25.6.11

WASHITHAH (Perantara) YANG BERNILAI SYIRIK, Ziaroh Kubur

Diterjemah dari kitab MAFAHIM karangan Syyid Muhammad Bin Alawi Al Malik


Banyak orang salah faham mengenai hakikat perantara (washitah). Sehingga secara mutlak ia memandang tindakan mengambil perantara itu sebagai syirik. Dan orang yang menggunakan perantara apapun bentuknya, dinilai telah menyekutukan Allah.

Keadaan orang ini, menurut mereka, tidak berbeda dengan keadaan orang-orang kafir musyrik yang selalu berkata membela dirinya, sebagaimana firman Allah SWT:
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala itu), kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S Az Zumar(39):3)
Pernyataan mereka tersebut di atas, tidaklah dapat diterima, karena dalil Al Qur’an yang digunakannya bukanlah pada tempatnya. Hal ini, karena ayat itu jelas sekali ditujukan sebagai kecaman terhadap kaum musyrikin yang menyembah berhala, menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan (obyek sembahan), dan menganggap berhala-berhala itu memiliki sifat ketuhanan (rububiyah) seperti Allah.
Ayat itu mencela perbuatan mereka menyembah berhala meskipun dengan alasan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. jadi kekafiran dan kesyirikan mereka timbul dari jurusan ibadah dan penyembahan mereka kepada berhala dan i’tikad mereka bahwa berhala itu adalah tuhan-tuhan selain Allah. Di sini ada satu hal yang penting yang harus dijelaskan, yaitu. bahwa ayat ini memberi kesaksian bahwa kaum musyrikin sebenarnya tidak jujur dalam menyatakan alasan atau motif penyembahan mereka terhadap berhala-berhala, yaitu ketika mereka berkata, “Kami tidak menyembah berhala kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Hal ini demikian, karena sekiranya mereka jujur dalam perkataannya itu niscaya Allah-lah yang lebih mulia dalam pandangan mereka dibandingkan berhala-berhala itu, dan tentulah mereka tidak menyembah selain Allah, Namun demikian, Allah SWT telah melarang orang Muslimin mencaci maki berhala mereka:
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap ummat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Allah memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mareka kerjakan.” (Q.S Al An’aam(6): 108)
Dari Sayyidina Qotadah: “Orang-orang Islam ada yang mencaci berhala kaum kufar, maka kaum itu mencaci Allah sebagai reaksi balasan, maka turunlah ayat tersebut.” (Riwayat Abd al-Razzaq, Abd bin Hamid, Ibnu Jabir, Ibnul Munzir, Ibnul Abi Hatim dan Abu Syaikh)
Oleh sebab itu, ayat tersebut melarang orang-orang beriman dengan larangan keras (mengharamkan) untuk mengucapkan kalimat yang merendahkan batu-batu yang disembah para penyembah berhala di Makkah dulu. Karena, tindakan seperti itu dapat menyebabkan kemarahan mereka sebagai ekspresi rasa fanatik mereka terhadap batu-batu yang mereka yakini sepenuh hati sebagai tuhan-tuhan yang dapat memberi manfaat dan mudarat.
Kalau mereka marah tentulah mereka membalas tindakan orang Muslim tersebut dengan balasan setimpal yakni berupa pencacian terhadap Tuhan yang disembah yakni Rabbul Alamin. Mereka akan mengucapkan pula kata-kata yang mengesankan kekurangan-kekurangan Allah, padahal Maha Suci Dia dari kekurangan. Sedangkan jika mereka jujur bahwa ibadah mereka kepada berhala itu hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, niscaya tidak berani mereka mencaci Allah, sebagai tindak balasan terhadap tindakan orarig yang mencaci berhala mereka. Hal itu jelas sekali menunjukkan, Allah dalam jiwa mereka lebih rendah dari batu-batu berhala. Sementara kita juga dapat berdalil dengan firrnan Allah berikut ini :
وَلَئِن سَأَلتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الحَمْدُ لِلَّهِ بَل أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”., Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Q.S Luqman(31): 25)
Jika mereka beri’tikad dengan sebenarnya bahwa Allah itu Maha Pencipta, sedang berhala mereka tidak bisa menciptakan sesuatu, maka pastilah ibadah mereka hanya ditujukam kepada Allah aja, bukan kepada berhala itu. Atau sekurang-kurangnya, penghormatan mereka kepada Allah akan lebih tinggi ketimbang penghormatan mereka pada batu-batuan. Apakah ini sesuai dengan cacian mereka kepada Allah yang timbul dari rasa fanatiknya pada batu-batu dan dari rasa dendam atas nama berhala kepada Allah?, dengan serta merta akal sehat kita akan menilai tidak sesuai. Dan sebenarnya bukan ayat ini saja yang menunjukkan bahwa Allah lebih’ rendah dari batu-batu dalam pandangan orang musyrikin, melainkan ada banyak ayat yang senada. Di antaranya:
