Diterjemah dari Kitab Mafahim (Sayyid Muhammad )
Di antara para da’i, selalu saja ada yang mengaku sebagai bagian dan generasi terbaik Islam (al-Salaf al-Shalih). Maka mereka pun mengajak manusia kepada aliran salaf dalam kebodohan, fanatisme, dan dengan akal yang mandul dan pemikiran yang sempit. Mereka lantas memerangi setiap yang baru dan mengingkari semua ciptaan baru yang berfaedah dengan dalil bahwa yang demikian itu adalah bid’ah.
Bagi mereka, semua bid’ah adalah sesat. Padahal ruh Syariat Islam mewajibkan kita untuk membedakan macam-macam bid’ah.
Menurut pendapat kami, bid’ah ada yang. baik (Bid’ah Hasanah) dan ada yang buruk (Bid’ah Sayy’iah). Inilah pandangan yang sesuai bagi akal yang cerdas dan nalar yang tajam.
Ini pula yang ditetapkan Ulama Ushul dad golongan salaf seperti Imam Izz bin Abdus Salam, Nawawy, Sayuthi, Mahally dan Ibnu Hajar.
Berbagai hadits Nabi, memang saling menafsirkan dan menyempurnakan satu sama lainnya, sehingga perlu dilihat secara bersama-sama dengan sempurna. Hadits-hadits itu juga perlu ditafsirkan dengan ruh syariat Islam dan dengan pengertian yang telah disepakati oleh para ahli. Oleh karena itu, kita sering menjumpai hadits-hadits yang untuk dapat menafsirkannya dituntut akal yang cerdas, pikiran yang tajam, paham yang layak, hati yang peka yang bersandar kepada Syariah yang mulia, serta memperhatikan hal ihwal ummat dan kebutuhannya, mengikuti batas-batas qaidah syariah, nash-nash Qur’an maupun hadits, yang tidak dapat diabaikannya. Mari kita ambil contoh sebuah hadits (artinya): ‘Tiap-tiap bid’ah itu sesat” (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, al-Darimi, dan Ahmad)
Dalam hal ini, haruslah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits di atas adalah bid’ah yang buruk (bid’ah Sayyi’ah), yang memang tidak tercakup dalam prinsip-prinsip agama.
Bid’ah, secara harfiah berarti sesuatu yang baru, tidak ada contoh sebelumnya. Menurut istilah, bid’ah adalah sesuatu yang tidak dilakukan atau tidak diajarkan oleh Rasulullah, khususnya dalam soal ibadah. Menurut ulama Ushul, bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Dengan demikian, tidak semua bid’ah buruk, tetapi banyak pula bid’ah yang baik. Dalam literatur Barat, kata inovation atau heresy sering digunakan sebagai terjernahan kata bid ‘ah(Ed.).
Pembatasan (taqyid) ini (tidak semua bid’ah buruk) dapat dipahami dan diambil dan berbagai hadits lain, seperti hadits berikut (artinya);
1. “Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid itu”
Hadits ini, meskipun telah mengandung arti hashr, artinya menetapkan keabsahan shalat hanya di mesjid, namun ada banyak hadits lain yang umum telah memberi arti taqyid terhadap hadits tersebut, artinya membatasi kemutlakannya. Dengan demikian hadits itu kemudian berarti, “Tidak sempurna (bukan tidak sah) shalat di tetangga (bangunan di luar) masjid.
2. “Tidak ada shalat di hadapan makanan.”
Menurut ulama: “Tidak sempurna shalat di muka makanan….” Hadits senada yang lengkap adalah sebagai berikut (artinya): “Janganlah melakukan shalat pada saat makanan sudah tersedia dan jangan pula memulai shalat dalam keadaan menahan kencing dan buang air.” (HR. Ibnu Hibban)
3. “Tidak beriman seorang di antaramu sehina ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, Al Darimi, dan Ahmad)
Mereka (para ulama) berkata: “ ……tidak sempurna iman.”
4. “Tidak masuk sorga orang yang suka berdusta “
“Tidak masuk sorga orang yang nemutuskan tali persaudaraan.”
“Tidak masuk sorga orang durhaka kepada kedua orang tuanya.”
Maka menurut para ulama: “Tidak akan masuk” di sini, maksudnya tidak masuk sebagai orang pertama ke dalam sorga, atau dia tidak akan masuk jika menilai bahwa perbuatan itu halal.
Pendeknya, para ulama tidak memahami hadits-hadits itu secara tekstual (lahiriyah), tetapi mereka memberi interpretasi dengan berbagai takwil. Oleh sebab itu, hadits tentang bid’ah sama halnya dengan contoh-contoh hadits di atas, dimana kebiasaan atau umumnya hadits-hadits tersebut dan hal ihwal para Sahabat, memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut ialah bid’ah yang buruk (bid’ah sayyi’ah), yang memang tidak tercakup dalam prinsip yang umum (kully).
Dalam sebuab hadits disebutkan (artinya): “Barangsiapa yang mencontohkan sunnah hasanah maka baginya pahala dan pahala orang yang mengetahui sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Al Darimi)
Al Hadits (artinya): “Hendaklah kamu mengikuti nfl sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin.”(HR. Al Darimi, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, dan Ahmad)
Umar berkata tentang shalat tarawih (artinya): “Inilah bid’ah yang paling baik.” (HR. Bukhari)
Demikianlah, wabillahit taufiq.
Bagi mereka, semua bid’ah adalah sesat. Padahal ruh Syariat Islam mewajibkan kita untuk membedakan macam-macam bid’ah.
Menurut pendapat kami, bid’ah ada yang. baik (Bid’ah Hasanah) dan ada yang buruk (Bid’ah Sayy’iah). Inilah pandangan yang sesuai bagi akal yang cerdas dan nalar yang tajam.
Ini pula yang ditetapkan Ulama Ushul dad golongan salaf seperti Imam Izz bin Abdus Salam, Nawawy, Sayuthi, Mahally dan Ibnu Hajar.
Berbagai hadits Nabi, memang saling menafsirkan dan menyempurnakan satu sama lainnya, sehingga perlu dilihat secara bersama-sama dengan sempurna. Hadits-hadits itu juga perlu ditafsirkan dengan ruh syariat Islam dan dengan pengertian yang telah disepakati oleh para ahli. Oleh karena itu, kita sering menjumpai hadits-hadits yang untuk dapat menafsirkannya dituntut akal yang cerdas, pikiran yang tajam, paham yang layak, hati yang peka yang bersandar kepada Syariah yang mulia, serta memperhatikan hal ihwal ummat dan kebutuhannya, mengikuti batas-batas qaidah syariah, nash-nash Qur’an maupun hadits, yang tidak dapat diabaikannya. Mari kita ambil contoh sebuah hadits (artinya): ‘Tiap-tiap bid’ah itu sesat” (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, al-Darimi, dan Ahmad)
Dalam hal ini, haruslah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits di atas adalah bid’ah yang buruk (bid’ah Sayyi’ah), yang memang tidak tercakup dalam prinsip-prinsip agama.
Bid’ah, secara harfiah berarti sesuatu yang baru, tidak ada contoh sebelumnya. Menurut istilah, bid’ah adalah sesuatu yang tidak dilakukan atau tidak diajarkan oleh Rasulullah, khususnya dalam soal ibadah. Menurut ulama Ushul, bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Dengan demikian, tidak semua bid’ah buruk, tetapi banyak pula bid’ah yang baik. Dalam literatur Barat, kata inovation atau heresy sering digunakan sebagai terjernahan kata bid ‘ah(Ed.).
Pembatasan (taqyid) ini (tidak semua bid’ah buruk) dapat dipahami dan diambil dan berbagai hadits lain, seperti hadits berikut (artinya);
1. “Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid itu”
Hadits ini, meskipun telah mengandung arti hashr, artinya menetapkan keabsahan shalat hanya di mesjid, namun ada banyak hadits lain yang umum telah memberi arti taqyid terhadap hadits tersebut, artinya membatasi kemutlakannya. Dengan demikian hadits itu kemudian berarti, “Tidak sempurna (bukan tidak sah) shalat di tetangga (bangunan di luar) masjid.
2. “Tidak ada shalat di hadapan makanan.”
Menurut ulama: “Tidak sempurna shalat di muka makanan….” Hadits senada yang lengkap adalah sebagai berikut (artinya): “Janganlah melakukan shalat pada saat makanan sudah tersedia dan jangan pula memulai shalat dalam keadaan menahan kencing dan buang air.” (HR. Ibnu Hibban)
3. “Tidak beriman seorang di antaramu sehina ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, Al Darimi, dan Ahmad)
Mereka (para ulama) berkata: “ ……tidak sempurna iman.”
4. “Tidak masuk sorga orang yang suka berdusta “
“Tidak masuk sorga orang yang nemutuskan tali persaudaraan.”
“Tidak masuk sorga orang durhaka kepada kedua orang tuanya.”
Maka menurut para ulama: “Tidak akan masuk” di sini, maksudnya tidak masuk sebagai orang pertama ke dalam sorga, atau dia tidak akan masuk jika menilai bahwa perbuatan itu halal.
Pendeknya, para ulama tidak memahami hadits-hadits itu secara tekstual (lahiriyah), tetapi mereka memberi interpretasi dengan berbagai takwil. Oleh sebab itu, hadits tentang bid’ah sama halnya dengan contoh-contoh hadits di atas, dimana kebiasaan atau umumnya hadits-hadits tersebut dan hal ihwal para Sahabat, memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut ialah bid’ah yang buruk (bid’ah sayyi’ah), yang memang tidak tercakup dalam prinsip yang umum (kully).
Dalam sebuab hadits disebutkan (artinya): “Barangsiapa yang mencontohkan sunnah hasanah maka baginya pahala dan pahala orang yang mengetahui sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Al Darimi)
Al Hadits (artinya): “Hendaklah kamu mengikuti nfl sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin.”(HR. Al Darimi, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, dan Ahmad)
Umar berkata tentang shalat tarawih (artinya): “Inilah bid’ah yang paling baik.” (HR. Bukhari)
Demikianlah, wabillahit taufiq.
0 komentar:
Post a Comment