14.10.12

AL-QURAN DAN HAK-HAK WANITA

Sumber : Jurnal STAI al-Anwar

AL-QURAN DAN HAK-HAK WANITA

Oleh: Muhammad Labib, S.Sos.I.

Abstraksi: Kini berbagai tuduhan dilemparkan kepada umat Islam diantaranya adalah isu teroris dan pencabulan hak asasi manusia terutama kepada golongan wanita. Isu ini begitu sering dilontarkan oleh musuh-musuh Islam. Islam sebenarnya adalah agama adil yang memperhatikan semua hak umatnya. Karena itu, tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang pandangan Islam yang sebenarnya terhadap hak-hak wanita seperti yang terkandung dalam al-Quran. Penulis akan mencoba menguraikan hak-hak tertentu wanita berdasarkan kepada al-Quran, di samping penjelasan mengenai beberapa keraguan mengenai hak-hak wanita yang dimunculkan oleh musuh-musuh Islam. Dengan tulisan ini diharapkan dapat menjawab beberapa isu-isu negatif yang melanda umat Islam pada masa sekarang. Isu ini berkait dengan keadilan Islam yang memerlukan penjelasan yang teratur dan lengkap bagi berlangsungya keberadaan umat Islam yang bukan saja dihormati tetapi juga mempunyai tahap keimanan yang tinggi.

Pendahuluan

Al-Quran merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, di dalamnya terkandung panduan yang lengkap untuk kehidupan umat Islam di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

تركْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya: Kami telah meninggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya.”[1]

Oleh karena itu, al-Quran merupakan panduan dan rujukan utama umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia untuk menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti, al-Quran merupakan panduan yang komprehensif yang mencakup semua aspek kehidupan baik dari segi aqidah, ibadat, munakahat, muamalat dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya: pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS, al-Maidah: 3)

Al-Quran juga telah menjelaskan bahwa kesamaan derajat manusia di sisi Allah berdasarkan kepada ketaqwaan. Tidak ada perbedaan antara warna kulit, kasta dan kekayaan di sisi Allah, semuanya sama selain ketaqwaan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu (bukan yang memiliki kelebihan dalam keturunan atau bangsanya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (akan keadaan dan amalan kamu). (QS al-Hujurat: 13)

Wanita merupakan golongan yang tidak pernah dilupakan oleh al-Quran, golongan ini sangat dimuliakan oleh Islam, mereka tidak ada bedanya dengan golongan laki-laki selain dalam aspek ketakwaan kepada Allah saja. Tuduhan sebagian pihak yang menyatakan bahwa golongan wanita ditindas di dalam Islam adalah tidak benar. Sebaliknya, Islam memuliakan wanita sebagaimana yang dapat dilihat secara jelas, di dalam al-Quran banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hak-hak mereka, begitu juga dengan hadis yang tidak kurang hebatnya dalam menekankan hak-hak wanita.

Perhatian Al-Quran Terhadap Hak-Hak Wanita

Al-Quran sangat memperhatikan golongan wanita terutama dalam membicarakan hak-hak mereka. Terdapat banyak surat dalam al-Quran yang menjelaskan mengenai hukum-hukum berkaitan dengan wanita, bahkan terdapat satu surah di dalam al-Quran yang dinamakan sebagai surah al-Nisaa’ yang berarti wanita. Tidak kurang juga dengan beberapa surah yang lain yang banyak membicarakan tentang wanita seperti surah al-Talaq, al-Mujadalah, al-Mumtahanah dan lainnya.
Ini menunjukkan bahwa golongan wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam, kedudukan ini tidak ditemukan oleh mereka dalam syariat selain Islam. Perhatian al-Quran ini dapat dilihat dengan jelas di dalam ayat-ayat yang membicarakan tentang persamaan hak di antara golongan laki-laki dan perempuan, seperti firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal(dan saling mengasihi antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu (bukan yang memiliki kelebihan dalam keturunan atau bangsanya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (akan keadaan dan amalan kamu).
(QS al-Hujurat: 13)

Ayat ini menunjukkan bahwa al-Quran tidak mengutamakan golongan laki-laki daripada golongan wanita dari sisi ciptaan, akan tetapi kelebihan itu dipandang dari sisi usaha yang dilakukan oleh seseorang baik laki-laki maupun perempuan. Usaha-usaha ini, yaitu mendekatkan diri kepada Allah sebagai penentu kelebihan dan kemuliaan di sisi Allah SWT.[2] Hal ini dikuatkan oleh Hadis Rasulullah SAW:
(عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: جاء رجل إِلَى رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم -، فَقَالَ: يَا رَسُول الله ، مَنْ أحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : (( أُمُّكَ )) قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : (( أُمُّكَ )) ، قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : (( أُمُّكَ )) ، قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : (( أبُوكَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA. berkata: “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW dan berkata: Siapakah yang paling berhak untuk aku temani secara baik?” Rasulullah SAW menjawab: “Ibu kamu”. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, “lalu siapa?” Rasulullah menjawab: “Ibu kamu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “lalu siapa?” Rasulullah menjawab: “Ibu kamu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “lalu siapa?” Rasulullah menjawab: “Ayah kamu” .[3]
                               
Syeikh al-Azhar yaitu Syeikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq ketika mengulas tentang hadis ini menerangkan bahwa: “Golongan ibu dikhususkan di dalam hadis tersebut karena sifat perhatian mereka yang merupakan fitrah bagi seorang ibu, hal tersebut merupakan karunia Allah kepada kaum ibu. Sifat kasih sayang yang berada dalam hati mereka merupakan satu karunia Allah untuk anak-anak, di samping kaum ibu merasakan beratnya masa mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anak serta tekun dalam mendidik sehingga rela terjaga, bangun malam demi memastikan anak-anak mereka dalam keadaan baik dan selamat sampai memberikan kehidupan yang lebih baik kepada mereka”.[4]
Setiap hak yang dikaruniakan Allah kepada golongan laki-laki juga merupakan hak yang dikaruniakan kepada golongan wanita. Al-Quran juga menjelaskan bahwa wanita mempunyai hak dalam akad dan pemilikan seperti jual beli, penggadaian, hibah, wasiat dan sebagainya. Sebagaimana wanita yang telah menikah mempunyai hak yang menyeluruh terhadap hartanya dan ia bebas dari kepemilikan suaminya. Suami sama sekali tidak boleh mengambil hak isteri tanpa izin, sebagaiman Firman Allah SWT:
)وَإِنْ أَرَدْتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا(
Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu (yang kamu ceraikan) dengan isteri yang lain (isteri baru), sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri yang kamu ceraikan) harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (QS, Al-Nisaa: 20)

Ini merupakan persamaan antara golongan wanita dan laki-laki yang telah ditetapkan oleh al-Quran. Oleh karena itu, golongan wanita mendapatkan apa yang didapat oleh golongan laki-laki. Tanpa keadilan ini sebuah masyarakat akan kacau-balau terlebih jika masyarakat meyakini tentang peluang persamaan itu merupakan jalan untuk mewujudkan kekuatan sebuah ummat[5]. Firman Allah SWT:

)وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(

Artinya: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS, Al-Baqarah: 228)

Ayat ini jelas menunjukan bahwa pernikahan dalam Islam bukan aqad pemilikan atau perhambaan tetapi hanya merupakan aqad yang mewajibkan hak bersama di antara satu sama lain, yaitu hak yang sama rata antara suami dan isteri berdasarkan kepada kepentingan bersama. Terdapat tiga hukum penting yang terkandung dalam ayat ini, yaitu:
1)      Suami dan isteri mempunyai hak masing-masing di antara satu dengan yang lain.
2)      Suami dan istri perlu menyadari hak masing-masing dan perlu menangani setiap kelemahan yang dihadapi dengan sebaik mungkin.
3)      Kelebihan golongan suami ke atas golongan isteri ialah pada kekuatan fisik dan kepimpinan serta bertanggungjawab memperlancar urusan keluarga. [6]

Sebagaimana firman Allah SWT:
)الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ(

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.  (QS, Al Nisaa’: 34)

Golongan wanita juga mempunyai hak bai’at (janji taat setia) seperti laki-laki, ini berarti setiap wanita mempunyai kelayakan penuh untuk menunaikan segala perjanjian yang dianggap sebagai perkara yang paling penting dalam Islam.[7] Firman Allah SWT:
)يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(
Artinya: Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (dari kemahuan hati mereka) dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS, al-Mumtahanah:12 )

Islam juga memberikan hak untuk berpikir dan mengutarakan pandangan kepada golongan wanita. Hal ini, dapat dilihat dalam kisah yang berlaku kepada Khaulah binti Tha’labah (isteri Aus bin al-Somit) yang merupakan lambang tingginya pemikiran wanita, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Penghormatan Islam terhadap hal ini dapat dilihat dengan jelas ketika Allah SWT menjadikan pengaduannya sebagai Syariat bagi hukum Zihar seperti mana yang terkandung dalam surah al-Mujadalah.[8]

)قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ(
Artinya:Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.  (QS. Al-Mujadalah: 1)

Hal ini merupakan kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada golongan wanita yang tidak mengurangi karunia-Nya kepada golongan laki-laki. Tidak ada seorangpun yang boleh merampas dan menodai hak ini karena perbuatan yang demikian merupakan penghinaan terhadap kemuliaan manusia serta suatu kedzaliman yang besar. Oleh  karena itu, Islam telah menetapkan bahwa tidak ada penodaan atas hak orang lain baik laki-laki ataupun perempuan. Ini adalah karena penodaan hak tersebut merupakan kedzaliman dan dzalim itu diharamkan di dalam Syariat Islam.[9] Sebagaimana firman Allah SWT:

)وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ(
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".” (QS, al-Baqarah: 190)

Al-Quran juga memberi tekanan dalam aspek tanggung jawab dan balasan kepada golongan wanita. Mereka sama dengan golongan laki-laki, justru tidak dibedakan baik laki-laki atau perempuan semuanya mempunyai tanggung jawab melakukan segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah kecuali hukum-hukum tertentu yang hanya melibatkan golongan laki-laki atau perempuan saja seperti batas menutup aurat, hukum semasa haid dan salat jum’at.
Al-Quran juga telah menetapkan bahwa wanita mempunyai tanggung jawab tersendiri seperti laki-laki, ia mempunyai tanggung jawab untuk dirinya dalam ibadah, muamalat, keluarga dan ummat. Tanggung jawab tersebut tidak kurang besarnya dari pada tanggung jawab laki-laki. Sebagaimana firman Allah SWT:

)وَمَنْ يَعْمَلْ مِنْ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا(

Artinya:  “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS, Al Nisaa’: 124)

Allah juga berfirman:
)فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ(

Artinya:Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS, Ali Imran: 195).
Allah juga berfirman:
)مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (QS, Al Nahl: 97)

Ini merupakan janji Allah kepada siapa saja yang beramal soleh, baik laki-laki atau perempuan. Mereka berhak mendapat kehidupan yang baik di dunia dan akan mendapat balasan yang setimpal di akhirat karena kebaikan yang dilakukan di dunia.[10]
Kemudian Allah memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai keadilan hak-hak wanita dalam peraturan Islam dari aspek tanggung jawab dan balasan, sebagaimana firman-Nya:

)إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا(
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS, Al-Ahzab: 35)

Keadilan hak ini juga dijelaskan oleh Al-Quran dalam konteks hukum hudud, Allah SWT berfirman:
)وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(
Artinya:  Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS, Al-Ma’idah: 38)

Allah SWT juga berfirman:

)الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ(
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS, Al-Nur: 2)

Dari ayat-ayat yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa Islam melalui al-Quran sangat memuliakan wanita, hak-hak mereka dipelihara dan tanggung jawab mereka dituntut. Islam juga menempatkan keadilan dalam persamaan antara laki-laki dan wanita karena mereka merupakan bagian dari masyarakat dan juga sebagai pelengkap antara satu dengan yang lain untuk kekuatan ummat.[11]

Beberapa Keraguan Yang Ditimbulkan tentang Hak-Hak Wanita Dalam Al-Quran

Banyak pihak telah membicarakan hak-hak wanita dan kebebasan mereka termasuk golongan orientalis yang selalu berusaha untuk memberikan gambaran negatif terhadap hak-hak wanita dalam Islam. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan bahwa hak golongan wanita dalam Islam telah dirampas dan dinodai.
Mereka berpandangan bahwa Islam telah membedakan antara hak golongan laki-laki dan wanita, dan ini dijadikan alasan untuk mengkaji ulang terhadap agama Islam supaya dapat memenuhi kehendak mereka seiring dengan perjanjian internasional mengenai hak-hak wanita. Mereka juga berusaha untuk mengubah arti nash-nash syar’iy yang telah menjadi tetap supaya sesuai dengan perjanjian-perjanjian tersebut.[12]
Apa yang perlu ditekankan di sini ialah mengenai beberapa keraguan tentang hak-hak wanita yang ditimbulkan oleh pihak-pihak tertentu yang memusuhi Islam dengan cara memburukkan agama Islam. Keraguan-keraguan tersebut sudah pasti dapat disanggah dan disangkal oleh Islam dengan menggunakan al-Quran itu sendiri. Di antara keragu-raguan tersebut adalah seperti berikut:

1)   Mendidik istri dengan memukul

Beberapa pihak berusaha untuk menghapus istilah memukul dalam mendidik isteri seperti yang disebut dalam al-Quran tanpa meneliti apakah maksud yang tersirat disebalik istilah “الضرب” atau pukul itu. Memang al-Quran menjelaskan kepada kita mengenai memukul ini merupakan salah satu kaedah dalam mendidik isteri, tetapi harus diingat bahwa apa yang dimaksud dengan memukul itu ialah salah satu alternatif dalam mendidik isteri, sekiranya kaedah nasihat dan pisah tempat tidur tidak bisa memberikan efek jera. Firman Allah SWT:

)الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا(

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. al-Nisaa’: 34)

Pukulan yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah bermaksud untuk menyakiti atau mendera, tetapi hanya bertujuan untuk mendidik, memperbaiki dan mengobati prilaku buruk isteri. Pukulan ini hanya dikenakan terhadap isteri-isteri yang melakukan nusyuz saja dan setelah para suami gagal memberikan nasihat dan pisah tempat tidur. Oleh karena itu, mepukul merupakan alternatif untuk mencegah terjadinya perceraian, terutama kebanyakan wanita yang melakukan nusyuz ini tidak sadar tentang akibat perbuatan tersebut yang menjadikan timbulnya perceraian dan hancurnya rumah tangga.[13]
Di samping itu, pukulan yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah pukulan “غير مبرح” yaitu pukulan yang tidak kuat dan tidak menyakiti, pukulan itu juga perlu dilakukan dengan benda-benda yang ringan seperti kayu siwak atau seumpamanya[14].

2)   Penguasaan suami terhadap isteri

Keraguan ini ditimbulkan oleh musuh Islam dengan menyatakan bahwa maksud “القوامة” dalam firman Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 34 adalah penguasaan secara keras dan zalim, sedangkan maksud sebenarnya penguasaan ini adalah kepimpinan yang berasaskan kasih sayang, hormat-menghormati dan melindungi dari ketakutan dan kelaparan. Kekuatan ini berasaskan kepada faktor naluri laki-laki itu sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk isteri dan keluarga.[15] Sebagaimana firman Allah SWT:
)وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. (QS, Al-Baqarah:233)

Berdasarkan ayat ini dan ayat yang telah disebutkan mengenai kekuatan suami melebihi kekuatan isteri maka para ulama bersepakat tentang kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri[16].

3)   Poligami

Beberapa pejuang hak asasi wanita berlebihan dalam memperjuangkan hak mereka sehingga sampai meniadakan apa yang terkandung dalam al-Quran seperti sistem poligami yang dibolehkan dalam Islam. Mereka mendakwa poligami merupakan satu sistem yang menjatuhkan kemuliaan wanita dan menodai tingkat kesamarataan antara laki-laki dan wanita[17]. Sedangkan dalam Islam, hukum asal poligami adalah diperbolehkan (mubah) berdasarkan firman Allah SWT:
)وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً(
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja. (QS, al-Nisaa’: 3)

Berdasarkan kepada ayat ini, hukum diperbolehkan tersebut bukanlah secara mutlak, kemungkinan hukum poligami itu menjadi sunat, makruh atau haram bergantung kepada keadaan seseorang yang ingin melakukan poligami tersebut. Di samping itu, sistem ini juga mempunyai hikmah yang tersirat di balik diperbolehkannya. Sebagai contoh, jika seseorang laki-laki mempunyai isteri yang tidak ingin berhubungan baik karena sifat nalurinya atau disebabkan penyakit, apakah laki-laki ini boleh berzina untuk memenuhi keperluan batinnya. Oleh karena itu, penyelasaian yang paling sesuai ialah dengan menggunakan kaedah yang ketiga yaitu poligami yang akan memberikan kebaikan kepada semua pihak.[18]
Walau demikian, pihak barat yang selalu berprasangka tentang hal ini berusaha untuk menghapus sistem poligami dengan menggunakan berbagai alasan seperti yang dikemukakan tadi, tetapi sayangnya masyarakat barat yang menentang sistem poligami inilah sebenarnya yang menodai kemuliaan dan hak-hak golongan wanita, dapat dilihat bagaimana kajian yang dibuat di barat menunjukkan bahwa 70% golongan laki-laki melakukan pengkhianatan (perselingkuhan) atas isteri. Kirk Douglas seorang bintang film terkenal dengan begitu bangga mengaku di hadapan khalayak bahwa beliau mempunyai seribu orang perempuan simpanan, manakala seorang ahli politik Perancis George Karamasu mengaku mempunyai 600 perempuan simpanan. Sesungguhnya Islam ketika mensyariatkan poligami tidak mengabaikan sifat naluri laki-laki dan tidak lupa dengan keadaan wanita yang memerlukan pelindung dan orang yang bertanggung jawab mengurus diri dan anak-anaknya.[19]

4)   Pewarisan harta.

Tuntutan persamaan dalam mewarisi harta pusaka antara laki-laki dan perempuan bukanlah suatu hal yang aneh, bahkan usaha ini telah ada sejak turunnya wahyu. Hal ini dijelaskan dalam salah satu riwayat tentang sebab turunnya ayat 32 surah al-Nisaa’ yaitu firman Allah SWT:

)وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا(
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS, al-Nisaa’:32)

Riwayat tersebut sebagai berikut:
قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَغْزُو الرِّجَالُ وَلاَ نَغْزُو وَلَنَا نِصْفُ الْمِيرَاثِ
Artinya: Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah! Golongan laki-laki berperang dan kami tidak berperang, dan bagi kami separuh dari apa yang mereka warisi.[20]

Mungkin beberapa pihak melihat bahwa pembagian ini tidak adil, tetapi apa yang tampak bagi kita bahwa Islam telah mempertanggungjawabkan kepada golongan laki-laki untuk memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak, sedangkan golongan wanita dapat menikmati seluruh harta yang diwarisi tanpa sedikitpun tanggung jawab. Bahkan harta yang diwarisi oleh laki-laki akan semakin berkurang berbanding dengan harta wanita yang semakin bertambah dengan mahar, hadiah dan sebagainya.

5)   Kesaksian Wanita

Beberapa pihak yang menginginkan persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan selalu berusaha memberikan hak sepenuhnya kepada wanita dalam hal ini, mereka melihat bahwa Islam menjadi penghalang persamaan taraf dalam penyaksian dan menganggap ini merupakan sebagian dari penodaan hak yang dilakukan oleh Islam. Untuk menjawab isu ini, sebenarnya penyaksian dalam Islam bukanlah berasaskan perbedaan secara mutlak antara laki-laki dan wanita, bahkan hanya berbeda berdasarkan keadaan sesuatu perkara yang disaksikan:
1-      Kesaksian untuk hukuman qisas dan hudud: Sama sekali tidak diterima kesaksian wanita karena perkara ini akan membangkitkan perasaan simpati mereka secara naluri dan mereka juga tidak mampu menanggungnya, seperti yang ditetapkan oleh mayoritas ulama, melainkan kejadian yang berlaku dalam masyarakat yang melibatkan wanita saja.[21]
2-      kesaksian dalam jual beli dan hutang: Dalam penyaksian ini dituntut dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan sebagaimana firman Allah SWT:

)وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى(

Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika yang seorang lupa dari saksi-saksi perempuan yang berdua itu maka dapat diingatkan oleh yang seorang lagi. (QS Al-Baqarah: 282)
Perbedaan ini tidak bermaksud menjatuhkan kemuliaan dan hak wanita, tetapi karena sifat naluri wanita itu sendiri yang tidak begitu memberi penekanan kepada urusan keuangan, urusan mereka kebanyakan tertumpu kepada perihal rumah tangga dan keluarga. Oleh karena itu, tumpuan mereka dalam perkara ini agak lemah dibandingkan dengan laki-laki, justru Allah telah memerintahkan supaya kesaksian dalam urusan hutang ini hendaklah dilakukan oleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan[22].
3-      Kesaksian Li’an: Dalam penyaksian ini Islam telah memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita, sebagaiman firman Allah:

)وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنْ الصَّادِقِينَ(6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنْ الْكَاذِبِينَ(7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنْ الْكَاذِبِينَ(8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنْ الصَّادِقِينَ(9)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.  Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.  Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS, al- Nuur: 6-9)

4-      Kesaksian dalam kelahiran, penetapan keturunan dan penyusuan: Penyaksian ini hanya dimiliki oleh wanita seperti mana yang diriwayatkan daripada Rasulullah SAW:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فَجَاءَتْ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُكُمَا فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَكَيْفَ وَقَدْ قِيلَ دَعْهَا عَنْكَ
Artinya: Dari Uqbah bin Harith diriwayatkan bahwa beliau menikah dengan Ummu Yahya binti Ihab. Maka datanglah seorang wanita dan berkata: Aku telah menyusui kalian berdua. Maka Uqbah bertanya kepada Rasulullah tentang pengakuan itu. Rasulullah menjawab: Tinggalkan dia (Umm Yahya) -ceraikan-.[23]

Melalui penjelasan diatas, terbukti bahwa kesaksian yang memerlukan dua orang perempuan dengan seorang laki-laki hanyalah dikhususkan pada bab hutang saja, dan ini meniadakan terjadinya perbedaan hak antara laki-laki dan wanita, justru hal itu tidak sedikitpun menodai hak dan kemuliaan wanita.

PENUTUP

Wanita merupakan ciptaan Allah yang amat indah dan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki sebagaimana yang terkandung di dalam al-Quran al-Karim. Setiap hak yang dikaruniakan Allah kepada golongan laki-laki juga merupakan hak untuk golongan wanita. Oleh itu, wanita mempunyai hak untuk belajar, mencari rizki, mengutarakan pendapat, memiliki sesuatu dengan bebas dan sebagainya.  Tidak ada sedikitpun penodaan hak terhadap golongan wanita  sebagaimana yang didakwa oleh beberapa pihak yang membenci Islam. Islam senantiasa memperjuangkan hak-hak wanita dari berbagai aspek, rohani dan jasmani untuk memastikan masyarakat terpelihara dan kuat.
Musuh-musuh Islam selalu berusaha mencemarkan nama baik Islam dengan menimbulkan berbagai keraguaan tentang hak-hak wanita, kata mereka Islam tidak mementingkan golongan wanita dalam kewujudan sebuah masyarakat, tetapi hal ini dapat disangkal dengan mudah, hanya bersandarkan kepada hikmah di balik suatu perkara yang ditetapkan Allah. Setiap ketetapan Allah itu ada hikmahnya tersendiri dan Allah sangat mengetahui tentang keadaan hamba-Nya.



[1] Malik bin Anas (2004), al-Muwata’ : Bab al-Nahi an al-Qaul bi al-Qadar, j. 5 Omman: Muassasah Aly Nahyan, h. 297
[2] Muhammad bin Isma’il al-Bukhori (1987), al-Jami’al-Sahih al-Mukhtasar, Bab Ahaq al-Nas bi Husni al-Suhbah, j. 5 Beirut: Dar Ibnu Kathir. h. 2227
[3] Ahmad Al-Makhzanji, (2004), Huquq al Mar’ah fi al-Musaawah wa al-Mirath. Beirut: mua’sasah al-Risalah, h. 78
[4] Jad al-Haq, Ali Jad al-Haq (1995), Haula Ittifaqiyyah al Qada’ ala Asykal al Tamyiiz did al Mar’ah min al Mandzur al Islamiy. Majallah al-Azhar. h. 45
[5] Abbas Al-Aqqad, (t.t) Al-Mar’ah fi Al-Quran. al-Qaherah: Dar Nahdah Masr. h. 23
[6] Wahbah Al-Zuhaili, (1998), al-Tafsir al-Munir. j. 1 Beirut: Dar al-Fikr. h.213
[7]Abdul Wahhab, Liwa’ Ahmad (1998), Makanat al-Mar’ah fi al-Yahudiyyah wa al Masihiyyah wa Al-Islam. Al-Qaherah: al-Majlis al ‘Ala li Al Syu’un al Islamiyyah. h. 265
[8]Muhammad bin Jarir al-Tabari (2000), Jami' al-Bayan an Ta'wil Ay al-Qur'an. J. 23 Beirut: Muasasah al-Risalah. h. 247
[9] Abdul Karim Zaidan, (1997), Al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim. J. 3 Beirut: Mu’assasah al-Risalah. h. 234
[10] Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Kathir, (1996), Tafsir Al-Quran Al-Azim. J. 4 Beirut: Dar al-Ma’rifah. h. 601
[11] Yusuf Al-Qaradawi, (1996), Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah. al-Qaherah: Maktabah Wahbah. h. 87
[12] Nuha Qatarji, (t.t), Syubuhat Haula Huquq al Mar’ah fi Al-Islam. h. 38
[13] Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Kathir, (1996), Op.cit., h. 599
[14] Ibid., h. 601
[15] Nuha Qatarji, (t.t), Op.cit., h. 45
[16] Mustafa Al-Khin, Wa Aakharun, (1996), Al-Fiqh al-Manhaji. Dimasyq: Dar al-Qalam, h. 30
[17] Nuha Qatarji, (t.t), Op.cit., h. 47
[18] Mustafa Al-Khin, Wa Aakharun, (1996), Op.cit., h. 31
[19] Fatimah Nasif, (2000) Huquq Al Mar’ah fi Al-Islam, h. 10
[20] Abu al-Fida’ Ismail Ibnu Kathir, (1996), Op.cit., h. 600
[21] Yusuf Al-Qaradawi, (1996), Op.cit., h. 88
[22] Ibid.
[23] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, (1987) Sahih al Bukhari: Bab Syahadah al-Murdi’ah, Beirut: Dar Ibn Kathir, hadis ke 2517.



0 komentar:

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan