalah sesuatu yang berbahaya bagi manusia, karena ia hanya akan melahirkan rasa lemah, malas, dan akhirnya sikap meremehkan dan tidak perhatian terhadap waktu lalu berujung pada kerugian dan penyesalan.
Maka seorang yang berakal, angan-angannya berkisar pada hal-hal yang baik, penting dan perlu. Dan untuk itulah syariat datang. Karena kebaikan dunia dan akhirat tidak akan dicapai kecuali dengan mengikuti syariat itu. Pikiran dan angan-angan yang paling mulia adalah segala yang ditujukan untuk Allah subhanahu wata’ala dan negri akhirat, di antara contohnya adalah:
Di antaranya beliau mengatakan, "Karena sumber kemaksiatan itu dimulai dari pandangan, maka Allah subhanahu wata’ala mendahulukan perintah menundukkan pandangan daripada perintah menjaga kemaluan. Karena berbagai kejadian buruk itu dimulai dari padangan, sebagaimana api yang besar berasal dari percikan yang kecil. Maka dimulai dari pandangan, lalu menjadi angan-angan, lalu langkah kaki dan terakhir melakukan dosa. Berikut ini penjelasan ringkas tentang empat hal di atas, semoga bermanfaat.
Lahazhat (Pandangan Mata)
Yang dimaksudkan lahazhat adalah mengikuti hawa nafsu dan memberi kebebasan kepadanya. Padahal menjaganya adalah pangkal terjaganya kemaluan. Maka siapa yang dengan bebas melemparkan pandangan dan mengikuti hawa nafsunya, berarti dia telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam telah mengingatkan kita, sebagaimana sabdanya,
"Janganlah engkau ikuti padangan dengan padangan berikutnya, karena untukmu adalah padangan yang pertama, sedangkan selanjutnya bukan untukmu." (HR. Ahmad)
Beliau juga melarang duduk-duduk di pinggir jalan. Maka para shahabat bertanya, "Bagaimana jika kondisi mengharuskan untuk itu (duduk di pinggir jalan)?” Maka beliau menjawab, "Jika engkau memang harus melakukan itu, maka berikanlah hak jalan." Para shahabat bertanya, "Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, "Menahan pandangan, tidak mengganggu orang dan menjawab salam." (Muttafaq 'alaih)
Pandangan adalah sumber berbagai bencana yang banyak menimpa manusia, karena pandangan akan melahirkan angan-angan, lalu angan-angan melahirkan pemikiran, pemikiran melahirkan syahwat, dan syahwat memunculkan keinginan, lalu keinginan itu makin menguat hingga menjadi azam (tekad), akhirnya terjadilah perbuatan, jika tidak ada yang menghalangi. Maka dikatakan bahwa bersabar untuk menahan pandangan lebih ringan dibanding bersabar menahan derita setelahnya.
Pandangan seperti anak panah yang meluncur terus dan tidak akan sampai pada sasaran sebelum orang yang memandang menyediakan tempat untuknya di dalam hati. Kemudian setelah itu pandangan tersebut menggoreskan luka dalam hati, lalu disusul lagi dengan luka yang lain sebagai tambahan atas luka yang sebelumnya. Akhirnya pedihnya luka pun tak dapat terhindarkan lagi karena pandangan yang terulang terus menerus tiada henti.
Khatharat (Angan-angan)
Angan-angan urusannya lebih sulit lagi, karena ia merupakan awal terjadinya kebaikan atau keburukan. Dari angan-angan lahir keinginan dan kemauan serta azam (tekad). Maka siapa yang memelihara angan-angannya berarti dia telah memegang kendali dirinya, telah menundukkan hawa nafsunya. Dan siapa yang dikalahkan oleh angan-angannya maka hawa nafsu akan mengendalikannya. Siapa yang meremehkan angan-angan, maka angan-angannya akan menggiring nya menuju kehancuran.
Angan-angan seseorang berkisar pada empat hal pokok, yaitu; Pertama, angan-angan yang memberikan manfaat keduniaan; Ke dua, angan-angan yang mendatangkan madharat keduniaan; Ke tiga, angan-angan yang memberikan maslahat akhirat; Ke empat, angan-angan yang mendatang kan madharat akhirat.
Maka hendaknya seseorang selalu melihat kepada apa yang dia angankan, dia pikirkan, dan dia inginkan lalu menimbangnya dengan empat hal di atas. Lalu memilih yang terbaik, mendahulukan mana yang terpenting, mengakhirkan yang kurang penting.
Khayalan dan angan-angan kosong adalah sesuatu yang berbahaya bagi manusia, karena ia hanya akan melahirkan rasa lemah, malas, dan akhirnya sikap meremehkan dan tidak perhatian terhadap waktu lalu berujung pada kerugian dan penyesalan.
Maka seorang yang berakal, angan-angannya berkisar pada hal-hal yang baik, penting dan perlu. Dan untuk itulah syariat datang. Karena kebaikan dunia dan akhirat tidak akan dicapai kecuali dengan mengikuti syariat itu. Pikiran dan angan-angan yang paling mulia adalah segala yang ditujukan untuk Allah subhanahu wata’ala dan negri akhirat, di antara contohnya adalah:
-
Memikirkan ayat-ayat Allah subhanahu wata’ala dan berusaha memahaminya, sebab Allah subhanahu wata’ala menurunkan al-Qur'an bukan hanya sekedar untuk dibaca.
-
Memikirkan ayat-ayat yang dapat kita saksikan (ayat kauniyah) dan mengambil pelajaran darinya.
-
Memikirkan pemberian Allah subhanahu wata’ala, kebaikan dan nikmat-nikmat-Nya yang beraneka ragam kepada segenap makhluk, keluasan rahmat Allah subhanahu wata’ala, kesantunan dan ampunan-Nya.