وَجَعَلُواْ لِلّهِ مِمِّا ذَرَأَ مِنَ الحَرْثِ وَالأَنْعَامِ نَصِيباً فَقَالُواْ هَـذَا لِلّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَـذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إِلَى اللّهِ وَمَا كَانَ لِلّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ سَاء مَا يَحْكُمُونَ
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dan tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah. lain merek berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-herhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi A1lah, maka saji-sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka, amat buruklah ketetapan mereka itu” (Q.S Al An’aam(6): 136)
Andai kala Allah tidak lebih rendah dalam pandangan mereka ketimbang batu-batu dan atau berhala, niscaya tidaklah mereka lebih memberaikan nilai-nilai batu di atas nilai Allah. Sehingga sikap lebih menghargai batu yang diceritakan oleh ayat itu, menjadi penyebab turunnya pernyataan Allah: “Sungguh jahat apa yang mereka putuskan.”
Peristiwa semacam ini, terjadi pula pada Abu Sofyan, yang sebelum masuk Islam sering berkata: “Muliakanlah Hubal” (HR. Bukhari). Maka mereka memanggil berhala yang bernama Hubal, agar dalam situasi kritis itu si batu dapat rnengungguli Allah, Pencipta alam, dan agar mengalahkan Allah supaya dia bersama tentaranya menang melawan tentara kaum Muslimin yang ingin mengalahkan tuhan-tuhan mereka.
Inilah sikap yang sebenarnya dari orang-orang musyrik itu terhadap herhala dan Allah SWT. Hendaklah hal ini dipahami dengan baik, lantaran orang-orang yang kurang memahami, akan terjebak ke dalam situasi dan kondisi yang membuat terciptanya paham yang mengada-ada.
Contoh kongkret; Allah telah memberi perintah kepada seluruh ummat Islam untuk menghadap Ka’bah dalam shalat, dan ada banyak orang yang mendirikan shalat dengan menghadap Ka’bah sesuai perintah-Nya dan menjadikannya Kiblat. Namun, apabila ternyata ibadah mereka semata-mata hanya untuk Ka’bah dan mencium Kajar Aswad - bukan ibadah sebagai pengabdian (ubudiyah) kepada Allah dengan mengikuti contoh dari Nabi SAW - atau dengan kata lain hanya berniat beribadah kepada keduanya (Ka’bah dan Kajar Aswad), maka syiriklah ia seperti orang yang menyembah patung berhala.
Dengan demikian, perantara itu perlu, dan hal ini sama sekali bukanlah syirik. Sehingga setiap orang yang menjadikan bagi dirinya perantara dalam hubungannya dengan Allah tidak dianggap syirik. Lantaran jika tidak demikian pastilah seluruh manusia menjadi musyrik, karena seluruh urusan mareka sebenarnya berdiri di atas perantara.
Nabi Muhammad SAW menerima Al Qur’an dengan perantaraan Jibril as. Sedangkan Jibril sendiri adalah perantara bagi Nabi, sementara nabi Muhammad adalah perantara yang agung bagi para Sahabatnya radyallahu anhum. Mereka berlindung kepada Nabi dalam kesukaran, mengadukan problema mereka kepadanya, dan bertawassul dengannya kepada Allah.
Mereka juga meminta Nabi agar mendoakan mereka. Namun, Nabi tidak pernah berkata; “Kalian syirik dan kafir! Tidak boleh mengadu kepadaku, tidak boleh kamu meminta kepadaku, tapi pergilah, berdoalah, mohonlah langsung karena Allah itu lebih dekat kepadamu dan aku”. Tidak. Tidak pernah Rasulullah menjawab begitu, tetapi belian tetap dan bermohon, padahal merekapun tahu bahwa yang memberi pada hakikatnya hanyalah Allah. Yang mencegah, memberi rizki, melapangkan jalan hanya Allah SWT semata. Adapun Nabi SAW hanya dapat memberi, atas izin dan karunia Allah. Sehingga beliau bersabda: “Innama Ana Qosim wa Allahu Mu’thy” (Aku cuma membagi, yang memberi hanya Allah).
Sampai di sini, maka sudah jelas bahwa tidak ada larangan untuk mensifatkan manusia - orang biasa sekalipun - dengan ungkapan bahwa dia adalah pengusir bencana, penunai hajat, dalam arti ia perantara di situ. Dan jika untuk orang biasa saja boleh, maka bagaimana pula dengan Nabi yang agung, makhluk termulia, dan penghulu segala ciptaan Tuhan?, Bukankah Nabi sendiri juga telah menyatakan demikian, seperti terdapat dalam hadits-hadits shahih?
Al hadits (artinya): “Barangsiapa melepaskan satu kesulitan seorang mukmin dari kesulitan-kesulitan dunia, maka ....“ (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad). (Oleh sebab itu, orang Mukmin adalah pelepas segah kesulitan).
“Barangsiapa menunaikan kebutuhan saudaranya, pasti aku berdiri di dekat timbangan amalnya, kalau berat pahalanya (aku biarkan) kalau tidak aku akan memberi safa’at baginya.” (HR. Ahmad). (Oleh sebab itu, orang Mukmin adalah penunai hajat)
“Barang siapa mentutupi aib seorang muslim..) (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majak, dan Ahmad)
“Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang dikhususkan melayani berbagai kebutuhan orang banyak. Mereka berlindung kepadanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Orang-orang itulah yang aman dan azab Allah.” (HR. Atthabrany)
“Allah selalu menolong seorang hamba, selama ia selalu menolong saudaranya (semuslim).” (HR. Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad)
“Barangsiapa menolong kemalangan, Allah menolongkan baginya 93 kebaikan.” (HR. Abu Ya’la, Bazzar, dan Baihaqi)
Dari beberapa hadits tersebut di atas, tampak jelas bahwa setiap Mukmin dapat:
-          Melapangkan kesulitan …………………………(Faraja)
-          Memberi pertolongan ……………………………(A’ana)
-          Memberi bantuan ……………………………… (Aghotsa)
-          Menunaikan hajat ……………………………… (Qodla)
-          Menutupi kesalahan …………………………… (Satara)
-          Tempat mengadu dan berlindung ………………            (Mafza’ I1aih)
Padahal sesungguhnya zat yang sangat berkuasa dalam memberi kelapangan, menyampaikan hajat, menutupi kesalahan, menolong dan sebagainya pada hakikatnya adalah Allah SWT. Akan tetapi apabila orang Mukmin merupakan perantara dalam soal tersebut, maka tentu saja Allah menisbahkan perbuatan kepadanya.
Selain itu, ada banyak hadits yang juga menerangkan bahwa Allah SWT menahan siksaan atas penduduk bumi, lantaran adanya orang-orang yang meminta ampun, pemakmur masjid, dan dengan mereka pula Allah memberi rejeki, memberi pentolongan, menjauhkan bala bencana dan bahaya karam bagi penduduk dunia.
Thabrany meriwayatkan dalam kitab Al Kabir, Baihaqi dalam As Sunnah, dan sebuah hadits dari Mani’ Ad Daylami; Ia berkata: Rasulullah bersabda (artinya): “Kalau bukan karena adanya hamba-hamba Allah yang setia ruku, anak kecil yang menetek, binatang-binatang yang merumput di daerah gembala, pastilah azab sudah menimpa kamu.”
Imam Bukhari meriwayatkan dan Saad bin Abi Wakash ra bahwa Nabi SAW telah bersabda (artinya): “Kalian tidak ditolong dan tidak akan diberi rejeki kecuali karena adanya orang-orang lemah dari kamu.”
Hadits yang senada (artinya): “Semoga engkau diberi rejeki berkat dia.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Hakim dan Anas ra)
Dan Ahdullah bin Umar ra, bahwasanya Rasulullah bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba, yang Dia ciptakan demi berbagai kebutuhan manusia. Maka kepada merekalah orang mengadu bila ada kebutuhan. Mereka itu aman dari siksaan Allah.” (HR. Thabrany dalam Al Kabir, Abu Naim, Al Qodlo’iy)
Juga hadits Hasan yang ini (artinya): “Sesunguhnya Allah SWT dengan (berkat) keshalihan seorang lelaki, akan memberi kebaikan kepada anaknya, cucunya dan penghuni rumah lainnya, begitu pula bagi penghuni rumah sekitarnya. Dan selama orang itu berada di sisi mereka, maka selama itu pula mereka berada dalam perlindungan Allah.”
Dan Ibnu Umar ra berkata, bahwasanya Rasulullah telah bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah menahan (turunnya) bencana atas 100 orang penghuni rumah dari tetangganya disebabkan adanya seorang muslim yang shalih di kalangan mereka.” Lantas Ibnu Umar membaca ayat yang artinya: “Seandainya Allah tidak menahan (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya telah rusaklah bumi.” (Surah Al Baqarah ayat 251) (HR. Thabrany)
Riwayat dari Tsauban dengan hadits yang ma’ruf (artinya): “Senantiasa dijumpai 7 orang di antara kamu yang dengan (berkat) merekalah kami diberipertolongan, diberi hujan dan diberi rejeki sampai tiba keputusan Allah.”
Dari ‘Ubadah Ibn Shamit, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda (artinya): “Abdal (pengganti-pengganti) dari ummatku ada 30 orang, dengan merekalah kamu diberi rejeki dan diberi pertolongan. Berkata Qatadah: “Sungguh aku berharap kiranya Al Hasan termasuk di dalam 30 orang itu.”
Keempat hadits tersebut di atas dikemukakan oleh Ibnu Katsir, ketika beliau menafsirkan ayat 251 dan Surah Al Baqarah seperti tersebut di atas, dimana keempat hadits ini menurut beliau dapat dijadikan hujjah. Dan karena jumlahnya banyak , maka kedudukan hadits-hadits itupun menjadi shahih.
Dan Anas berkata, bahwasanya Rasulullah bersabda (artinya): “Tidak pernah sunyi bumi dan 90 orang yang menjadi kekasih Tuhan seperti (holilurrahman). Dengan mereka kamu diberi air, diberi pertolongan. Tidak ada yang mati dari mereka, kecuali Allah gantikan kedudukan dia dengan yang lain.” (HR. Thabrany dalam Al Kitab Al Ausath, dikutip dari Majma’uz Zawaid juz 10, hal 62).

0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan