2.7.15

Sufi Road

Sufi Road


Rumi: Berpuasa: Menanti Perjamuan-Nya

Posted: 02 Jul 2015 12:44 AM PDT

Ada yang terasa manis
tersembunyi di balik laparnya lambung

Insan itu tak ubahnya sebatang seruling.
Ketika penuh isi lambung seruling,
tak ada desah: rendah atau tinggi yang dihembuskannya.

Jika lambung dan kepalamu terasa terbakar karena berpuasa,
apinya akan menghembuskan rintihan dari dadamu.

Melalui api itu akan terbakar seribu hijab dalam sekejap,
kau akan melesat naik seribu derajat dalam Jalan dan cita-citamu.

Jaga lah agar lambungmu kosong.
Merintih lah bagai sebatang seruling
dan sampaikan keperluanmu kepada Rabb.

Jaga lah agar lambungmu kosong
hingga dapat kau lantunkan bermacam rahasia layaknya sebatang seruling.

Jika lambungmu selalu penuh
Setan yang akan menanti di kebangkitanmu dan bukannya Akal Sejati-mu,
di rumah berhala dan bukannya di Ka'bah.

Ketika engkau berpuasa,
akhlak yang baik berkumpul di sekitarmu,
bagaikan pembantu, budak dan penjaga.

Teruskan lah berpuasa,
karena ia adalah segel Sulaiman.
Jangan serahkan segel itu kepada Setan,
yang dapat membuat kerajaanmu kacau.

Dan jika sempat kerajaan dan bala-tentaramu tinggalkan dirimu,
mereka akan kembali,
jika kau tegakkan lagi panjimu dengan berpuasa.

Hidangan dari langit, al-Maidah,
telah tiba bagi mereka yang berpuasa.
Isa ibn Maryam telah menurunkannya dengan do'anya.

Tunggu lah Meja Perjamuan, al-Maidah,
dari Yang Maha Pemurah dengan puasamu:
sungguh tak pantas membandingkan hidangan dari langit dengan sederhananya sup sayuranmu.

Catatan:
"Al-Maidah" nama surat ke 5 dari al-Qur'an Suci, menyampaikan rujukan terkait bahasan di atas, pada ayat-ayat:
(112) (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan maidah dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".

(113) Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".

(114) Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu maidah dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".

(115) Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia".

Sumber:
Rumi: Divan-i Syams ghazal 1739.
dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick
dalam "The Sufi Path of Love"
SUNY Press, Albany, 1983.
dan dari terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry
dalam "Mystical Poems of Rumi 2"
The University of Chicago Press, 1991.

Sumber: Ngrumi

Kitab Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (8)

Posted: 02 Jul 2015 12:00 AM PDT

Tahap-tahap dan peringkat-peringkat perubahan kerohanian telah disebutkan. Perlu ditegaskan bahwa setiap peringkat harus dicapai terutama taubat. Cara bertaubat bisadipelajari pada orang yang mengetahui cara berbuat demikian dan yang telah sendirinya bertaubat. Taubat yang sebenar dan menyeluruh merupakan langkah pertama di dalam perjalanan.

إِذ جَعَلَ الَّذينَ كَفَروا فى قُلوبِهِمُ الحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الجٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكينَتَهُ عَلىٰ رَسولِهِ وَعَلَى المُؤمِنينَ وَأَلزَمَهُم كَلِمَةَ التَّقوىٰ وَكانوا أَحَقَّ بِها وَأَهلَها ۚ وَكانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمًا ﴿٢٦

(Ingatlah) Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surah Fath, ayat 26).

Keadaan takut kepada Allah adalah sama dengan kalimah "La ilaha illa Llah" – tiada Tuhan, tiada apa-apa, kecuali Allah. Bagi orang yang mengetahui ini, akan ada perasaan takut kehilangan-Nya, kehilangan perhatian-Nya, cinta-Nya, keampunan-Nya; dia takut dan malu melakukan kesalahan sedangkan Dia melihat, dan takut azab-Nya. Jika keadaan seseorang itu tidak demikian, dia perlu mendapatkaan orang yang bisa mentakutkan kepada Allah dan menerima keadaan takut Allah itu dari orang tersebut. Sumber dari mana saja perkataan itu, harus diterima dengan bersih dan suci dari segalanya kecuali Allah, dan siapa yang menerimanya harus bisa membedakan antara perkataan orang yang suci hatinya dengan perkataan orang awam. Penerimanya harus sadar cara perkataan itu diucapkan, kerana perkataan yang bunyinya sama mungkin mempunyai maksud yang jauh berbeda. Tidak mungkin perkataan yang datangnya dari sumber yang asli sama dengan perkataan yang datangnya dari sumber lain. Hatinya menjadi hidup bila dia menerima benih tauhid dari hati yang hidup, karena benih yang demikian sangat subur, itulah benih kehidupan. Tidak ada yang tumbuh dari benih yang kering lagi tiada kehidupan. Kalimah suci "La ilaha illa Llah" disebut dua kali di dalam Quran menjadi bukti.

