Sebelumnya, ia menikmati hidup dengan hura-hura. Pesta, minum alkohol,
mabuk-mabukkan. Pokoknya “happy." Tapi ia dianggap "gila" setelah menemukan
Islam
Sebagai seorang muallaf, Yahya mengaku lebih mudah mengikuti dan mengamalkan
Islam ketimbang muslim tradisonal yang lahir dan dibesarkan di
Jerman.
Ada sebagian pemuda muslim yang lahir disana, sepengetahuan
Yahya, justru ingin dikenal sebagai orang Jerman. “Mereka tidak bangga dengan
Islamnya. Bagi mereka Islam hanyalah sebuah tradisi. Malah ada yang berani
menggadaikan keislamannya hanya agar bisa berganti kewarganegaraan,” ungkap
pemuda murah senyum itu. Na’uzubillah!.
Memang,
seperti diakui Yahya, hidup sebagai seorang Muslim di Jerman tidaklah
mudah.
“Jika orang Jerman ditanya apa yang mereka ketahui tentang Islam,
maka mereka akan jawab Islam identik dengan yang berbau Arab. Jadi persis
seperti sebuah simbol operasi dalam matematika, Islam=Arab. Mereka belum tahu
kebesaran Islam yang sebenarnya,” imbuhnya.
Masa remaja penuh ceria
Yahya dibesarkan di
sebuah desa kecil di pinggiran Potsdam. Ia tergolong anak keluarga berada. “Aku
tinggal di sebuah rumah mewah dengan ibu dan ayah tiriku. Rumah kami memiliki
halaman yang cukup luas dan ada kolam renangnya. Sebagai seorang remaja aku
sangat menikmati hidup ini. Punya banyak teman, kami sering bikin pesta, minum
alkohol, mabuk-mabukkan, dan acara gila-gilaan lainnya. Ya seperti kebanyakan
pemuda Jerman umumnya, Pokoknya happy,” ujar Yahya mengenang.
“Kala itu
aku punya segalanya; rumah mewah, mobil, uang, dan berbagai macam jenis mainan
canggih. Aku tidak pernah kekurangan uang, tapi entahlah, aku merasa hidup tidak
tenang, selalu gelisah. Kala itu pun aku berpikir untuk mencari “sesuatu” yang
lain,” sambungnya.
Memasuki umur 16 tahun ia bersua dengan komunitas
Muslim di kota Potsdam melalui perantaraan ayah kandungnya. Ayahnya memang telah
duluan memeluk Islam tahun 2001. Ya kendati telah bercerai dengan sang ibu,
namun Yahya senantiasa menjenguk ayahnya sekali dalam sebulan dan sering pula
menghadiri pengajian warga muslim disana.
Secara perlahan, Yahya mulai
tertarik dengan Islam. Rupanya sang ayah memerhatikan gejala itu. Sang Ayah
ingin ia belajar lebih jauh tentang Islam dari orang yang memiliki ilmu yang
lebih tinggi. Sejak saat itu Yahya mulai serius belajar Islam dan menghadiri
forum pengajian rutin setiap bulannya.
Satu ketika, terjadilah sesuatu
yang tak diinginkan, yang nantinya merubah semua jalan hidupnya. “Ceritanya,
satu hari aku ikut kawan-kawan pergi berenang. Nah saat melompat ke kolam, aku
terpeleset dan jatuh tidak sempurna. Akibatnya, punggungku mengalami retak berat
dan kepala berbenturan hebat dengan dasar kolam. Cederaku cukup parah hingga
ayah segera melarikanku ke rumah sakit.”
“Di rumah sakit, dokter
menyarankan agar jangan banyak bergerak. Cedera punggungku cukup parah yang
mengakibatkan engsel tangan kanan bergeser. Katanya: “Nak, janganlah banyak
bergerak. Sedikit saja salah bergerak bisa menyebabkan cacat nantinya.” Kalimat
dokter itu sungguh sangat tidak membantu. Malah membuatku tertekan luar
biasa.”
Sejurus kemudian, sebelum dibawa ke ruang operasi, Ahmir salah
seorang sahabatnya berujar.”Yahya, hidupmu kini ada di tangan Allah. Ini mirip
seperti sebuah perjudian, antara hidup dan mati. Kini kamu berada di puncak
kenikmatan dari sebuah pencarian. Bertahanlah, sabarlah sahabat. Allah pasti
bantu.” Kalimat Ahmir dirasakan Yahya sangat luar biasa. Ia sangat termotivasi
dan semangat hidupnya muncul kembali.
“Operasi berjalan selama lima jam
dan aku siuman selepas 3 hari. Saat terjaga tangan kananku sulit digerakkan.
Namun, entah mengapa, aku merasa orang yang paling bahagia di muka bumi ini.
Bahkan kepada dokter kuberitahukan bahwa aku tidak peduli dengan cedera yang
kualami. Aku justru bahagia Allah masih mengizinkanku hidup,” kenang
Yahya.
“Dokter mengatakan aku harus tinggal di rumah sakit selama
beberapa bulan. Tapi tahukah kawan, aku dirawat cuma dua pekan saja! Itu karena
aku latihan rutin dan penuh disiplin. Satu hari dokter datang dan bilang: ”Hari
ini kita coba latihan naik tangga ya.” Padahal tanpa sepengetahuan mereka
sebenarnya aku telah melakukan latihan atas inisiatif sendiri, dua hari sebelum
dokter datang,” sambungnya. Begitulah, akhirnya ia dapat menggerakkan kembali
tangan kanannya seperti sediakala dan cuma dua pekan di rumah
sakit.
“Kecelakaan itu telah mengubah jalan hidupku. Aku jadi suka
merenung. Jika Allah inginkan sesuatu, maka kehidupan seorang individu bisa
berubah hanya dalam hitungan detik. Aku pun mulai serius berpikir tentang hidup
ini dan Islam tentunya. Keinginan untuk memeluk Islam makin menjadi-jadi, yang
berarti harus meninggalkan rumah, keluarga yang kucintai dan semua kemewahan
hidup disana,”ungkapnya. Akhirnya ia memutuskan pindah ke Potsdam.
Kala
pindah ke Potsdam Yahya cuma membawa beberapa lembar pakaian, buku sekolah dan
beberapa CD kesayangannya. Ia tinggal sementara di apartemen
ayahnya.
“Kecil memang tempatnya, hingga aku musti tidur di dapur. Tapi
itu tidak masalah bagiku. Aku merasa bahagia. Sangat bahagia, persis seperti
kala terjaga dari siuman di rumah sakit selepas kecelakaan hebat
itu.”
Mengucap dua kalimah
syahadahTak berapa lama ia mulai menjalani
hari pertama di sekolah. Mendadak semua serba baru baginya. Apartemen baru,
sekolah baru, teman baru dan pertamakali tanpa keluarga lengkap. Persis sehari
selepas hari pertama di sekolah, ia pun bersyahadah. Begitu teman-teman
sekolahnya tahu ia beragama Islam mulailah mereka mengejek dengan
kalimat-kalimat usil.
“Ada teroris”, “Usamah bin Laden datang,” “Islam
itu kotor”. Begitu mereka mengejek Yahya. Sebagiannya malah ada yang
menganggapnya gila. Lebih parahnya lagi, bahkan ada yang tidak percaya ia orang
Jerman asli.
“Aku bisa maklumi, karena mereka hanya tahu Islam dari media
yang cenderung memojokkan Islam,” tukasnya
Akan tetapi setelah 10 bulan
berjalan situasinya benar-benar berubah. Sikap teman-temannya berubah drastis.
Rekan-rekan sekelasnya berhenti bersikap usil. Malah mereka sering bertanya
tentang Islam. Pandangan mereka tentang Islam pun berubah. Menurut mereka,
ternyata Islam itu cool! Indah! Subhanallah!
“Perubahan itu tentu saja
tidak serta merta. Secara halus dan perlahan aku melakukan dakwah di kelas.
Tentu saja bukan dengan ceramah agama. Sikap dan tingkah lakulah yang banyak
membantu mereka mengenal Islam. Percaya tidak, kini aku bahkan punya ruang
shalat khusus. Padahal akukah satu-satunya siswa Muslim di sekolah itu,” ujar
Yahya senang.
“Mereka baru tahu ternyata Islam punya adab atau tata
tertib dalam hidup. Yang menarik bagi mereka, Islam tidak ekslusif, tidak
mengelompokkan diri dalam kelompok-kelompok khusus. Seperti di sekolahku ini,”
imbuhnya.
Dikatakannya, di sekolah itu ada tiga kelompok utama yakni
kelompok yang suka hura-hura. kongkow-kongkow; lalu ada kelompok punk; dan
satunya lagi kelompok yang suka pesta-pestaan. Setiap orang selalu mencoba untuk
jadi anggota kelompok dari salah satu grup, semata-mata supaya diterima oleh
yang lainnya.
“Kecuali aku! Aku tidak masuk kelompok manapun, namun
diterima oleh semua mereka. Aku bisa menjadi teman bagi setiap orang. Tidak
perlu menggunakan pakaian tertentu supaya dibilang “cool.” Bahkan mereka selalu
mengundangku, demikian juga teman-temanku yang Islam pada acara-acara mereka,”
kisah Yahya.
Mereka menaruh respek pada Yahya sebagai seorang muslim.
Bahkan lebih dari itu, jika ada acara mereka secara khusus menyiapkan makanan
halal untuknya. Misalnya acara bakar sate, maka mereka siapkan dua alat
pembakar. Satunya untuk mereka dan satunya lagi khusus untuk Yahya dan
rekan-rekan Muslimnya.
“Bukan main! Kini mereka benar-benar terbuka
dengan Islam. Aku hanya berdoa agar Allah beri mereka hidayah. Amiin,” harapnya
sembari berdoa.
Selepas memeluk Islam, kesibukan Yahya kini bertambah. Ia
menjadi produser film. YaYa Productions nama perusahaannya yang berlokasi di
Potsdam. Produksinya terutama film-film dokumenter yang kebanyakan mengisahkan
perjalanan hidup seorang muallaf dan kebanyakan dalam bahasa Jerman dengan
terjemahan bahasa Inggris.
“Tujuan aku buat film adalah untuk menunjukkan
kepada kalangan non-Muslim bagaimana Islam yang sebenarnya. Jauh dari apa yang
ditampilkan media selama ini. Mudah-mudahan film-film itu bisa mencerahkan
pandangan mereka,” ujar Yahya yang meyakini pekerjaannya itu sebagai bagian dari
dakwah.
0 komentar:
Post a Comment