Tidak
akan masuk surga orang yang memungut bea cukai (HR. Abu Dawud, Ahmad,
al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah).
Menurut Imam Ahmad dan Ibn Ishaq, shâhib maksin adalah
orang yang memungut ‘usyr. Dari
sini ‘usyr adalah maksin, jamaknya mukûs, yaitu bea
cukai. Riwayat ini dan yang lain secara
jelas menyatakan keharaman memungut ‘usyr. ‘Usyr di sini, seperti
yang dikutip al-Jashash dalam Ahkâm al-Qur’ân, adalah mukûs seperti
yang dipungut orang (secara) Jahiliah.
Diriwayatkan bahwa ‘usyr (bea cukai) dipungut
pertama kali dalam Islam pada masa Khalifah Umar ra. dan terus berlangsung
seterusnya. Abu Yusuf dalam Al-Kharâj
dan Abdur Razaq dalam Mushannaf ‘Abd ar-Razaq meriwayatkan dari Amr bin
Syu’aib bahwa penduduk Mambij dan orang-orang yang tinggal di daerah Wara’a
al-Bahr ‘Adn menulis surat kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab, “Biarkan kami
masuk ke negaramu untuk berdagang dan engkau ambil ‘usyr dari
kami.” Umar bermusyawarah dengan para
Sahabat Rasul saw., lalu mereka bersepakat untuk menerimanya dan merekalah yang
pertama kali dipungut ‘usyr-nya dalam Islam.
Ibrahim bin Muhajir menuturkan bahwa Ziyad bin Hudair
pernah berkata, “Sesungguhnya akulah orang pertama yang memungut ‘usyr dalam
Islam. Kami tidak memungutnya dari orang Muslim dan tidak pula dari orang kafir
mu‘âhad.”
Ia pun bertanya, “Lalu dari siapa engkau memungut ‘usyr?”
Ziyad menjawab, “Dari Nasrani Bani Taghlib.”
Abdullah bin Ma’qil menuturkan, Ziyad bin Hudair berkata,
“Kami tidak memungut ‘usyr dari Muslim maupun mu‘âhad.”
Ia pun bertanya, “Lalu dari siapa kalian
memungutnya?”
Ziyad menjawab, “Dari para pedagang ahl al-harb seperti
mereka mengambil ‘usyr dari kami jika kami mendatangi mereka (untuk
berdagang).”
Abu Musa al-‘Asy’ari pernah menulis surat kepada Khalifah
Umar bin Khaththab, “Sesunggguhnya para pedagang Muslim kita mendatangi negara
(kafir) harbi dan mereka dipungut ‘usyr.”
Lalu Umar menulis balasan, “Pungut dari mereka seperti
yang mereka pungut dari para pedagang kaum Muslim.”
Ibn Abi Najih telah meriwayatkan bahwa Umar bertanya
kepada kaum Muslim, “Bagaimana (penguasa) Habsyah memperlakukan kalian jika
kalian masuk negara mereka?”
Mereka menjawab, “Mereka memungut ‘usyr.”
Umar berkata, “Kalau begitu, pungut juga dari mereka
seperti yang mereka pungut dari kalian.”
Semua kejadian itu masyhur diketahui oleh para Sahabat,
namun tidak seorang pun dari mereka yang
mengingkarinya. Karena itu, tindakan ini merupakan Ijma Sahabat bahwa ‘usyr
dipungut dari pedagang ahl al-harb seperti yang mereka pungut dari para
pedagang Muslim sebagai respon yang setimpal (mu’âmalah bi al-mitsli ). Besarnya ‘usyr yang dipungut dari
pedagang ahl al-harb sama dengan besaran yang mereka pungut dari kaum
Muslim.
Riwayat di atas juga menyatakan, ‘usyr tidak
dipungut dari pedagang Muslim, ahl adz-dzimmah maupun mu‘âhad.
Ketentuan ini tidak bertentangan dengan sejumlah riwayat yang menjelaskan bahwa
Umar memungut dari kaum Muslim ¼ ‘usyr (2,5%) dan dari ahl
adz-dzimmah ½ ‘usyr (5 %).
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik yang menuturkan, “Umar telah
memerintahku agar aku memungut dari kaum Muslim ¼ ‘usyr (2,5%), dari ahl
adz-dzimmah jika mereka perdagangkan sebesar ½ ‘usyr (5 %), dan dari
ahl al-harb ‘usyr (10 %).”
Ibrahim bin
Muhajir telah meriwayatkan dari Ziyad bin Hudair yang berkata, “Umar
mengangkatku menjadi amil untuk memungut ‘usyr. Ia menulis kepadaku agar
aku memungut dari pedagang Muslim ¼ ‘usyûr (2,5%), dari pedagang ahl
adz-dzimmah ½ ‘usyr (5%), dan dari pedagang ahl al-harb ‘usyr
penuh (10%).”
Ibn Qudamah menyatakan, semua peristiwa tersebut terjadi
di Irak. Hal sama juga berlangsung di
Mesir.
Pungutan dari pedagang Muslim sebesar ¼ ‘usyr
(2,5%) tersebut bukanlah ‘usyr, tetapi merupakan zakat perdagangan.
Adapun berkaitan dengan pungutan ½ ‘usyr (5%) dari pedagang ahl
adz-dzimmah dan ‘usyr (10%) dari Bani Taghlib dan Kalb, maka hal itu
sesuai dengan perjanjian yang disepakati Umar dengan mereka. Abu ‘Ubaid dalam al-Amwâl
menyatakan, “Pungutan ½ ‘usyr dari ahl adz-dzimmah itu karena
Umar telah menyepakati perjanjian dengan mereka atas pungutan tersebut selain
pungutan jizyah atas kepala dan kharaj atas tanah.”
Abu Mujliz
berkata, “Umar mengutus ‘Amar, Ibn Mas’ud, dan Utsman bin Hanif ke Kufah
(Irak)—hadis ini panjang di antaranya disebutkan: Umar menetapkan atas harta
kafir dzimmi yang diperdagangkan dari setiap 20 dirham (dipungut) satu dirham.”
Malik bin Anas juga berkata, “Mereka telah mengikat
perjanjian agar mereka tetap bisa menetap di negeri mereka dan jika mereka
melewati perbatasan untuk berdagang dipungut dari mereka setiap kali mereka
lewat.”
Al-Baihaqi menyatakan bahwa pungutan ‘usyûr atas
Bani Taghlib sesuai dengan perjanjian mereka dengan Umar.
Jadi, ahl adz-dzimmah pada masa Umar yang dipungut
dari mereka ½ ‘usyr bukan semua ahl adz-dzimmah, tetapi ahl
adz-dzimmah penduduk Irak, Syam, dan Mesir. Pungutan itu sesuai dengan
perjanjian yang mereka sepakati dengan Umar. Menurut Imam Syafii dalam al-Umm,
pungutan itu tidak dipungut dari ahl adz-dzimmah Bani Tsaqif,
Nasrani Najran, penduduk Dumatul Jandal dan Ukaidir, serta penduduk Yaman yang
di antara mereka ada orang Nasrani Arab maupun non-Arab, karena dalam
perjanjian dengan Nabi saw, dari mereka hanya dipungut jizyah.
Umar bin al-Khaththab pernah menurunkan ‘usyr atas
suatu komoditas demi kemaslahatan kaum Muslim. Abdur Razaq dalam Mushannaf
Abd ar-Razâq meriwayatkan dari Ibn Umar yang menuturkan bahwa Umar pernah
memungut dari Nabth—gandum dan minyak zaitun—½ ‘usyr (5%) agar mereka
lebih banyak membawanya ke Madinah dan dari al-Quthniyah (biji-bijian seperti
Adas, Buncis, dsb) ‘usyr (10%).
Keterangan ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syaibah di dalam Mushannaf
Ibn Abi Syaibah dari Ubaidullah bin Abdullah.
Dari semua di atas dapat kita ambil beberapa pemahaman. Pertama:
‘usyr seperti ketentuan ini tidak haram, karena dilakukan oleh dan
menjadi Ijma Sahabat, padahal para Sahabat mengetahui haramnya memungut mukûs. Dengan demikian, ‘âsyir, yaitu shâhib
maksin (pemungut bea cukai) adalah seperti yang dinyatakan oleh Abu ‘Ubaid
dalam Al-Amwâl, yaitu siapa saja yang memungut sedekah tanpa
hak. Artinya, ‘usyûr atau mukûs
yang haram adalah setiap harta yang dipungut tanpa hak atau menyalahi
ketentuan syariah.
Kedua: haram ‘usyr dipungut dari
pedagang Muslim; juga sesuai dengan sabda Nabi saw.:
«لَيْسِ
عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ عُشُوْرٌ...»
Tidak
ada pungutan ‘usyûr atas kaum Muslim....(HR al-Bukhari dalam
at-Târîkh, Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan Ibn Abi Syaibah).
Dari perdagangan mereka hanya dipungut zakat perdagangan
sekali setahun sebesar 2,5% apabila perdagangan mereka telah mencapai nishâb
sebesar 20 dinar (85 gram emas murni) atau 200 dirham.
Ketiga: ‘usyr dipungut dari pedagang ahl
adz-dzimmah sesuai dengan perjanjian dengan mereka—pada masa Umar sebesar 5
%. Jika dalam perjanjian tidak dipungut ‘usyûr,
maka tidak boleh ‘usyr dipungut dari mereka. Jika disepakati ½ ‘usyr
(5 %), dipungut sebesar itu dari mereka, atau besaran lainnya sesuai dengan
perjanjian. Demikian juga yang berlaku
bagi kafir mu‘âhad. Mereka diperlakukan sesuai dengan isi perjanjian
Khilafah dengan negara mereka.
Keempat: ‘usyr juga dipungut dari
pedagang kafir harbi sebagai mu‘âmalah bi al-mitsli (reaksi balik
serupa dengan tindakan mereka) sebesar bea cukai yang mereka pungut dari
pedagang Muslim.
Kelima: besarnya ‘usyr dari pedagang
kafir harbi dan kafir dzimmi merupakan wewenang Khalifah. Ia berhak menambah atau menguranginya sesuai
dengan perjanjian damai yang telah ditetapkan atau yang akan ditetapkan nanti,
juga sesuai dengan kaidah mu‘âmalah bi al-mitsli. Semua itu dilakukan
menurut pendapat Khalifah untuk mewujudkan kemaslahatan Islam dan Dalam hal ini, Khalifah bisa
menurunkan— seperti yang dicontohkan Umar di atas—atau menaikkan ‘usyr (bea
cukai) komoditas tertentu sebagai bagian dari kebijakan perekonomiannya untuk
mewujudkan kemaslahatan tertentu, seperti untuk menjaga kestabilan stok atau
harga, untuk melindungi produksi dalam negeri, untuk lebih mendorong
perdagangan, dan sebagainya. kaum Muslim serta dalam rangka mengemban
dakwah.Hal ini tentu saja memerlukan
“kecanggihan politik” Khalifah.
Keenam:
‘usyr status kepemilikannya sama dengan jizyah dan kharaj, yaitu menjadi hak
kaum Muslim. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Yahya Abdurrohman (al waie)
Posted in: HUKUM ISLAM
0 komentar:
Post a Comment