إِنَّهُم كانوا إِذا قيلَ لَهُم لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَستَكبِرونَ ﴿٣٥﴾ وَيَقولونَ أَئِنّا لَتارِكوا ءالِهَتِنا لِشاعِرٍ مَجنونٍ ﴿٣٦﴾ (35)

"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ""Laa ilaaha illallah"" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri." (36) "dan mereka berkata: ""Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (Surah Shaaffaat. Ayat 35 & 36). Ini adalah keadaan orang awam yang baginya rupa luar termasuk kewujudan zahirnya adalah tuhan-tuhan.

فَاعلَم أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاستَغفِر لِذَنبِكَ وَلِلمُؤمِنينَ وَالمُؤمِنٰتِ ۗ وَاللَّهُ يَعلَمُ مُتَقَلَّبَكُم وَمَثوىٰكُم

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu". (Surah Muhammad, ayat 19).

Firman Allah ini menjadi panduan kepada orang-orang beriman yang takut kepada Allah. Sayyidina Ali r.a meminta Rasulullah s.a.w mengajarkan kepadanya cara yang mudah, paling bernilai, paling cepat kepada keselamatan. Baginda s.a.w menanti Jibrail memberikan jawabannya dari sumber Ilahi. Jibrail datang dan mengajarkan baginda s.a.w mengucapkan "La ilaha" sambil memutarkan mukanya yang diberkati ke kanan, dan mengucapkan "illa Llah" sambil memutarkan mukanya ke kiri, ke arah hati sucinya yang diberkati. Jibrail mengulanginya tiga kali; Nabi s.a.w mengulanginya tiga kali dan mengajarkan yang demikian kepada Sayidina Ali r.a dengan mengulanginya tiga kali juga. Kemudian baginda s.a.w mengajarkan yang demikian kepada sahabat-sahabat baginda. Sayidina Ali r.a merupakan orang yang pertama bertanya dan menjadi orang yang pertama diajarkan.

Kemudian satu hari setelah kembali dari peperangan, Nabi s.a.w berkata kepada pengikut-pengikut baginda, "Kita baru kembali dari peperangan yang kecil untuk menghadapi peperangan yang besar". Baginda s.a.w merujukkan kepada perjuangan dengan ego diri sendiri, keinginan yang rendah yang menjadi musuh kepada penyaksian kalimah tauhid. Baginda s.a.w bersabda, "Musuh kamu yang paling besar ada di bawah rusuk kamu". Cinta Ilahi tidak akan hidup sehingga musuhnya, hawa nafsu badaniah kamu, mati dan meninggalkan kamu.

Awalnya harus bebas dari ego yang mengnyeret kamu kepada kejahatan. Kemudian kamu akan memiliki sedikit suara hati, walaupun kamu masih belum bebas sepenuhnya dari dosa. Kamu akan memiliki perasaan mengkritik diri sendiri – tetapi ia belum mencukupi. Kamu mesti melewati tahap tersebut pada peringkat di mana hakikat yang sebenarnya dibukakan kepada kamu, kebenaran tentang benar dan salah.

Kemudian kamu akan berhenti melakukan kesalahan dan akan hanya melakukan kebaikan. Dengan demikian diri kamu akan menjadi bersih. Di dalam menentang hawa nafsu dan tarikan badan kamu, kamu mesti melawan nafsu kehewanan – kerakusan, terlalu banyak tidur, pekerjaan yang sia-sia – dan menentang sifat-sifat hewan liar di dalam diri kamu – kekejian, marah, kasar dan berkelahi. Kemudian kamu mesti usahakan membuang perangai-perangai ego yang jahat, takabur, sombong, dengki, dendam, tamak dan lain-lain penyakit tubuh dan hati kamu. Cuma orang yang berbuat demikian yang benar-benar bertaubat dan menjadi bersih, suci dan murni.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوّٰبينَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرينَ ﴿٢٢٢

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri". (Surah Baqarah, ayat 222).

Dalam melakukan taubat seseorang itu mesti bersungguh-sungguh, supaya penyesalannya tidak samar-samar dan tidak juga secara umum agar dia tidak jatuh ke dalam ancaman Allah: "Banyak sekali mereka bertaubat mereka tidak sebenarnya menyesal. Taubat mereka tidak diterima".

Ini ditujukan kepada mereka yang hanya mengucapkan kata-kata taubat tetapi tidak tahu sejauh mana dosa mereka, malah tidak mengambil tindakan pembaikan dan pencegahan. Itulah taubat yang biasa, taubat zahir yang tidak menusuk kepada puncak dosa. Ia adalah umpama orang yang menghilangkan rumput dengan memotong bagian di atas tanah tetapi tidak mencabut akarnya yang di dalam bumi. Tindakan yang demikian membantu rumput untuk tumbuh dengan lebih segar. Orang yang bertaubat dengan mengetahui kesalahannya dan puncak kesalahan itu berazam tidak mengulanginya dan membebaskan dirinya dari kesalahan itu, mencabut akar pokok yang merosakkan itu. Cangkul yang digunakan untuk menggali akarnya, puncaknya dosa-dosa, yaitu pengajaran kerohanian dari guru yang benar. Tanah mestilah dibersihkan sebelum ditanami benih.

"Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir". (Surah Hasyr, ayat 21). "Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Surah Syura, ayat 25).

"kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." . (Surah Furqaan, ayat 70). Ketahuilah taubat yang diterima, tandanya ialah seseorang itu tidak lagi jatuh ke dalam dosa tersebut.

Ada dua jenis taubat, taubat orang awam dan taubat mukmin sejati. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan dan masuk kepada kebaikan dengan cara mengingati Allah dan mengambil langkah usaha bersungguh-sungguh, meninggalkan hawa nafsunya dan kesenangan badannya dan menekankan egonya. Dia mesti meninggalkan keegoannya yang ingkar terhadap peraturan Allah dan masuk kepada taat. Itulah taubatnya yang menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Orang mukmin sejati, hamba Allah yang murni, berada di dalam suasana yang jauh berbeda. Mereka berada pada maqam makrifat yang jauh lebih tinggi daripada maqam orang awam yang paling baik. Sebenarnya bagi mereka tidak ada lagi anak tangga untuk dipanjat; mereka telah sampai kepada kebersamaan dengan Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan dan nikmat dunia ini dan menikmati kelezatan alam kerohanian – rasa kebersamaan dengan Allah, nikmat menyaksikan Zat-Nya dengan mata keyakinan.

Perhatian orang awam tertuju kepada dunia ini dan kesenangan mereka adalah merasakan nikmat kebendaan dan kewujudan kebendaannya. Malah, jika kewujudan kebendaan manusia dan dunia merupakan satu kesilapan begitu jugalah nikmat dan kecacatan yang paling baik daripadanya. Kata-kata yang diucapkan oleh orang arif, "Kewujduan dirimu merupakan dosa, menyebabkan segala dosa menjadi kecil jika dibandingkan dengannya". Orang arif selalu mengatakan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh orang baik tidak sampai kehadapan Allah tidak lebih dari kesalahan orang yang hampir dengan-Nya. Jadi, bagi mengajar kita memohon keampunan terhadap kesalahan yang tersembunyi yang kita sangkakan kebaikan, Nabi s.a.w yang tidak pernah berdosa memohon ampunan pada Allah sebanyak seratus kali sehari. Allah Yang Maha Tinggi mengajarkan kepada rasul-Nya: "Pintalah perlindungan bagi buah amal kamu dan bagi mukmin dan mukminat". (Surah Muhamamd, ayat 19).

Dia jadikan rasul-Nya yang suci murni sebagai teladan tentang cara bertaubat – dengan merayu kepada Allah supaya menghilangkan ego seseorang, sifat-sifatnya dan dirinya, semuanya pada diri seseorang, mencabut kewujudan diri seseorang. Inilah taubat yang sebenarnya. Taubat yang demikian meninggalkan segala-galanya kecuali Zat Allah, dan berazam untuk kembali kepada-Nya, kembali kepada kebersamaan-Nya untuk melihat Wajah Ilahi. Nabi s.a.w menjelaskan taubat yang demikian dengan sabda baginda s.a.w, "Ada sebagian hamba-hamba Allah yang benar yang tubuh mereka berada di sini tetapi hati mereka berada di sana, di bawah arasy". Hati mereka berada pada langit kesembilan, di bawah arasy Allah kerana penyaksian suci terhadap Zat-Nya tidak mungkin berlaku pada alam bawah.