-
Memikirkan kewajiban-kewajiban kita terhadap waktu, tugas-tugas yang harus ditunaikan dan mendata berbagai rencana kerja. Seorang yang bijak menjadi anak dari waktunya. Jika waktu disia-siakan maka hilanglah kebaikan, karena kebaikan itu dengan memanfaatkan waktu, kalau waktu sudah lewat maka tak mungkin untuk diraih kembali.
Lafzhat (Ucapan Lisan)
Cara untuk memelihara ucapan adalah dengan menjaganya agar tidak berbicara yang sia-sia, tidak berbicara kecuali yang diharapkan memberi keuntungan dan manfaat dalam agama. Jika ingin berbicara maka hendaknya melihat, apakah ucapan itu memberi kan keuntungan dan faidah atau tidak? Jika tidak memberi keuntungan maka perlu ditinjau lagi.
Jika engkau ingin tahu apa yang ada dalam hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan mulutnya, karena mulutnya akan memperlihatkan kepadamu apa yang ada di dalam hatinya. Yahya bin Muadz berkata, "Hati itu ibarat periuk yang sedang mendidih, sedangkan lisan ibarat gayungnya. Maka perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena lisannya sedang menciduk untukmu apa yang ada dalam hatinya, manis atau pahit, tawar atau asin, dan lain sebagai nya. Dan cidukan lisannya akan menje- laskan kepadamu rasa hati orang itu.”
Dalam sebuah hadits marfu' dari Anas disebutkan,
"Tidak lurus keimanan seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak lurus hati seseorang sebelum lurus lisannya." (HR. Ahmad, dan ada penguatnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam ketika ditanya tentang sesuatu yang banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka, maka beliau menjawab, "Mulut dan kemaluan." (HR. at-Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih)
Khuthuwat (Langkah Kaki)
Langkah kaki, cara menjaganya adalah dengan tidak mengangkat telapak kaki, kecuali untuk sesuatu yang diharapkan pahala dan kebaikannya. Jika sekiranya langkah kaki tidak menambah pahala, maka duduk adalah lebih baik. Dan mungkin juga melangkah kepada hal yang mubah (boleh), namun diniatkan untuk qurbah (pendekatan diri) semata-mata karena Allah subhanahu wata’ala, maka langkah kaki akan dinilai sebagai qurbah.
Dalam hal ketergelinciran langkah kaki dan lisan, maka ada ayat yang menjelaskan bahwa antara keduanya ada saling keterkaitan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. 25:63)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala menyifati ibadur Rahman di antaranya adalah istiqamah (lurus) dalam ucapan dan langkah kaki mereka. Sebagaimana juga Allah subhanahu wata’ala mengaitkan antara lahazhat (pandangan) dengan khatharat (angan-angan) dalam firman-Nya, artinya,
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. 40:19). Wallahu a’lam bish shawab. (Kholif)
Sumber: Madakhil asy-Syaithan li ighwa’ al-Insan, min kalam al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan memotong dan meringkas, Qism Ilmi Darul Wathan.
Cara untuk memelihara ucapan adalah dengan menjaganya agar tidak berbicara yang sia-sia, tidak berbicara kecuali yang diharapkan memberi keuntungan dan manfaat dalam agama. Jika ingin berbicara maka hendaknya melihat, apakah ucapan itu memberi kan keuntungan dan faidah atau tidak? Jika tidak memberi keuntungan maka perlu ditinjau lagi.
Jika engkau ingin tahu apa yang ada dalam hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan mulutnya, karena mulutnya akan memperlihatkan kepadamu apa yang ada di dalam hatinya. Yahya bin Muadz berkata, "Hati itu ibarat periuk yang sedang mendidih, sedangkan lisan ibarat gayungnya. Maka perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena lisannya sedang menciduk untukmu apa yang ada dalam hatinya, manis atau pahit, tawar atau asin, dan lain sebagai nya. Dan cidukan lisannya akan menje- laskan kepadamu rasa hati orang itu.”
Dalam sebuah hadits marfu' dari Anas disebutkan,
"Tidak lurus keimanan seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak lurus hati seseorang sebelum lurus lisannya." (HR. Ahmad, dan ada penguatnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam ketika ditanya tentang sesuatu yang banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka, maka beliau menjawab, "Mulut dan kemaluan." (HR. at-Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih)
Khuthuwat (Langkah Kaki)
Langkah kaki, cara menjaganya adalah dengan tidak mengangkat telapak kaki, kecuali untuk sesuatu yang diharapkan pahala dan kebaikannya. Jika sekiranya langkah kaki tidak menambah pahala, maka duduk adalah lebih baik. Dan mungkin juga melangkah kepada hal yang mubah (boleh), namun diniatkan untuk qurbah (pendekatan diri) semata-mata karena Allah subhanahu wata’ala, maka langkah kaki akan dinilai sebagai qurbah.
Dalam hal ketergelinciran langkah kaki dan lisan, maka ada ayat yang menjelaskan bahwa antara keduanya ada saling keterkaitan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. 25:63)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala menyifati ibadur Rahman di antaranya adalah istiqamah (lurus) dalam ucapan dan langkah kaki mereka. Sebagaimana juga Allah subhanahu wata’ala mengaitkan antara lahazhat (pandangan) dengan khatharat (angan-angan) dalam firman-Nya, artinya,
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. 40:19). Wallahu a’lam bish shawab. (Kholif)
Sumber: Madakhil asy-Syaithan li ighwa’ al-Insan, min kalam al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dengan memotong dan meringkas, Qism Ilmi Darul Wathan.
0 komentar:
Post a Comment