13.12.12

OTENTISITAS KITAB SUCI; ANTARA AL-QUR’AN DAN BYBLE

Oleh: Ahmad Fatoni, MA

A. Pendahuluan


Setiap pribadi muslim diwajibkan untuk mengimani kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para rasulnya, baik itu Nabi Muhammad yaitu al-Qur’an maupun rasul-rasul sebelumnya, yakni Taurat kepada nabi Musa, Zabur kepada nabi Daud dan Injil yang diberikan kepada Nabi Isa. Keimanan dan pengakuan ini masuk dalam pilar-pilar (rukun) iman dalam Islam. Dalam hal ini Allah mengungkapkan di dalam al-Qur’an diantaranya;
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (Q.S.Al-Baqarah:285).


Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah kitab-kitab suci yang ada sekarang, selain al-Qur'an, persis sama lafadz dan maknanya dengan apa yang diterima dan disampaikan oleh para rasul terdahulu itu. Adakah jaminan kalau kitab-kitab suci itu khususnya taurat dan injil yang terkodifikasi di dalam Al-Kitab tidak mengalami perubahan dan penyimpangan. Singkatnya, apakah kitab-kitab itu otentik sesuai dengan saat diturunkan. Pertanyaan ini tidak saja penting, tapi sangat mendasar untuk dijawab karena menyangkut keharusan iman kita kepada kitab-kitab tersebut sebagaimana diperintahkan dalam agama. Karena bila ternyata terdapat kekeliruan pada kitab-kitab yang dianggap suci itu dan kita mengimaninya maka keliru pula kita beriman. Adalah wajib hukumnya bagi kita umat Islam untuk melakukan penelitian atau koreksi secara obyektif terhadap kandungan Al-Kitab untuk mendapatkan penilaian secara benar dan obyektif apakah Al-Kitab itu sesuai dengan yang diwahyukan kepada –dan disampaikan oleh- Nabi Musa dan Isa sehingga mengikat keimanan kita, atau tidak sesuai lagi dan ikatan keimanan kita kepada Al-Kitab sudah tidak menjadi keniscayaan dan tidak berlaku lagi.
Langkah eksploratif dan korektif terhadap Al-Kitab menemukan semangatnya dengan ditemukannya perbedaan Al-Kitab satu dengan Al-Kitab yang lain. Munculnya banyak versi Al-Kitab membuka keingintahuan sekaligus menimbulkan "rasa curiga" penulis terhadap Al-Kitab tersebut. Masing-masing dari mereka mengaku Al-Kitabnyalah yang paling benar, dan yang lain salah. Tidak sebagaimana umat Islam yang kitab sucinya satu, tidak berubah dan berlaku untuk semua masyarakat muslim tanpa kecuali. Maka menjadi janggal dan ganjil ketika kita menemukan Al-Kitab dalam beragam versi. Kenyataan bahwa satu agama memiliki Al-Kitab yang berbeda satu dengan yang lain adalah sesuatu yang membingungkan sekaligus mencurigakan. Kesadaran ini yang membuat penulis gelisah dan dipenuhi banyak pertanyaan serta keraguan. Bermula dari keraguan ini penulis terpacu untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang Al-Kitab tersebut. Metode yang penulis gunakan adalah studi perbandingan. Studi perbandingan ini dimulai dengan membandingan Al-Kitab satu dengan Al-Kitab yang lain. Lalu dengan apa kita membuat ukuran dalam perbandingan itu ? Jawabanya sederhana tapi mendasar yakni dengan al-Qur'an. Mengapa ? Karena al-Qur’an adalah kitab yang tingkat keasliannya bisa dipertanggungjawabkan oleh sejarah. Keaslian menjadi ukuran paling prinsip bagi diakui dan tidaknya suatu kitab suci. Karena keaslian inilah al-Qur’an memiliki jaminan yang akurat dan absah untuk mengukur kadar keaslian semua kitab yang dianggap suci, termasuk Injil dan Taurat. Secara terbuka al-Qur’an digunakan untuk mempertegas kebenaran ayat-ayat dan pasal-pasal dalam Al-Kitab yang sesuai makna, pesan moral dan substansi nilai yang sama dengan al-Qur’an. Sebaliknya, al-Qur’an harus dijadikan dasar untuk menolak ayat-ayat dan pasal-pasal di dalam Al-Kitab yang berseberangan dan bertentangan substasi dan semangat moralnya dengan al-Qur’an. Dengan begitu, kepentingan untuk beriman akan memperoleh kepastian obyeknya.
Sebelum kajian Al-Kitab ini diuraikan, penting untuk dijelaskan lebih dahulu kajian tentang al-Qur’an. Bab berikut ini akan menjelaskan bagian-bagian terpenting yang perlu diketahui secara singkat dalam al-Qur’an. 

B. Sejarah Dan Karakteristik Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan oleh Allah kepada Umat Islam melalui Nabi Muhammad, dengan gaya bahasa, jaminan orisinalitas dan kualitas isinya yang tidak diragukan lagi. Dalam hal ini Al-Qur'an berkata:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan dalam al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu dan ajklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orng yang benar.” (Q.S. Al-Baqarah:23).

Muhammad adalah seorang keturunan Arab Quraisy yang tidak bisa baca dan menulis, tetapi tajam pendengaran dan kuat hafalannya. Di usia 40 tahun pertama kali ia menerima wahyu di Gua Hira. Setiap kali wahyu berikutnya itu diterima ia selalu menghafalnya dan menyuruh para sahabatnya untuk mencatatkan di pelepah kurma, kadang di kulit unta atau di atas tulang belulang. Selama kurang lebih 23 tahun wahyu Allah diterimanya secara berangsur-angsur, dihafalkannya, dicatatnya oleh para sahabat dan juga dihafalkannya oleh mereka. Hal ini terekam dalam al-Qur’an:

وَ قُرْءَاناً فَرَقْنَهُ لِتَقْرَأَهُ عَلى النَّاسِ عَلى مُكْثٍ وَ نَزَّلْنَهُ تَنزِيلاً

 Artinya: “Dan al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian. (Q.S. Al-Isra’: 106).

Tidak satupun kata, apalagi ayat yang terlupa untuk dihafal dan dituliskan. Penulis yang bertindak sebagai sekretaris dan penghafal dari sahabatnya tidak hanya satu atau dua orang, akan tetapi banyak sekali yang diantara mereka tidak ada yang berselisih tentang hafalan dan catatan tersebut. Mereka adalah saksi sejarah yang masing-masing memiliki bukti otentik yang sama satu dengan yang lain. Maka ketika Muhammad Rasul Allah ini wafat, proses pembukuan al-Qur'an dilakukan oleh para sekretaris Nabi yang terpercaya dan penulisannya dilakukan dengan sangat ketat. Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah dan sahabat terdekat Nabi membuat tim khusus untuk mengumpulkan catatan-catatan al-Qur’an dan membukukannya. Tim ini dipimpin oleh Zaid Ibn Tsabit, sekretaris Nabi yang paling banyak memiliki catatan wahyu.
Dalam pembukuan al-Qur’an Abu Bakar menekankan tiga syarat. Pertama, hafalan dan catatan itu harus diterima langsung dari Rasulullah. Kedua, hafalan mesti sama redaksinya dengan catatan. Ketiga, penghafal dan pemilik catatan adalah orang tsiqoh atau terpercaya.
Pembukuan pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah Usman bin Affan yang semuanya menjadi saksi sejarah Nabi Muhammad. Keduanya menjadi pengikut setia Nabi dan diakui oleh sejarah akan moralitas mereka. Hal ini sulit dibayangkan adanya kemungkinan dan peluang kesalahan. Dan hingga hari ini warisan al-Qur'an yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad Rasul Allah itu tetap utuh dan ditemukan di seluruh dunia tanpa ada perbedaan satu dengan yang lain. Bukan saja kandungannya yang terpelihara, huruf dan bahasanya pun tetap terjaga yakni bahasa Arab. Meski terdapat hasil tarjamah ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia, tetapi bahasa aslinya yakni bahasa Arab Quraisy yang menjadi bahasa sehari-hari Muhammad Rasul Allah tetap disertakan. Berbagai upaya untuk merubah al-Qur’an melalui tangan-tangan yang iri dan tidak bertanggungjawab, tidak pernah berhasil. Dan al-Qur’an tetap senantiasa terjaga keasliannya. Kenyataan ini dipertegas sendiri oleh al-Qur’an:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S. Al-Hijr: 9)

Al-Qur'an sejak dahulu hingga sekarang memiliki jumlah kata yang sama yang terangkum dalam 30 juz 114 surat. Kalau pernah terjadi perselisihan jumlah hitungan ayat, itu tidak merubah sama sekali terhadap jumlah kata dan bahkan hurufnya. Satu jaminan yang mesti harus diakui secara obyektif oleh semua pemeluk agama bahwa kehadiran al-Qur'an adalah sebuah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis dan ilmiah dari Allah. Dua ayat berikurt ini memverifikasi akan kebenaran itu:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۖ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ
Artinya: “Katakanlah: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan Aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu. (Q.S. Yunus: 108).



Artinya: “Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat al-Qur’an. Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya.” (Q.S. Ar-Ra’d: 1).

Kenyataannya, al-Qur’an menjadi rujukan dan referensi bagi sejumlah orang yang secara keimanan tidak terikat dengannya. Terdapat apresiasi dan pengakuan secara jujur akan kebenaran al-Qur’an oleh para ilmuan. Ini menjadi bukti bahwa kebenaran al-Qur’an tidak saja diperuntukan buat umat Islam, tetapi diterima juga oleh kalangan yang bukan Islam. Oleh karena itu tidak salah untuk menyimpulkan bahwa al-Qur’an berhak dengan niscaya untuk menjadi referensi kebenaran bagi semua kebenaran yang ada di dunia ini, termasuk kebenaran kitab-kitab suci yang lain.
Adapun mengenai kandungan isi al-Qur'an berbicara tentang aqidah, ibadah, akhlak, hukum, ilmu pengetahuan, sejarah dan segala aspek kehidupan meski hanya bersifat dasarnya saja.


Artinya: “… Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An-Nahl: 89).

Kelebihan lain dari kandungan isi al-Qur'an adalah sifatnya yang universal yaitu mampu mengadaptasikan nilainya dengan perkembangan sejarah umat manusia dimanapun berada. Hal ini karena al-Qur'an berasal dari Allah yang diperuntukkan kepada manusia yang juga berasal dari Allah. Manusia dan al-Qur'an berasal dari sumber yang satu, maka disitulah terdapat komunikasi fungsional yang sesuai. Maka wajar kalau al-Qur'an bila dipahami dan dimengerti secara benar tampak logis, proporsional dan manusiawi, karena memang al-Qur'an hadir untuk memanusiakan manusia. Al-Qur'an lahir untuk menjaga dan mengembalikan manusia sesuai dengan fitrahnya dan menjauhkannya dari kesesatan termasuk kesesatan atas nama agama yang dituntun oleh kitab suci yang telah diselewengkan. Al-Qur'an sengaja dijadwalkan kehadirannya oleh Allah sebagai kitab terakhir untuk menjadi terapi, pemberi penawar sekaligus mengoreksi dan meluruskan kitab-kitab suci yang diyakini telah diubah dan dicemari kebenaran dan kesuciannya. Al-Qur’an melakukan kritik dengan keras terhadap Al-Kitab yang mengalami intervensi cukup besar dari para pengikutnya.

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: Ini dari Allah”. (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 79).

Al-Qur'an, atas kebenaran yang dimilikinya telah mengajak semua pihak, terutama mereka yang belum mengenal benar dan masih meragukannya, untuk melakukan uji kelayakan dan membuat tandingan terhadapnya baik secara bahasa maupun isi. Di tengah tradisi masyarakat Arab yang cendikia dalam hal sastra, al-Qur'an membuka diri terhadap kritik sastra dan diujikan dengan produk-produk sastra tertinggi di masa itu. Suatu keberanian yang tentu saja sangat berdasar karena memang ia hasil dari fiman Tuhan yang tidak terbatas yang tidak mungkin tertandingi oleh manusia, makhluk serba terbatas. Adalah suatu kenyataan bahwa ajakan dan tantangan al-Qur'an tidak memperoleh lawan tanding, karena memang tidak mungkin ditandingi.

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Q.S. Al-Isra’: 88).

C. Menyoal Otentisitas Byble

C.1. Aspek Sejarah

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang berfungsi sebagai penyempurna dan sekaligus sebagai korektor terhadap perubahan pada kitab suci sebelumnya, akibat dari masuknya otoritas manusia ke dalam kesucian Al-Kitab. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an:

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (Q.S.Al-Baqarah:79)

Adalah sesuatu yang benar, baik secara historis maupun dalam pandangan iman seorang muslim bahwa Taurat dan Injil pernah ada dan diperankan oleh tokoh agama (Rasul) bernama Musa dan Isa. Keberadaan kedua tokoh agama ini beserta kitab sucinya adalah merupakan keniscayaan sejarah. Karena itu, Allah mewajibkan kepada Nabi Muhammad dan ummatnya yang notabene sebagai generasi berikutnya untuk mengimani apa yang telah menjadi kenyataan generasi sebelumnya. Akan tetapi keharusan iman kepada kitab-kitab itu tidak buta. Dengan arti kata keimanan itu tidak dengan serta merta mengabaikan berbagai faktor yang telah terjadi di dalam sejarah berkaitan dengan orisinal kitab-kitab itu. Bahkan Allah, melalui Al-Qur’an menghimbau umat Islam untuk bersikap kritis terhadap isi kitab-kitab tersebut setelah rentang sejarah yang begitu panjang.
Atas dasar inilah muncul beberapa kriteria yang harus diajukan sebagai standar untuk menilai kebenaran Al-Kitab sebagai kitab suci yang Allah haruskan kepada umat Islam untuk mengimani. Kriteria itu antara lain:
1. Bahwa kitab suci adalah wahyu yang murni datang dari Allah, dan tidak ada campur tangan ulah manusia setinggi apapun otoritasnya termasuk Nabi atau rasul. Tentu saja para rasul dan nabi maksum dari berbuat dusta dan salah. Oleh karena itu mustahil kitab suci itu berubah di dalam lisan para rasul dan nabi.

Artinya: “Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut kemampuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm:3-4).

Kalau kemudian ada beberapa kitab suci di dalam sejarah perkembangannya terjadi perubahan itu semata-mata dilakukan oleh generasi berikutnya terutama karena hilangnya kepercayaan dan adanya kepentingan subyektif yang seringkali diklaimnya sebagai kepentingan kebenaran yang obyektif. Keimanan mengajarkan bahwa tidak ada kepetingan obyektif melampui firman Tuhan. Singkatnya, kitab suci yang telah berubah dari aslinya tidak sepatutnya untuk disebut sebagai kitab suci lagi. Sebab obyektivitas Tuhan telah direduksi oleh nalar dan kepentingan subyektif.
2. Ditulis pada masa kitab suci itu turun atas perintah atau konfirmasi dari penerima wahyu. Atau paling tidak telah dihafal oleh orang yang hidup sezaman dan bergaul dengan penerima wahyu. Dan dalam pemindahan atau pembukuan kitab suci itu ada jaminan kesesuaian dengan aslinya. Kriteria ini memberi pemafhuman bahwa kitab suci yang ditulis oleh generasi yang tidak memiliki ketersambungan langsung dengan sumbernya, apalagi jika penulisannya tidak lagi diketahui secara jelas sejarahnya maka tidak saja diragukan, tapi harus ditolak klaimnya sebagai kitab suci.
3. Seorang penulis atau penghafal wahyu adalah orang yang secara moral dapat diterima oleh masyarakat pemeluk agama. Ada jaminan bahwa para penulis itu tidak berdusta, tidak ada interes pribadi di dalam menuliskannya, dan memiliki kemampuan dan kompeten dalam penulisan kitab tersebut.
4. Tertulis dalam bahasa asli dimana wahyu saat itu turun. Tarjamah ditolerir selama menyertakan aslinya. Sebab, proses transliterasi tidak mampu merepresantasi keseluruhan makna yang dikandung oleh bahasa aslinya. Dengan demikian bahasa asli adalah jaminan makna dan nilai yang terkandung di dalam sebuah kitab suci.
5. Tulisan kitab suci itu harus satu isi. Tidak ada perbedaan dan pertentangan satu dengan yang lain. Perbedaan menunjukkan adanya sesuatu yang salah di dalam kitab itu. Kandungan isi harus menjadi kesatuan nilai yang utuh tanpa kontradiksi sekecil apapun. Kitab suci itu konsisten sebagaimana Tuhan sebagai Penciptanya Yang Esa. Ke-Esaan Tuhan menghendaki adanya satu kesatuan yang utuh.
6. Kandungan isi harus sesuai dengan fakta, hukum sejarah dan kebutuhan manusia akan kebaikan sepanjang sejarah. Dalam arti kebenarannya bersifat universal yang tidak mengundang peluang untuk dilakukan kritik dan perubahan.

Kriteria minimal ini bisa kita jadikan alat untuk menganalisis apakah Al-Kitab itu otentik atau tidak. Sesuai dengan pengakuan Paulus bahwa ia melakukan komunikasi langsung dengan Nabi Isa setelah Nabi Isa tidak lagi ada di dunia. Bentuk komunikasi ini sulit diterima secara nalar. Bagaimana kita membangun logika komunikasi antara manusia seperti Paulus dengan Nabi Isa yang secara lahir keduanya tidak pernah bertemu. Struktur kebenaran macam apa yang bisa menjawab bahwa komunikasi itu bersifat riil dan nyata. Hal ini lebih menyangsingkan terutama bila kita melihat sikap dan penolakan yang dilakukan oleh Barnabas dan sahabat-sahabatnya yang notabene lebih memiliki otoritas dalam menyampaikan ajaran-ajaran Isa saat itu. Pola komunikasi Paulus dengan Nabi Isa yang sulit dirasionalisasi dan penolakan orang-orang yang lebih kompeten mengajarkan agama Isa terhadap Paulus menjadi suatu kesimpulan betapa sesungguhnya ajaran Paulus yang kemudian diabadikan dalam Al-Kitab itu tidak berhak untuk disebut kitab suci, apalagi disejajarkan dan dibandingkan dengan al-Qur'an. Maka sangat beralasan dan didukung dengan bebagai bukti kalau al-Qur'an sebagaimana disebutkan di atas mengatakan bahwa Al-Kitab bukan murni dari Allah, tetapi sebagian besar ditulis oleh orang-orang karena kepentingannya sendiri. Dalam kontek ini al-Qur'an mengatakan:

Artinya: “…Mereka merubah kalimat-kalimat dari tempatnya dan mereka melupakan sebagian besar dari (wahyu) yang dengannya mereka telah diperingatkan, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ma'idah: 13).
Dari proses penulisannya, Al-Kitab bukanlah ditulis di zaman Nabi Musa atau Isa dan bukan pula ditulis oleh orang yang pernah bertemu dan bergaul dengan kedua Nabi tersebut. St. Paul adalah peletak dasar penulisan Al-Kitab, dan ia tidak pernah bertemu dengan Isa. Karena tanpa pertemuan sulit kita bayangkan bahasa Allah melalui Isa dapat ditulis persis sebagaimana apa yang diucapkan Isa. Penyampaian melalui orang-seorang adalah sesuatu yang mustahil untuk terpelihara kata-katanya, apalagi yang setebal Al-Kitab. Kecuali saat itu telah terjadi tradisi menghafal, jaminan itu baru bisa diakui. Akan tetapi, belum pernah ditemukan sampai hari ini seseorang yang hafal Al-Kitab. Lalu apa jaminan kalau Al-Kitab itu adalah Injil dan Taurat yang asli. Pertanyaan ini bersiat retorik yang memberi kesimpulan akan ketidakasliannya.
Belum lagi banyak pertanyaan tentang St. Paul, khususnya oleh pengikut Nabi Isa pada zaman itu berkaitan dengan keimanan St. Paul. Apakah ia termasuk orang yang beriman kepada Isa secara benar mengingat dosa dan permusuhan yang kejam terhadap para pengikut Isa. Keberatan yang diajukan oleh para pengikut Isa atas Paulus seolah-olah memberi pembenaran atas keraguan imannya. Kontroversi ini adalah pertanda bahwa ia diragukan otoritas moralnya berkaitan dengan penulisan Al-Kitab. Kalau demikian, dari sisi mana umat Islam harus mengimani Al-Kitab sekarang, bila sejarah penulisan dan pelakunya diragukan oleh kalangan mereka sendiri yang notabene tidak kalah atau malah lebih tinggi kompetensinya untuk menuliskan Al-Kitab? Belum lagi kritik terhadap isi -yang akan menjadi kajian bab berikut dalam buku ini- yang tentu saja karena proses penulisannya tidak memenuhi kriteria sebagai kitab suci, maka isinya pun tidak akan mungkin terjamin.
Dilihat dari aspek isi yang akan menjadi fokus kajian dan analisis dalam buku ini akan kita temukan nanti bagaimana saling ketidaksesuaian dan kontradiksi satu ayat dengan ayat yang lain. Terbitan Al-Kitab satu dengan yang lain dalam periode yang berbeda sekaligus membawa perbedaan yang sangat signifikan. Pertanyaan yang paling sesuai barangkali adalah: masihkah terdapat isi Al-Kitab itu yang otentik? Apakah struktur Al-Kitab yang sarat keraguan menurut standar kitab suci mengikat iman umat Islam sebagaimana yang diwajibkan oleh kitab suci ? Sementara al-Qur'an sendiri telah dengan jelas mengkritiknya dan membongkar kelemahan-kelemahannya. Dari kritik al-Qur'an ini memberi kesimpulan bahwa Al-Kitab bukan lagi kitab suci yang utuh tetapi telah bercampur dengan berbagai bentuk kepentingan yang dalam mengimaninya hanya absah terhadap ayat-ayat yang sesuai dengan al-Qur'an.
Al-Qur’an dengan tegas menyuruh umat Islam untuk mengimani yang benar dan mengingkari yang salah dalam Al-Kitab. Artinya, begitu jelas bahwa masih tersisa yang benar di dalam Al-Kitab. Berapa besarnya, perlu ada penelitian khusus untuk itu. Tentu saja pembenaran untuk isi Al-Kitab berkaitan dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an perlu juga mendapatkan pengakuan. Demikian karena otentisitas Al-Qur’an sebagai kitab suci dapat diferivikasi secara historis maupun moral. Karena itu, dapat menjadi standar untuk menilai kitab-kitab lain.

C.2. Aspek Bahasa

Setiap ungkapan kata dan kalimat selalu menggunakan bahasa. Tidak ada kata dan kalimat yang terungkap tanpa bahasa. Bahasa terkait erat dengan budaya, sebab bahasa adalah anak kandung budaya. Memahami bahasa tidak bisa lepas dari budaya dimana bahasa itu dipakai. Tanpa kesadaran akan budaya bahasa tentu sulit dipahami. Pemahaman akan budaya membantu seseorang untuk mencapai makna yang tertuang dalam bahasa. Di sinilah problem peralihan bahasa akan dirasakan kesulitannya mengingat latarbelakang budaya yang berbeda. Meski bisa dilakukan penterjemahan bahasa satu ke dalam bahasa lainnya, akan tetapi ia tidak akan sepenuhnya dapat mewakili makna bahasa yang diterjemahkannya.
Al-Kitab semula menggunakan bahasa Ibrani purba kemudian ditarjamahkan ke bahasa Ibrani baru (Aram), lalu ke bahasa Yunani, kemudian ke bahasa Latin. Namun untuk kepentingan syi'ar Al-Kitab kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa yang ada di dunia. Proses tarjamah ini tidak serta merta mengikutkan bahasa aslinya yaitu bahasa Ibrani baik purba maupun Aram. Para pendeta dan agamawan Kristen tidak lagi, atau setidaknya kesulitan untuk menemukan Al-Kitab dalam bahasa aslinya. Yang mereka temukan adalah bahasa lokal. Satu sisi memberi kemudahan, tetapi di sisi lain tentu mereduksi makna yang sebenarnya. Sebaik apapun tarjamah, reduksi pasti terjadi. Lebih ironis lagi tarjamah ini kemudian menjadi Kitab suci yang ditafsir ulang. Tentu langkah ini semakin menjauhkan dari makna dan maksud yang diungkapkan oleh bahasa aslinya.

C.3. Aspek Perubahan

Umat Kristiani yakin bahwa Al-Kitab adalah kitab suci yang berasal dari Tuhan. Para penulisnya diyakini selalu mendapat bimbingan dari Roh Kudus, sehingga apa yang ditulisnya itu pasti benar. Ayat-ayatnya pun diyakini tidak mengalami perubahan, penambahan maupun pengurangan. Sebab Al-Kitab sendiri memberi jaminan akan hal itu, sebagaimana ungkapannya:
Aku kepada setiap yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: Jika seseorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Tuhan akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab nubuat ini. Dan jika seseorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Tuhan akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.(Wahyu 22:18-19).
Berbeda dengan al-Qur'an yang secara tegas dan didukung proses sejarah pemeliharaan, pengumpulan dan pembukuan memberi jaminan akan keaslian dan jauh dari intervensi manusia di dalamnya, maka ungkapan Al-Kitab sebagaimana di atas bukanlah suatu jaminan, tetapi lebih merupakan ancaman. Dalam bahasa kitab suci, munculnya pinalti atau hukuman ditujukan kepada suatu realitas yang telah atau akan terjadi. Jaminan di atas bukan kepada keutuhan Al-Kitab, sebaliknya lebih menunjukkan jaminan realitas bahwa Al-Kitab akan dirubah, maka perlu mendapatkan rambu-rambu dan tekanan melalui hukum Tuhan.
Melalui konsili Al-Kitab telah mengalami banyak perubahan. Hal ini sesuai dengan informasi yang diberikan al-Qur'an bahwa Al-Kitab sebagian itu benar dan sebagian yang mengalami penyimpangan.
Karena perubahan itu maka tanpa disadari telah menimbulkan sejumlah kontradisksi dalam kandungan Al-Kitab itu sendiri. Ayat satu dengan ayat yang lain bertentangan dan tidak konsisten. Diantara ayat yang kontradiksi itu terdapat dalam masalah khitan atau sunat. Di dalam Kitab Kejadian 17:10-12 Al-Kitab menyatakan: Inilah perjanjian-Ku yang harus kamu pegang, perjanjian antara aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki diantara kamu harus disunat; haruslah dikerut kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu.
Dalam ungkapan kitab kejadian di atas menegaskan akan kewajiban khitan sebagai perjanjian Ibrahim dan keturunannya, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa dengan Tuhan. Tetapi berbeda dengan yang ditemukan dalam ungkapan kitab korintus: Kalau seseorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan jika seseorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting adalah mentaati hukum-hukum Allah. (Korintus 7: 18-19).
Dalam redaksi korintus ini tidak menganggap sunat sebagai kewajiban bahkan tidak penting. Kedua redaksi Al-Kitab di atas jauh dari sama maksudnya, malah bertentangan satu dengan yang lain. Sunat hanya salah satu contoh saja dari kontradiksi isi Al-Kitab berkaitan dengan hukum. Kalau kita teliti lebih lanjut akan kita temukan banyak sekali kontradiksi-kontradiksi, tidak saja masalah hukum tetapi juga sejarah, moral bahkan teologi.
Disamping kontradiksi, sejumlah ayat dalam Al-Kitab menyebutkan banyak kisah yang sulit diterima kebenarannya oleh nalar dan moralitas agama. Sebagaimana dalam Kitab Kejadian 9:20-22 diungkapkan: (Nabi) Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. Maka Ham, bapa Kanaan itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar.
Kisah yang sama-sama sulit dipahami dengan kaca mata agama juga ditemukan dalam kitab kejadian 19: 30-36 yang berbunyi: Pergilah (Nabi) Lot (Luth) dari Zoar dan ia menetap bersama-sama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani tinggal di Zoar, maka diamlah ia dalam suatu gua beserta kedua anaknya. Kata kakaknya kepada adiknya: Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita. Pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, maka masuklah mereka yang lebih tua untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya tidak mengetahui kalau ayahnya itu tidur dan ketika ia bangun. Keesokan harinya berkatalah adiknya kepada adiknya: tadi malam aku telah tidur bersama ayah; baiklah malam ini juga kita beri dia minum anggur; masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita. Demikianlah juga pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih muda untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun. Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka.
Begitu juga ketika Al-Kitab dalam Samuel 11: 2-27 mengisahkan skandal seks nabi Daud dengan Batsyeba, istri anak buahnya sendiri. Kisah-kisah di atas sungguh jauh dapat dipahami oleh nalar agama yang memposisikan moralitas para nabi yang maksum dan menjadi cermin bagi umatnya. Bagaimana munkin Tuhan menghinakan nabi-nabinya melalui peristiwa-peristiwa hina itu, sementara mereka adalah agen Tuhan yang sengaja dikirim ke bumi sebagai inspirator peradaban. Ini mustahil terjadi kecuali diorientasikan sebagai fitnah. Sayangnya, itu masuk sebagai bagian dari kitab yang dianggap suci.
Hal di atas memberi ketegasan betapa telah terjadi perubahan terkait dengan isi Al-Kitab sehingga menimbulkan berbagai tambahan dan pengurangan yang membuka lahirnya kontradiksi-kontradiksi, bahkan fitnah. Karena itu menjadi urgen untuk diteliti dan dikoreksi, kemudian didialogkan kemungkinannya untuk diluruskan kembali agar tidak menyesatkan manusia.

C.4. Kontradiksi-Kontradiksi Dalam Byble

Diantara kontradiksi dalam Kitab Perjanjian Lama adalah tentang sejarah Nabi Daud dan Harun. Banyak sekali cerita Daud dan Harun dalam Kitab Perjanjian Lama yang kontradikstif satu dengan yang lain. Beberapa cerita kontradiktif dalam Kitab Perjanjian Lama itu antara lain cerita tentang anak Daud dalam II Samuel 3: 2-3 yang berbeda dengan cerita dalam I Tawarikh 3:1.

Di Hebron lahirlah bagi Daud anak-anak lelaki. Anak sulungnya ialah Amnon, dari Ahinoam, perempuan Yizreel; anaknya yang kedua ialah Kileab, dari Abigail, bekas isteri Nabal, orang Karmel (II Samuel 3: 2-3).

Sementara dalam I Tawarikh 3:1 disebutkan:

Inilah anak-anak Daud yang lahir bagi dia di Hebron; anak sulung ialah Amnon, dari Ahinoam, perempuan Yizreel; anak yang kedua ialah Daniel, dari Abigail, perempuan Karnel. (I Tawarikh 3:1).
Dalam II Samuel 3: 2-3 disebutkan bahwa anak kedua Daud adalah Kileab sedangkan di I Tawarikh 3:1 menyebutkan anak kedua Daud adalah Daniel.
Kontradiksi juga ditemukan mengenai sekretaris Daud. Satu pasal mengatakan bahwa sekertaris Daud bernama Seraya, pasal lain menuturkan sekertaris Daud adalah Sausa. Berikut ini dituturkan dalam Kitab Perjanjian Lama:

Demikianlah Daud telah memerintah atas selurug Israel, dan menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh bangsanya. Yaob, anak Zeruya, menjadi panglima; Yosafat bin Ahilud menjadi kendaraan negara; Zadok bin Ahitub dan Ahimelekh bin Abyatar menjadi imam; seraya menjadi panitera negara. (II Samuel 8: 15-17).

Bandingkan dengan pasal berikut ini:

Demikianlah Daud telah memerintah atas seluruh Israel, dan menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh bangsanya. Yaob, anak Yeruza, menjadi panglima; Yosafat bin Ahilud menjadi bendahara; Zadok bin Ahitub dan Ahimelekh bin Abyatar menjadi imam; Sausa menjadi panitera. (I Tawarikh 18: 14-16).

Demikian juga dalam kisah wafatnya Harun penulis telah temukan suatu perbedaan. Salah satu pasal meyebutkan Harun dikubur di Mosera, pasal yang lain menyebutkan bahwa Harun mati di gunung Hor. Berikut ini penuturan kedua pasal itu:

Maka orang Israel berangkat dari baerot Bene-yaakan ke Mosera; di sanalah Harun mati dan dikuburkan, lalu Eleazar, anaknya, menjadi imam menggantikan dia. (Ulangan 10:6)
Harun berumur seratus dua puluh tahun ketika ia mati di gunung Hor. (Bilangan 33:39).

Dalam kontradiksi-kontradiksi di atas mungkinkah dapat disatukan? Adakah kemungkinan bahwa anak kedua Daud memiliki dua nama yaitu Daniel dan Kileab? Bisakah dipahami bahwa sekretaris Daud itu dipanggil dengan dua sebutan yaitu Seraya dan Sausa? Dan mungkinkah juga tempat wafatnya Harun memiliki dua sebutan yaitu Mosera dan Gunung Hor? Kalau toh jawabannya adalah mungkin, mari kita perhatikan satu lagi kontradiksi mengenai jumlah tentara berkuda yang ditawan daud berikut ini.

Daud menawan dari padanya seribu tujuh ratus orang pasukan berkuda dan dua puluh ribu orang pasukan berjalan kaki, lalu Daud menyuruh memotong urat keting segala kuda kereta, tetapi dengan meninggalkan seratus ekor kuda kereta. (II Samuel 8:4).

Bandingkan dengan I Tawarikh 18:4 berikut ini:

Daud merebut dari padanya seribu kereta, tujuh ribu orang pasukan berkuda dan dua puluh ribu orang pasukan berjalan kaki, lalu daud menyuruh memotong urat keting segala kuda kereta, tetapi dengan meninggalkan seratus ekor kuda kereta. (I Tawarikh 18:4).

Yang pertama menyebutkan tawanan Daud itu berjumlah 1.700 orang dan yang kedua berjumlah 7000 orang. Apakah kedua jumlah tawanan dengan angka yang berbeda bahkan nterpaut sangat jauh sekali bisa dipahami sama? Tafsir manapun akan sulit memahami kesamaan jumlah angka itu. Ini sekaligus menegaskan bahwa kontradiksi-kontradiksi yang sebagian telah penulis sebutkan di atas adalah nyata, bukan sekedar perbedaan penyebutan. Kontradiksi-kontradiksi ini membuka peluang dan semangat para pengkaji Kitab Perjanjian Lama untuk melakukan penelitian dan mempertanyakan status keotentikannya sebagai kitab suci. Penemuan ini memberi kesimpulan sementara bahwa Kitab Perjanjian Lama itu bermasalah bila dikatagorikan seluruhnya sebagai kebenaran berstandar kitab suci. Lalu bagaimana kita bersikap terhadap Kitab Perjanjian Lama tersebut? Mengingat bahwa di dalam Kitab Perjanjian Lama sebagian terdapat kebenaran, sebagiannya lagi telah diintervensi oleh tangan-tangan manusia sehingga terjadi perubahan, malah pertentangan. Menemukan fakta seperti ini kita dituntut untuk bersikap kritis dan hati-hati, tidak menerima seluruhnya, tapi juga tidak menolak seluruhnya. Sikap ini telah diajarkan oleh al-Qur’an berikut ini:

Artinya: “Hai rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", Padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) Amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan Amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Q.S. Al-Maidah: 41).

Sikap hati-hati dan kritis adalah keniscayaan dalam menghadapi suatu keraguan terhadap Kitab Perjanjian Lama yang telah bercampur kandungan isinya dengan paham dan pikiran manusia. Kebenaran mutlak wahyu harus secara obyektif dicari sebelum menjadi jelas untuk kemudian diambil sebagai rujukan.
Tidak saja kita temukan kontradiksi-kontradiksi di dalam Kitab Perjanjian Lama, Kitab Perjanjian Baru juga memiliki nasib yang sama. Intervensi manusia hadir dan melakukan perubahan, bahkan pemalsuan di dalamnya. Kontradiksi-kontradiksi itu dapat kita temukan di banyak tempat diantaranya mengenai kelahiran Isa. Ada yang menyebutkan bahwa kelahiran Isa (Yesus) itu pada zaman Herodes, ada juga ditemukan kelahiran Isa (Yesus) itu pada zaman Kaisar Agustus. Berikut ini penuturan keduanya dalam Kitab Perjanjian Baru:

Sesudah Yesus dilahirkan di Bethlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem. (Matius 2:1).
Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia…Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. (Lukas 2:1-7).

Injil Matius menyebutkan bahwa Isa lahir pada zaman Herodes dan Injil Lukas menulis kelahiran Isa pada zaman Kaisar Agustus. Keduanya, yaitu Herodes dan Kaisar Agustus hidup dalam rentang waktu yang cukup jauh. Herodes hidup tahun 73/74 SM, sedangkan Kaisar Agustus memiliki sensus tentang kelahiran Isa tahun 7 M. Kontradiksi ini sangat serius tidak saja karena disebutkan dan menjadi bagian dari Injil, lebih dari itu kelahiran Isa merupakan titik sentral lahirnya suatu dogma keagamaan bagi agama Kristiani.
Selain kontradiksi menyangkut kelahiran, kontradiksi juga ditemukan di dalam Injil terkait dengan penangkapan, penyaliban dan kematian Isa. Berikut ini penulis sajikan kronologi proses penangkapan Isa sampai penyalibannya sebagaimana tertuang dalam Injil.
“Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdo’a, katanya: “Ya Bapaku, kalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini dari padaku, tetapi janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (Matius 14:36).
“Ya Bapaku, jikalau Engkau mau, ambilah cawan ini dari padaku; tetapi bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”. (Lukas 22:42).

Kedua ungkapan Injil Matius dan Lukas di atas, meski dengan perbedaan redaksi yang mencolok, secara substansi memiliki kesamaan cerita bahwa Isa berdo’a sebelum ditangkap oleh tentara Roma. Dalam do’a Isa pasrah atas keputusan dan kehendak Bapa. Otoritas takdirnya diserahkan sepenuhnya kepada Bapa. Coba bandingkan dengan ungkapan Injil Yohanes berikut ini:

“Sekarang jiwaku terharu dan apakah yang akan kukatakan? Bapa, selamatkanlah aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah aku datang ke dalam saat ini”. (Yohanes 12:27).
“Hatiku cemas; apa yang harus kukatakan sekarang? Haruskah aku mengatakan, Bapa, lupakanlah aku dari saat ini? Tetapi justru untuk mengalami saat penderitaan inilah aku datang”. (Yohanes 12:27; BISLAI 1985).

Kedua ungkapan dalam Injil Yohanes di atas Isa menegaskan takdirnya untuk datang mengambil resiko penderitaan tanpa berkonsultasi, berdo’a atau menyerahkan masalahnya kepada Bapa. Dengan rasa haru Isa seolah menemukan kesempatan yang tepat untuk menyambut penderitaan. Jika dibandingkan dengan ungkapan Injil Matius dan Lukas sebelumnya, maka apa yang disebutkan dalam Injil Yohanes ini jauh dari bersinerji. Lalu mana yang benar diantara keduanya? Hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih teliti lagi. Yang jelas tidak mungkin kedua-duanya benar. Malah sebaliknya, kedua-duanya ada kemungkinan untuk salah.
Kontradiksi juga ditemukan dalam kaitanya dengan penangkapan Isa. Berikut ini Injil menuturkan:

“Orang yang menyerahkan Yesus telah memberitahukan tanda ini kepada mereka:”orang yang akan kucium, itulah Yesus, tangkaplah dia.” Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi,” lalu mencium dia. Tetapi Yesus berkata kepadanya: ”Hai teman, untuk itukah engkau datang?” Maka majulah mereka memegang Yesus dan menangkapnya”.(Matius 26: 48-50).
“Waktu Yesus masih berbicara datanglah serombongan orang, sedang muridnya yang bernama Yudas, seorang dari kedua belas murid itu, berjalan di depan mereka. Yudas mendekati Yesus untuk menciumnya. Maka kata Yesus kepadanya: “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak manusia dengan ciuman?”.(Lukas 22: 47-48).

Dalam Injil Matius dan Lukas, keduanya menyebutkan bahwa sebelum peristiwa penangkapan Isa dicium lebih dahulu oleh Yudas, salah satu dari dua belas murid Isa. Ciuman ini dijadikan tanda bahwa orang itu adalah Isa yang sedang dicari dan akan ditangkap oleh tentara Romawi. Mari kita bandingkan dengan redaksi Injil lain berikut ini:

“Maka datanglah Yudas juga ke situ dengan sepasukan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan orang-orang Farisi lengkap dengan lentera, suluh dan senjata. Maka Yesus yang tahu semua yang akan menimpa dirinya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: “Siapakah yang kamu cari?” Jawab mereka:”Yesus dari Nazarett.” Katanya kepada mereka: “Akulah dia.” Yudas yang menghianati dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka. Ketika ia berkata kepada mereka: “Akulah dia,” mundurlah mereka dan jatuh ke tanah. Maka ia bertanya pula:”Siapakah yang kamu cari?” Kata mereka:”Yesus dari Nazaret.” Jawab Yesus:”Telah kukatakan kepadamu, akulah dia. Jika aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.” Demikian hendaknya supaya genaplah firman yang telah dikatakannya:”Dari mereka yang Engkau serahkan kepadaku, tidak seorangpun yang kubiarkan binasa. Lalu Simon Petrus, yang membawa pedang, menghunus pedang itu, menetakkannya kepada hamba Imam Besar dan memutuskan telinga kanannya. Nama hamba itu Malkhus. Kata Yesus kepada Petrus:”Sarungkan pedangmu itu; bukankah aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepadaku?” Maka pasukan prajurit serta perwiranya dan penjaga-penjaga yang disuruh orang Yahudi itu menangkap Yesus dan membelenggu dia.” (Yohanes 18: 3-12)

Injil Yohanes di atas menjelaskan bahwa penangkapan Isa telah ditunggu olehnya. Isa sudah siap untuk memenuhi penangkapan itu. Sedangkan Injil Matius dan Lukas lebih menonjolkan sisi penghianatan Yudas dengan adegan ciuman tersebut. Ini sungguh beda. Perbedaan ini sulit untuk dicari titik temunya. Satu peristiwa tapi beda versinya.
Kontradiksi selanjutnya ditemukan berkaitan dengan memikul salib. Berikut ini penuturannya dalam Injil:

“Sambil memikul salibnya ia (Yesus) pergi ke luar ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.”(Yohanes 19:17).
“Yesus keluar dengan memikul sendiri salibnya ke tempat yang bernama “Tempat Tengkorak (Di dalam bahasa Ibrani disebut Golgota)”. (Yohanes 19:17, BIS-LAI 1985).
Injil Yohanes di atas mengungkapkan bahwa setelah Isa ditangkap, Isa langsung disalib dan berjalan membawa salibnya ke Tempat Tengkorak atau Golgota. Coba bandingkan dengan ungkapan Injil lain berikut ini:
“Sesudah mengolok-olokkan dia, mereka menanggalkan jubah itu dari padanya dan mengenakan pula pakaiannya kepadanya. Kemudian mereka membawa dia ke luar untuk disalibkan. Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.” (Matius 27:31-32).
“Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.”(Markus 15:21).
“Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.”(Lukas 23:26).

Matius, markus dan Lukas menyebutkan dalam Injil mereka bahwa Isa tidak membawa salibnya sendiri, tetapi Simon, orang dari Kirenelah yang membawanya. Berbeda dengan apa yang diungkapkan dalam Injil Yohanes sebelumnya bahwa yang Isalah yang membawa salib itu.
Kontradiksi-kontradiksi dalam Injil masih banyak lagi untuk bisa ditemukan, tidak saja perbedaan redaksional, terlebih lagi adalah perbedaan secara substansial. Hal ini perlu kaijian lebih dalam. Dalam buka ini pengungkapan hanya bertujuan untuk mempertegas kesimpulan bahwa Al-Kitab adalah kitab suci yang sarat dengan problem internal sehingga sulit memenuhi kriteria sebagai kitab suci karena tidak memenuhi persyaratan otentisitas.

D. Penutup

Dari uraian di atas kita dapat memperoleh pemahaman bahwa Al-Kitab atau Byble yang ada sekarang ini yang sarat intervensi manusia, tidak memenuhi kriteria sebagai obyek iman umat Islam. Begitu banyak telah terjadi perubahan dari kitab aslinya yakni Taurat dan Injil. Perubahan inilah yang menggeser status nilai dari pedoman hidup menjadi obyek ilmiah yang secara bebas dibenarkan untuk melontarkan kritik, selama itu dilakukan dengan cara yang baik, sopan, adil dan obyektif. Meski demikian, tidak berarti seluruh isi Al-Kitab salah. Sisi benar dan baiknya dapat menjadi referensi keimanan dan menjadi bagian dari sebuah nasehat. Namun buku ini membatasi pada kajian Al-kitab yang oleh al-Qur'an dianggap keliru dan menyimpang serta tidak mendasar secara logika dan bertentangan dengan bukti-bukti historis. Sebagaimana secara cukup memadai dijelaskan di atas bahwa penyimpangan itu terkait masalah aqidah, syari'at dan sejarah. Dalam masalah-masalah yang jelas kekeliruannya menurut al-Qur'an tersebut menjadi daerah terlarang bagi umat Islam untuk mengimaninya dan berkewajiban untuk saling mengingatkan atas kebenaran dengan sebijak mungkin. Ini menjadi bagian dari tugas dakwah. Akan tetapi menjadi prinsip yang harus dipegang dalam Islam, betapapun kita tahu akan banyak kekeliruan di dalam Al-Kitab yang disertakan pada kita keharusan berdakwah, tidak dihalalkan bagi kita menghina dan membenci para pemeluk Kristiani, serta mencabut sikap toleran dalam hidup kita. Betapapun kita tidak menerima sebagian kandungan Al-Kitab sebagai kebenaran yang diimani, toleransi harus selalu ditawarkan sebagai bagian dari ukhuwah insaniyah. Islam adalah rahmat. Bagaimana rahmat ini dapat dirasakan oleh semua manusia dengan sikap toleran yang kita usung dan kita tawarkan kepada semua manusia tanpa merubah substansi keimanan yang kita miliki.

7 komentar:

Anonymous said...

kitab suci itu harus terbuka, harus tahan uji dan tahan kritik. karena kitab suci itu adalah kebenaran firman Tuhan. Tak perlu pedang ditangan untuk membela kebenaran. Karena kebenaran tdk perlu pembelaan. Hanya kebohongan yg perlu pembelaan, karena takut kebohongannya akan terbongkar. Alkitab telah teruji berabad abad. adakah kitab lain yg tahan ujian seperti alkitab?

Anonymous said...

kitab suci itu harus terbuka, harus tahan uji dan tahan kritik. karena kitab suci itu adalah kebenaran firman Tuhan. Tak perlu pedang ditangan untuk membela kebenaran. Karena kebenaran tdk perlu pembelaan. Hanya kebohongan yg perlu pembelaan, karena takut kebohongannya akan terbongkar. Alkitab telah teruji berabad abad. adakah kitab lain yg tahan ujian seperti alkitab?

Anonymous said...

kitab suci itu harus terbuka, harus tahan uji dan tahan kritik. karena kitab suci itu adalah kebenaran firman Tuhan. Tak perlu pedang ditangan untuk membela kebenaran. Karena kebenaran tdk perlu pembelaan. Hanya kebohongan yg perlu pembelaan, karena takut kebohongannya akan terbongkar. Alkitab telah teruji berabad abad. adakah kitab lain yg tahan ujian seperti alkitab?

Jefry said...

Kita patut bangga dengan Al Quran, selain asli, isinya pun mengandung kajian yang luar biasa dan dapat dibuktikan

Unknown said...

kita juga harus teliti juga .. apakah Al-Quran kita itu asli apa sudah berubah isinya .. kalau ternyata kitab Quran kita yg nglantur gimana?? jgn kitab suci orang agama lain saja yg kita soroti, mending kita berkaca pada diri sendiri.. janganlah kita membikin artikel yg membuat bangsa indonesia terpecah belah, mending kita buat artikel2 yg membuat agama2 di indonesia bersatu, krn negara itu terdiri dari berbagai suku dan agama, oke

ibnu arif said...

Setiap agama punya keyakinan tersendiri bahkan injilpun diakui dalam islam tapi yang masih asli sayangnya injil sudah mengalami perubahan dan dibuat oleh manusia sendiri. Saya bersyukur qur'an hanya ada satu. dan bagi mereka yang mengatakan qur'an ada lebih dari satu maka itu batil atau tidak bisa diterima oleh sebagian besar umat islam.

Anonymous said...

Anonymous said...
Dec 19, 2012, 2:30:00 AM
jancok asu said...
Jan 3, 2013, 1:13:00 AM
ibnu arif said...
Jan 9, 2013, 10:51:00 AM
=======
Sangat setuju dan memang haruslah seperti itulah kitab suci.... Terbukti lah juga bahwa kitab suci itu sesuai dengan isinya, seperti yang telah penulis blog ini kutipkan kata2 Al-Quran....
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan dalam al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu dan ajklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orng yang benar.” (Q.S. Al-Baqarah:23).
Hingga saat ini belum ada dan pasti tidak akan pernah ada yang bisa... terbukti Al-Quran dari zaman nabi Muhammad sampai sekarang, tetap dan tidak berubah tulusannya, meski hanya satu hurf pun...
Bukti menyangkut tentang Nabi yang diberi kekuatan ingatan sehingga tidak satu huruf pun ayat Al-Quran itu dihilangkan atau dipalsukan, samapi sekarang masih bisa dibuktikan dengan banyaknya "Penghafal Al-Quran" (subhanallah)... yang jika mereka dikumpulkan untuk membacakan hafalannya, maka tidak satupun diantara mereka yang beda hafalannya....meski satu huruf pun....
Sekarang, adakah penginjil yang mampu menghafal "kitab suci" sehingga dapat mengontrol ke aslian kitabnya? (maaf kita saling mencari kebenaran ya... bukan perselisihan...).
Pertanyaannya .... Tahan uji manakah yang dimaksud? Trus kitab suci yang mana yang masih tahan uji? Bukannya ada beberapa kitab dan berbeda2 isinya?
Mari kita berpikir dengan jernih, jangan dgn kekerasan hati... Penduduk surga pun (Iblis) bisa terusir dari surga, karena kekerasan hati dan kesombongan. Kekerasan hati bukan hanya menyengsarakan dirinya sendiri, tapi juga keluarga tercinta dan orang2 di sekitarnya.... Sebagaimana kesombongan dan kekerasan hati Iblis telah membuat Orang Tua kita (Nabi Adam as) ikut menanggung .... 'Audzubillahi minas syaithanirrajiim...
Sedemikian juga kekerasan hati tidak dibenarkan dalam Islam kecuali hanya memohon Ridho-Nya... Yahudi dan Kaum Nasrani adalah musuh Nabi, ketika mereka memusuhi, dan banyak diantara mereka yang menjalin silaturrahmi dengan Nabi dan tidak saling bermusuhan.... karena hidayah dari Allah hanya bisa diterima oleh orang2 yang memang mencari hidayah itu. Tidak ada paksaan seseorang bahkan nabi sekalipun, untuk mengikuti suatu kebenaran... Dan biarkan Allah saja yang memberi hukuman atas segala keingkarannya.
Nabi Muhammad pembawa kebenaran yang ditujukan untuk seluruh ummat.... tapi memang tidak seluruh ummat mau mengikutinya. Itu sudah tersurat dalam Nas Al-Quran.... Kita tidak bisa menghakimi mereka sebagai kafirun yang harus dimusuhi selagi mereka tidak memusuhi...Karena mereka adalah orang2 yang cerdas dalam berpikir, tetapi keras untuk menerima sesuatu yang "lembut dan suci" sehingga kelambutan akan sulit memasuki jiwanya yang keras.... Jadi sebaiknya "STOP PENGHAKIMAN" terhadap mereka yang ingkar.... Berikan nasihat (seperti artikel di atas). Lalu biarkan orang2 yang memang mencari kebenaran mencari kebenarannya sendiri, jika hatinya lembut... dan mendapat hidayah dari pencipta kehidaupannya..... Dan biarkan Allah saja yang menghakimi bagi yang ingkar....

Terima Kasih Bapak Ahmad Fatoni, MA, atas kajiannya.... Semoga Allah mencatatnya sebagai ibadah "amar ma'ruf nahi munkar" ... Aammiin.....

Thalib Ilman

Post a Comment

 
oleh Ahadan blog | Bloggerized by Ahadan | ahdan