Di sini hanya kenyataan atau penampakan sifat-sifat suci-Nya yang dapat disaksikan, memancar ke atas cermin yang bersih kepunyaan hati yang suci. Sayyidina Umar r.a berkata, "Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku". Hati yang suci adalah cermin di mana keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan Allah memancar. Nama lain yang diberi kepada suasana ini ialah pembukaan (mukasyafah), menyaksikan sifat-sifat Ilahi yang suci (musyahadah).

Bagi yang memperoleh suasana tersebut, untuk membersihkan dan menyinarkan hati, perlulah kepada guru yang matang, yang di dalam keesaan dengan Allah, yang disanjung dan dimuliakan oleh semua, sejak dahulu hingga sekarang. Guru tersebut mesti telah sampai kepada maqam kebersamaan dengan Allah dan diturunkan lagi ke alam rendah oleh Allah untuk membimbing dan menyempurnakan mereka yang layak tetapi masih mempunyai kecacatan.

Di dalam penurunan mereka untuk melakukan tugas tersebut wali-wali Allah mestilah berjalan Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w dengan mengikuti teladan baginda s.a.w, tetapi tugas mereka berlainan dengan tugas rasul. Rasul diutuskan untuk menyelamatkan orang ramai dan juga orang-orang yang beriman. Guru-guru tadi pula tidak diutus untuk mengajar semua orang tetapi hanyalah sebilangan yang dipilih saja. Rasul-rasul diberi kebebasan dalam menjalankan tugas mereka, sementara wali-wali yang mengambil tugas sebagai mursyid mesti mengikuti jalan rasul-rasul dan nabi-nabi.

Guru kerohanian yang mengaku diri mereka merdeka, menyamakan dirinya dengan nabi, jatuh kepada kesesatan dan kekufuran. Bila Nabi s.a.w mengatakan sahabat-sahabat baginda yang arif adalah umpama nabi-nabi Bani Israil, yang baginda memaksudkan bukan seperti itu, – karena nabi-nabi yang datang setelah Musa a.s semuanya mengikuti prinsip agama yang dibawa oleh Musa a.s. Mereka tidak membawa syari'at baru. Mereka mengikuti undang-undang yang sama. Seperti mereka juga orang-orang arif dari kalangan umat Nabi Muhammad s.a.w yang bertugas membimbing sebagian dari orang-orang suci yang dipilih, mengikuti kebijaksanaan Nabi s.a.w, tetapi menyampaikan perintah dan larangan dengan cara baru yang berbeda, terbuka dan jelas, menunjukkan kepada murid-murid mereka dengan perbuatan yang mereka kerjakan pada masa dan keadaan yang berlainan. Mereka memberi dorongan kepada murid-murid mereka dengan menunjukkan kelebihan dan keindahan prinsip-prinsip agama. Tujuan mereka ialah membantu pengikut-pengikut mereka menyucikan hati yang menjadi tampak untuk membangun tugu makrifat.

Semua itu mereka mengikuti teladan dari pengikut-pengikut Rasulullah s.a.w yang terkenal sebagai 'golongan yang memakai baju bulu' yang telah meninggalkan semua aktivitis keduniaan untuk berdiri di pintu Rasulullah s.a.w dan berada hampir dengan baginda. Mereka menyampaikan kabar sebagaimana mereka menerimanya secara langsung daripada mulut Rasulullah s.a.w. Dalam kebersamaan mereka dengan Rasulullah s.a.w mereka telah sampai kepada peringkat di mana mereka boleh berbicara tentang rahasia isra' dan mi'raj Rasulullah s.a.w sebelum baginda membuka rahasia tersebut kepada sahabat-sahabat baginda. Wali-wali yang menjadi mursyid memiliki kebersamaan yang serupa dengan Nabi s.a.w dengan Tuhannya. Amanah dan penjagaan terhadap ilmu ketuhanan yang serupa dianugerahkan kepada mereka. Mereka merupakan Pemegang sebagian dari kenabian, dan diri batin mereka selamat di bawah penjagaan Rasulullah s.a.w.

Tidak semua orang yang memiliki ilmu berada di dalam keadaan tersebut. Mereka yang sampai ke situ adalah yang lebih cinta kepada Rasulullah s.a.w daripada anak-anak dan keluarga mereka sendiri dan mereka adalah umpama anak-anak kerohanian Rasulullah s.a.w yang hubungannya lebih erat daripada hubungan darah. Mereka adalah pewaris sebenar kepada Nabi s.a.w. Anak yang sejati memiliki zat dan rahasia bapaknya pada rupa zahirnya dan juga pada batinnya. Nabi s.a.w menjelaskan rahasia ini, "Ilmu khusus adalah umpama khazanah rahasia yang hanya mereka yang mengenali Zat Allah boleh mendapatkannya. Namun bila rahasia itu dibukakan orang yang mempunyai kesadaran dan ikhlas tidak menafikannya".

Ilmu tersebut dimasukkan kepada Nabi s.a.w pada malam baginda s.a.w mi'raj kepada Tuhannya. Rahsia itu tersembunyi di dalam diri baginda di balik tiga ribu tabir hijab. Baginda s.a.w tidak membuka rahasianya melainkan kepada sebagian pengikut baginda yang sangat cinta dengan baginda. Melalui penyebaran dan keberkatan rahasia inilah Islam akan terus memerintah sehingga ke hari kiamat.

Pengetahuan batin tentang yang tersembunyi membawa seseorang kepada rahasia tersebut. Sains, kesenian dan kemahiran keduniaan adalah umpama kerangka kepada pengetahuan batin. Mereka yang memiliki pengetahuan kerangka itu boleh mengharapkan satu hari nanti mereka diberi kesempatan untuk memiliki apa yang di dalam kerangka. Sebagian dari mereka yang berilmu memiliki apa yang patut dimiliki oleh seorang manusia secara umumnya sementara sebagian yang lain menjadi ahli dan memelihara ilmu tersebut daripada hilang. Ada golongan yang menyeru kepada Allah dengan nasihat yang baik. Sebagian dari mereka mengikuti sunnah Nabi s.a.w dan dipimpin oleh Sayyidina Ali r.a. yang menjadi pintu kepada gedung ilmu yang melaluinya masuklah mereka yang menerima undangan dari Allah.

"Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik". (Surah Nahl, ayat 125).

Maksud dan perkataan mereka adalah sama. Perbedaan pada zahirnya hanyalah pada perkara-perkara terperinci dan cara pelaksanaannya.

Sebenarnya ada tiga makna yang kelihatan sebagai tiga jenis ilmu yang berbeda – dilakukan secara berbeda, tetapi menjurus kepada yang satu Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w. Ilmu dibagikan kepada tiga yang tidak ada seorang manusia boleh menanggung keseluruhan beban ilmu itu juga tidak berupaya mengamalkan dengan sekaliannya. Bagian pertama ayat di atas "Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana (hikmah)", Sesuai dengan makrifat, zat dan permulaan kepada segala sesuatu, pemiliknya mestilah sebagaimana Nabi s.a.w beramal Sesuai dengannya. Ia hanya dikaruniakan kepada lelaki sejati yang berani, tentera kerohanian yang akan mempertahankan kedudukannya dan menyelamatkan ilmu tersebut. Nabi s.a.w bersabda, "Kekuatan semangat lelaki sejati mampu menggoncang gunung". Gunung di sini menunjukkan keberatan hati setengah manusia. Doa lelaki sejati yang menjadi tentera kerohanian dimakbulkan. Bila mereka menciptakan sesuatu ia tercipta, bila mereka mau sesuatu hilang maka ia pun hilang.

"Dia karuniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki, dan Barangsiapa dikaruniakan hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kebajikan yang banyak". (Surah Baqarah, ayat 269).

Jenis kedua ialah ilmu zahir yang disebut Quran sebagai "seruan yang baik". Ia menjadi kulit kepada hikmah kebijaksanaan rohani. Mereka yang memilikinya menyeru kepada kebaikan, mengajar manusia berbuat baik dan meninggalkan larangan-Nya. Nabi s.a.w memuji mereka. Orang yang berilmu menyeru dengan lemah lembut dan baik hati, sementara yang jahil menyeru dengan kasar dan kemarahan.

Jenis ketiga ialah ilmu yang menyentuh kehidupan manusia di dalam dunia. Ia disebut sebagai ilmu agama (syariat) yang menjadi sarang kepada hikmah kebijaksanaan (makrifat). Ia adalah ilmu yang diperuntukkan kepada mereka yang menjadi pemerintah manusia; menjalankan keadilan ke atas sesama manusia; peraturan manusia sesama manusia. Bagian terakhir ayat Quran yang di atas tadi menceritakan tugas mereka "dan berbincanglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik". Mereka ini menjadi kenyataan kepada sifat Allah "al-Qahhar" Yang Maha Keras. Mereka berkewajipan menjaga peraturan di kalangan manusia selaras dengan hukum Tuhan, seumpama sabut melindungi tempurung dan tempurung melindungi isi.

Nabi s.a.w menasihatkan, "Biasakan dirimu berada di dalam majlis orang-orang arif, taatlah kepada pemimpin kamu yang adil. Allah Yang Maha Tinggi menghidupkan hati dengan hikmah seperti Dia jadikan bumi yang mati hidup dengan tumbuh-tumbuhan dengan menurunkan hujan". Baginda s.a.w juga bersabda, "Hikmah adalah harta yang hilang bagi orang yang beriman, dikutipnya di mana saja ditemuinya".

Malah perkataan yang diucapkan oleh manusia biasa datangnya daripada Loh Terpelihara menurut hukum Allah terhadap segala perkara dari awal hingga akhir. Loh itu disimpan pada alam tinggi pada akal asbab tetapi perkataan diucapkan menurut maqam seseorang. Perkataan mereka yang telah mencapai maqam makrifat adalah secara langsung dari alam tersebut, maqam kebersamaan dengan Allah. Di sana tidak ada perantaraan.

Ketahuilah bahwa semua akan kembali kepada asal mereka. Hati, zat, mesti dikejutkan; dijadikan ia hidup untuk mencari jalan kembali kepada asalnya yang suci murni. Ia harus mendengar seruan. Seseorang mesti mencari orang yang orang yang darinya seruan itu muncul, melaluinya tampak ada seruan. Itulah guru yang benar. Ini merupakan kewajipan bagi kita. Nabi s.a.w bersabda, "Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam lelaki dan perempuan". Ilmu tersebut merupakan peringkat terakhir semua ilmu, itulah ilmu makrifat, ilmu yang akan membimbing seseorang kepada asalnya, yang benar (hakikat). Ilmu yang lain perlu menurut sekadar mana keperluannya. Allah menyukai mereka yang meninggalkan cita-cita dan angan-angan kepada dunia, kemuliaan dan kebesarannya, karena kepentingan duniawi ini menghalang seseorang kepada Allah.

قُل لا أَسـَٔلُكُم عَلَيهِ أَجرًا إِلَّا المَوَدَّةَ فِى القُربىٰ

"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". (Surah Syura, ayat 23).

Risalah Al Muawanah (3) : Tentang Niat

Posted: 01 Jul 2015 11:42 PM PDT

(SAYIID ABDULLAH AL HADDAD )

Dan wajib bagi kamu wahai saudaraku, untuk memperbaiki niat dan mengikhlaskan niat tersebut dan bertafakur akan niatmu sebelum engkau memasuki amal/sebelum mengerjakan sesuatu amal ibadah. Karena sesunggunya niat itu adalah pondasi atau dasar daripada mal. Dan amal mengikuti niat Mengenai baik dan buruknya, rusak dan selamatnya dll. . dan sungguh telah bersabda RasuluLlah SAW,Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya . dan bagi setiap manusia tergantung dari apa yang ia niatkan.

Dan wajib juga bagi kamu semua, untuk tidak mengucapkan suatu perkataan atau tidak mengamalkan suatu amal perbuatan atau berkehendak mengerjakan sesuatu apapun kecuali niatmu dalam hal itu semua adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari pahala yang baik di sisiNya. Dan ketahuikah sesungguhnya tidak akan dapat terjadi pendekatan diri kepada Allah Ta'ala kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan oleh Allah melalui Lisan RasulNya dari beberapa perbuatan fardhu, dan sunnah, . Maka menjadilah perbuatan yang mubah akan tetapi karena niatnya baik, maka perbuatan itu menjadi sebab mendekatnya diri kepada Allah. Seperti orang yang ketika makan ia berniat untuk mendapatkan kekuatan dalam menjalankan ta'at kepada Allah Ta'ala atau ketika menikah diniatkan untuk mendapatkan keturunannya yang nantinya mereka akan menjadi orang yang ahli beribadah kepada Allah.


Dan disyaratkan di dalam niat yang baik dimana harus dilanjutkan dengan amal perbuatannya. Misal orang yang mencari ilmu dan ia bercita-cita akan mengamalkan ilmunya, maka apabila ia tidak mengamalkan ilmu yag telah pernah diperolehnya ketika dia mampu untuk mengamalkannya, maka niatnya yang demikian itu bukanlah niat yang benar / niyatushoodiqoh. Demikian juga orang yang mencari harta dunia dengan niat agar ia tidak merepotkan orang lain, dan menyedekahkannya kepada orang yang membutuhkan dari orang-orang yang miskin, atau untuk mempererat silaturrahmi dengan hartanya itu, apabila ia tidak melaksanakkannya apa yang ia niatkan ketika dia mampu maka niat yang demikian ini bukanlah termasuk niat yang benar atau niat yang Shoodiqoh.

Dan ketahuilah bahwa niat yang baik itu tidak dihitung dalam amal perbuatan yang buruk misalnya orang yang ikiut mendengarkan pembicaraan ghaibah kepada sesama muslim yang mana dalam mendengarkannya tersebut dia berniat untuk menyenangkan hati orang yang sedang ghaibah / membicarakan aib saudara se muslim, maka niatnya yang demikian ini bukanlah niat yang baik bahkan ia termasuk salah seorang diantara yang ikut ghaibah tersebut.

Dan barang siapa yang diam diri dari amar ma'ruf dan nahiii munkar dan dia mendakwakan bahwa niatnya itu agar tidak menyakiti hati orang yang melaksanakan perbuatan munkar, maka niat yang demikian ini bukanlah termasuk niat yang baik bahkan ia termasuk juga ke dalam golongan yang melaksanakan kemungkaran.

Demikian juga perbuatan yang baik, tetapi niatnya tidak baik juga tidak akan menghasilkan pahala yang baik di sisi Allah seperti orang yang melakukan amal salih akan tetapi niatnya untuk mendapatkan kedudukan atau biar dipuji oleh orang lain atau untuk mendapatkan keuntungan materi.

Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku, agar niatmu dalam melakukan amal salih sebatas untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhoan Allah dan niatkanlah semua amal yang dibolehkan / Mubaahat hanya untuk menambah ketaatan kepada Allah Ta'ala. Dan ketahuilah sesungguhnya bisa terjadi juga satu amal shaleh di niatkan dengan beberapa niat yang baik dan mendapatkan pahala secara sempurna dari tiap-tiap niat tersebut semisal orang yang membaca Al-Qur'an dia niatkan untuk bermunajat kepada Rabb nya, atau ia niatkan agar orang yang mendengarkannya mendapat faidah atau manfaat dari apa yang ia baca. Dan semisal perbuatan mubah dalam hal makan, dimana ia niatkan dalam makan tersebut untuk menjalankan perintah Allah karena Allah telah berfirman di dalam Al-Qur'anul Kariim Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kamu sekalian dari rizki yang baik yang Aku berikan kepada kamu semua. Dan berniat pula dalam memakan makanan adalah untuk mendapatkan kekuatan dalam menjalankan ta'at kepada Allah dan juga dapat diniatkan pula untuk melahirkan rasa syukur kepada Allah sesuai dengan firman Allah di dalam kitabNya makanlah kamu sekalian dari rizki yang diberikan kepadamu dan bersyukurlah kepadaNya.

Bersabda RosuuluLloohi SAW-Sesungguhnya Allah mencatat perbuatan baik dan buruk……dan selanjutnya RasuluLlah SAW menerangkan bahwa-barang siapa mempunyai tujuan baik sedangkan ia tidak melaksanakannya maka Allah mencatat di sisiNya sebagai satu amal kebaikan yang sempurna. Dan barang siapa yang mempunyai niat baik juga ia melaksanakannya maka Allah mencatatnya sebagai 10 kebaikan sampai 700 kebaikan bahkan sampai berlipat dengan kelipatan yang banyak. Dan jika ia berniat keburukan akakan tetapi tidak mengamalkannya, maka dicatatlah ia sebagai satu kebaikan, dan apa bila ia mengamalkannya maka hanya di catat sebagai satu keburukan saja.

Sumber: manakib.wordpress.com

0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan