Cerpen By Mawar
Kicauan burung yang bersahut-sahutan mengiringi langkahku pagi ini. Tak lupa rasa syukur pada ilahi selalu terucap mengawali hari yang cerah. Ku pandangi sahabat-sahabatku thalibul ilmi yang tampak ceria, cerah dan penuh semangat menghiasi wajah mereka Tepat pukul 06.15 aku tiba di sekolah yang selalu manjadi kebanggaan kota kudus, MA Banat, Nama besarnya telah melahirkan insan berilmu tiap tahunnya. Kutuju ruang XI IPA I. Memang aku sengaja datang lebih awal ke sekolah karena hari ini adalah piketku bersama lima teman lainnya. Tapi ternyata kelas telah bersih, meja dan kursi tertata rapi. Padahal belum ada satu taspun yang terlihat disana. Tapi tiba-tiba terlihat sosok gadis sedang menyiram bunga di depan kelas. Dalam hati bertanya-tanya siapa dia?
“Gadis misterius,” gumamku dalam hati.
“Ah, jangan berifkir macam-macam dulu, Fit,” ku coba tenangkan diri.
Meong ….. meong, suara kucing membuyarkan prasangkaku. Ku lihat baru saja kucing meloncat dari jendela. Ternyata tanpa sepengetahuanku gadis itu telah pergi meninggalkan bunga-bunga segar yang telah disiramnya. Ku coba mencarinya dengan menulusuri ruang kelas. Di kelas tidak ada, di kamar mandi tidak ada, di mana pun tidak ada. Pencarian yang tidak membuahkan hasil itupun membuatku lelah. Dengan nafas terengah-engah kududuk di atas lantai mencoba hilangkan rasa lelah yang melanda. Siswa-siswi yang berlalu-lalang melewatiku, sekalipun tak ku hiraukan.
Jam menunjukkan pukul 06.55, pertanda proses KBM akan segara dimulai. Aku segara bangkit dari istirahat singkatku, tiba di kelas teman-teman telah menempati tempat duduk masing-masing. Akupun melakukan hal yang sama seperti mereka
“Dari mana saja fit, kok baru kelihatan ?” tegur Rohmah teman sebangkuku. Dengan wajah yang masih terlihat capek aku menjawab, dari kelas sebelah,” tadi aku dipanggil Rida.
“Oh,” sahut Rohmah.
Tampak tak percaya menghinggapi wajah Rohmah. Entah mengapa wajah ini ingin menengok kearah jendela yang ternyata di baliknya berdiri gadis misterius itu. Saat aku beranjak dari tempat duduk untuk menghampirinya, bel panjang berbunyi dan segera kuurungkan niatku. Dibalik jendela itu dia masih berdiri tegak sambil membawa buku dan membawa sebuah pena.
“Mau apa gadis itu ?” rasa penasaran itu muncul lagi.
Selang beberapa lama, Pak Edi, guru mapel Bahasa Indonesia memasuki kelas. Dengan nada yang tinggi dan suaranya yang lantang, beliau mengucapkan salam untuk mengawali pelajarannya.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb”
“Wa’alaikum salam Wr. Wb” jawab teman-teman serentak.
Dimulailah pelajaran Bahasa Indonesia seperti biasa. Teman-teman begitu antusias dan memperhatikan pelajaran . Namun, berbeda denganku, perhatianku justru tertuju pada gadis di luar jendela kelas itu. Setelah kuperhatkan dan kuamati, gadis itu juga ikut memperhatikan dan mendengarkan jalannya pelajaran. Pikiran-pikiran aneh terus menghantuiku.
Jam menunjukkan pukul 09.00 pertanda waktu istirahat, Dengan senyum yang menghiasi wajah, seisi kelas pergi keluar kelas untuk melepas penat yang ada.
“Fitri, ayo keluar beli jajan !” ajak Rohmah.
Akupun tak menolak ajakan Rohmah, karena perut kosong ini sudah menunggu-nunggu saupan makanan. Akhirnya kami bedua pergi ke kantin untuk menuruti perut yang tak sabar ini. Sesampai di kantin Rohmah langsung memesan dua nasi goreng dan dua minuman. Tidak sampai dua menit pesanan nasi goreng kami segera datang menghampiri. Tak sabar rasanya ingin sesegera mencicipi nasi goreng khas ala pak Wahyu dan anaknya yang bernama Anis.
Anak pak Wahyu yang masih belia itu sekarang tak bersekolah lagi. Pasalnya himpitan ekonomi yang sangat memaksa membuatnya hanya bisa bersekolah sampai SMP saja. Bayangkan, di usianya yang semuda itu, ia mempunyai 3 adik yang baru duduk di kelas 2 SMP, 6 SD, dan yang paling kecil baru berumur 10 bulan. Beban ekonomi yang di alami keluarga pak Wahyu memanglah tak seringan kapas yang berterbangan. Apalagi ia tinggal di kota sebesar ini yang semua serba uang.
Aku memanglah anak yang mudah larut dalam keadaan dan pikiranku sendiri. Tapi beruntunglah aku masih diberi kepekaan perasaan dengan apa yang ada di sekelilingku. Dengan begitu, aku bisa mengambil sedikit ibrah dari setiap yang timbul dari perasaanku.
Hm….ku hela nafas dalam-dalam. Tanpa kusadari nasi goreng yang mula-mula memenuhi tempat makanku, kini telah sirna dan tak terbekas. Kucukupkan makan dan minumku, Rohmahpun melakukan hal yang sama. Sesegera mungkin kami beranjak dari singgah sana yang kiranya sudah tidak terlalu kuat menopang tubuh kami. Mungkin karena umurnya yang tidak muda lagi. Tanpa basa-basi segera kubayar makanan dan minuman yang telah memenuhi perut ini. Al hamdulillah… tak lupa ku ucapkan syukur kepada ilahi Robbi yang senantiasa memberikan kenikmatan dengan segala kemurahan-Nya.
Bersamaan dengan berakhirnya waktu isirahat, sampailah kami di depan kelas. Rohmahpun segera menempati tempat duduknya. Sambil menunggu pak guru datang menyampaikan mata pelajaran, ku gunakan waktuku untuk berdiri memandangi taman kecil yang bersarang di depan kelas. Tanaman yang masih tampak segar dan berselimut butiran-butiran air, mengingatkanku akan sosok gadis misterius itu. Entah mengapa hati ini mengajakku untuk mencari keberadaannya. Akhirnya aku terbujuk oleh rayuan hati yang tak kuasa kutahan lagi. Mau tidak mau kutinggalkan kelas, meskipun langkah kakiku terasa berat meninggalkannya.
“Oh, tapi dimana aku harus mencarinya?”
Tiba-tiba langkah kaki ini menuntunku berbelok kesebuah lorong sekolah yang sangat gelap. Disana hanya kudapati tempat yang kumuh, kotor, dan pengap. Tempat yang jauh dari kata-kata bersih. Tanpa kuperintah, bulu kudukku berdiri tegak bagaikan tentara melaksanakan titah komandannya. Setelah kutelusuri, tak kutemui orang yang telah membuatku penasaran setengah mati. Namun hal itu tak sedikitpun membuatku mundur selangkah. Lorong yang berekelok-kelok membuatku tak tahu akan jalan keluar.
Di tempat ini, hanya terdapat suara kucing yang mungkin merasakan hal yang sama denganku. Aku yang hanya manusia biasa lama-kelamaan juga merasa takut dengan tempat yang gelap dan kotor ini. Sebisa mungkin kutahan air mata yang akan berlinang dari mataku. Walaupun jantung yang berdegup kencang, kuteruskan langkah demi langkah, mencari cahaya terang agar bisa pergi jauh-jauh dari tempat yang hampir satu tahun tak pernah dijamah penghuni sekolah ini, sekalipun itu seorang tukang kebun, penjaga sekolah ataupun satpam. Belum ada yang berani memasukinya kecuali aku. Entah bagaimana tadi aku bisa terjerumus kedalamnya. Karena rasa takut yang menghinggapiku, tak sadar terucap dari bibir kata-kata,”ini semua gara-gara gadis itu, andai saja tadi aku tidak mencarinya pasti aku tidak akan berada disini.”
Rasa jengkel, marah, dan takut bercampur menjadi satu,. Sampai kaleng yang berada di depanku kutendang jauh-jauh dan melambung tinggi dari tempat aku berdiri. Aku duduk dan bersandar pada tembok yang penuh dengan debu, baju putih yang kukenakan tak ubahnya seperti baju usang yang telah dimakan usia. Kutundukkan kepala dengan berlinangan air mata. Dalam hati bertanya-tannya, “ apakah Allah marah padaku, atau ini hanya sebuah peringatan ?”
Tangis yang semakin tak bisa kubendung, memecahkan suasana hampa yang ada, Tak ubahnya seperti anak kecil, kupanggil-panggil kedua orang tuaku.
Ayah, ibu, tolong aku, keluarkan Fitri dari tempat jelek ini,”
Berkali-kali kusebut nama mereka. Rasa jengkel yang telah membutakan hatiku membuat aku putus asa.
“Aku takut, aku lelah, aku ingin pulang.” Jerit suaraku semakin keras. Aneh memang ini bukan diriku. Tidak biasanya aku menghadapi masalah dengan cara seperti ini. Tapi kini itulah perasaanku. Sepertinya aku telah tersesat dan hanyut dalam ombak yang menggulung-gulung hatiku. Aduh, aku sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi dengan perasaanku. Kini telah menjadi sosok yang tak terarah. Bingung rasanya hati ini. Hingga akhirnya aku mengalami keputus-asaan yang sangat hebat.
Tiba-tiba lamunanku terusik oleh langkah kaki seseorang. Kuangkat kepala yang sudah tak berdaya ini. Ingin tahu dari mana suara itu datang. Aku segera bangkit dari keterpurukanku. Sungguh hari ini aku menjadi orang yang benar-benar tolol. Kuikuti suara langkah kaki itu, kuikuti dan terus kuikuti. Belum tampak siapakah gerangan pemilik langkah kaki yang bisa membuatku bangkit. Aku terkaget oleh suara kaki yang berubah menjadi suara tangisan hati yang pilu.
“Gadis misterius itu,” perasaanku.
Mungkinkah dia yang bisa membuatku keluar dari tempat yang senyap ini? Atau…..
Aku tak melanjutkan dugaan-dugaan yang belum tentu mengarah pada sebuah kebenaran. Suara tangis yang membuatku penasaran itu, tak juga memberi sebuah harapan tuk menemui titik terang.
Kulihat ada bayangan seseorang menuju kearahku, aku yang takut dibuatnya, mundur langkah demi langkah, suasana yang gelap membuatku tak mengenali bayangan yang semakin mendekat, dekat dan semakin mendekat. Kucoba amati dengan seksama wajahnya. Dan sekarang dia tepat berada di depanku. Kami yang saling behadap-hadapanpun saling memandang satu sama lain. Meskipun kelihatan samar, tampak air mata masih membasahi wajahnya, saat aku akan melontarkan kata-kata kepadanya, dia lebih dulu mengawali dengan kata-kata yang aneh.
“Aduhai, siapakah gerangan yang berada didepan Vina. Dia seorang pelajar ataukah seorang penguasa ? Dia baik ataukah jahat ? Seorang pemberani atau pengecut seperti aku ? katanya dengan nada yang tinggi dan suara yang keras.
Aliran darah kupun naik turun, suhu tubuhku terasa panas dingin setelah mendengar kata-katanya. Wajah yang tampak seram dan garang membuatku takut. Padahal usianya masih sekitar 18 sampai 19 tahun, Vina itulah namanya. Lengkap seragam yang masih dikenakannya. Seragam yang biasa kukenakan pada hari Rabu & Kamis. Jika benar dia adalah murid dimana tempat aku sekolah, mengapa aku tidak pernah melihatnya?
“Kenapa anak manis kau heran denganku yang masih berbalut seragam yang biasa kau kenakan? Dasar penguasa yang kejam! dimana hati nurani kalian? Dimana rasa iba kalian? Tidakkah kalian kasih hati melihat orang-orang seperti aku yang telah putus sekolah? Terpontang-panting tak tahu arah, seperti orang gila.
Dengar hai bocah! Kau ingin tahu siapa aku, kau penasaran denganku, jawab!” bentaknya.
“ I…i…iya!’ jawabku pelan.
Sama, sama sepertimu. Dulu aku pergi sekolah bersama teman-temanku. Memakai seragam sekolah dan bersiap menimba ilmu. Hanya saja kau dan aku berbeda, kau Fitri seorang anak yang kaya sedangkan aku hanya anak seorang pemulung. Herankah kau melihatku seperti ini ? Aku adalah korban dari penguasa yang kejam. Kau tahu para penguasa yang kejam dan yang tak berperikemanusiaan itulah yang menjerumuskanku menjadi seperti sekarang ini. Mengapa hanya belum membayar uang sekolah 3 bulan saja, mereka mengeluarkanku dari sekolah yang selalu aku damba-dambakan. Tidak ingatkah, hai kau para penguasa ! Masa depan bangsa ada digenggaman generasi muda. Ada digenggaman kami. Jika kami tidak bisa menjalankan titah, mampu tersenyum atau bahkan tertawakahkalian? Hai manusia-manusia sombong, jangan tertawa di atas pederitaan orang. Jika kalian ingat hak kami dalam harta yang engkau bangga-banggakan. Mana janji kalian?
Aku yang hanya menjadi pendengar setia, menggeleng-gelengkan kepala mendengar semua caciannya. Begitu rendahkah di mata mereka-mereka yang bernasib sama dengan Vina? atau Vina saja yang merasa seperti itu ?
Mungkinkah aku salah satu cabang dari mereka ? Aku terlalu pengecut dan pecundang dalam menghadapi masalah yang menghadang jalanku. Akupun bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya. Aku malu dengan diriku yang sekarang. Aku malu dengan gadis yang berdiri didepanku. Aku yang masih bisa mengenyam pendidikan dengan bersekolah, tidak memaksimalkan waktu dengan sebaik-baiknya. Aku kalah dengan Vina yang dengan semangat tingginya, masih terus belajar meskipun lewat celah-celah jendela. Panas yang menyengat ia tahan, hujan yang mengguyur ia abaikan.
“Ya Allah, inikah peringatan bagiku agar senantiasa mensyukuri semua nikmat-Mu?” desahku.
Vina segera melanjutkan kembali perkataannya.
“Tak usah kau sesali diri. Tak usah kau membuang-buang air mata buayamu itu! Sekarang, mampukah kau berbenah diri menjadi orang yang bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan kepadamu? ingat ! jangan hanya menjadikan sekolah sebuah ajang untuk menutupi aib yang mudah kau buat! Atau menjadikan sekolah sebuah ajang pamer kekayaan, bahkan berfoya-foya menghabiskan harta orang tua. Tidakkah kau ingin menjadi manusia sukses seperti para penguasa?”
“Tapi ingat, ingat dan ingatlah kepada orang-orang seperti kami. Orang yang selalu membutuhkan uluran tangan dari para penguasa seperti kalian. Tidak hanya dengan harta, tapi juga dekapan kasih sayang. Kami yang selalu haus akan ilmu, yang haus bercengkerama dengan sesama, kami yang mengalami keterpurukan hidup yang melelahkan.
Semua kata yang terlontar dari bibir Vina, memanglah banyak benarnya. Mungkin ini adalah sebuah pelajaran dan peringatan bagiku, dan bagi para penguasa. Tapi sayang penguasa tak hadir menyaksikan fenomena dan jeritan hati yang memilukan ini. Namun, bukan. Bukan sebuah, tetapi beberapa pelajaran. Sungguh kudapati lompatan kesadaran yang tinggi dari seorang Vina. Semoga aku masih ingat dan bisa mengambil ibrah dari setiap kejadian yang selalu kutemui setiap hari, jam, menit, bahkan setiap detiknya. Vinalah si Gadis misterius pelajaran hidupku hari ini. Lalu, besok siapa lagi?
0 komentar:
Post a Comment