DI AMBIL DARI SALAH SATU BUKU KARANGAN H. M. NAJIH MZ
Klik Disini Untuk Membeli Buku |
|
Pada hakikatnya, Ahlussunnah bukanlah merupakan suatu agama bagi aliran tertentu dari ahlul kalam. Namun, karena muncul berbagai masalah yang jadi perselisihan ahlul qiblat (Umat Islam) sehingga menjadi beberapa kelompok(firqoh). Padahal sebelumnya mereka semua tunduk pada dasar-dasar agama (tidak membahas atau mempermasalahkannay). Maka, Ahlussunnah (secara global) ada dua golongan, dan keduanya benar, ‘alal haq.
Sebagian kelompok adalah tetap eksis terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shohihah, yang dikukuhi oleh para Sahabat dan tabi’in. tatkala pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan, dan cara berpikir mulai bercabang-cabang, kelopok ini memilih untuk tetap berpedoman pada dhohir-nya al-Qur’an dan as-Sunnah, setia dengan aqidah-aqidah para pendahulunya (Sahabat dan tabi’in) tanpa mempertimbangkan sedikitpun logis maupun tidaknya. Sehingga apabila mereka berbicara menggunakan logika murni, itu hanya untuk menolak pendapat musuh, mengalahkan atau sekedar menambah kemantapan, tidak untuk menggali atau mencetak aqidah darinya. Mereka adalah Ahlussunnah.
Kelompok kedua terpaksa menggunakan logika murni untuk men-ta’wil (mengalihkan dlohir-nya) nash dari arti asli lughawi-nya yang dalam anggapan mereka bertentangan dengan akal. Maka, mereka memberi pentakwilan yang masuk akal (serta tidak bertentangan dengan undang-undang Syara’ dan tata bahasa Arab) untuk sekedar men-tahqiq-kan pengertian nash-nash tersebut dan penjelasannya pada kaum awam / ajam yang pada mulanya mereka adalah penyembah berhala (mujassim).1)
Jadi, Ahlussunnah ada dua kelompok, yaitu salaf (ahlul hadits) dan kholaf (ahlul kalam sunni). Dan mereka adalah:
Pada dasarnya, “Ahlussunnah salaf” maupun “Ahlussunnah kholaf” adalah sama. Hanya saja kalau salaf enggan men-ta’wil (al-Qur’an/al-Hadits) yang sulit diterima akal, sedangkan kholaf, karena perubahan zaman dan timbulnya berbagai pemikiran sesat serta “penta’wilan” yang bukan-bukan, maka mereka menta’wil dan memberi arti logis yang tidak bertentangan dengan qowanin syar’iyyah dan lughowiyyah demi memberi penjelasan pada orang awam yang sulit menerima ayat tersebut atau menolak faham bid’ah.
Jadi, kelompok ini adalah sama aqidahnya, namun berbeda sikap dalam menghadapi nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah SWT, yang seakan-akan menyiratkan adanya tasyabbuh (keserupaan Allah dengan makhluk-Nya). Kelompok pertama (ahlul hadits) bersikap diam dan tidak menafsirkannya, sedangkan yang kedua bersikap menafsiri dengan tafsiran yang jauh dari pen-tasybih-an.
Mengapa sampai para ahli hadits berpegang teguh pada lahiriahnya dalil nash, adalah karena merebaknya pemikiran-pemikiran bid’ah Mu’tazilah yang cenderung menafikan nash-nash mutasyabihat/men-ta’wil-kan sifat-sifat Allah SWT. Maka, manakala salafussholeh ahlul hadits melihat kiprah Mu’tazilah dengan pemikiran-pemikiran bid’ahnya “menafikan sifat-sifat Allah” yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW yang telah dikenal oleh para al-aimmatu al-Rasidin (imam-imam yang benar), dan mereka (Mu’tazilah) dibantu oleh jama’ah khalifah Bani Abbas dalam masalah penafian sifat dan khalqul Qur’an, maka para ahli hadits dalam menetapkan madzhab Ahlussunnah yang berkaitan dengan mutasyabihat-nya ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW memilih jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, semisal Imam Malik bin Anas. Slogan mereka adalah:
Sebagian kelompok adalah tetap eksis terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shohihah, yang dikukuhi oleh para Sahabat dan tabi’in. tatkala pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan, dan cara berpikir mulai bercabang-cabang, kelopok ini memilih untuk tetap berpedoman pada dhohir-nya al-Qur’an dan as-Sunnah, setia dengan aqidah-aqidah para pendahulunya (Sahabat dan tabi’in) tanpa mempertimbangkan sedikitpun logis maupun tidaknya. Sehingga apabila mereka berbicara menggunakan logika murni, itu hanya untuk menolak pendapat musuh, mengalahkan atau sekedar menambah kemantapan, tidak untuk menggali atau mencetak aqidah darinya. Mereka adalah Ahlussunnah.
Kelompok kedua terpaksa menggunakan logika murni untuk men-ta’wil (mengalihkan dlohir-nya) nash dari arti asli lughawi-nya yang dalam anggapan mereka bertentangan dengan akal. Maka, mereka memberi pentakwilan yang masuk akal (serta tidak bertentangan dengan undang-undang Syara’ dan tata bahasa Arab) untuk sekedar men-tahqiq-kan pengertian nash-nash tersebut dan penjelasannya pada kaum awam / ajam yang pada mulanya mereka adalah penyembah berhala (mujassim).1)
Jadi, Ahlussunnah ada dua kelompok, yaitu salaf (ahlul hadits) dan kholaf (ahlul kalam sunni). Dan mereka adalah:
الذين تمسكوا في العقيدة والشريعة والسلوك الإجتماعي بما دلت عليه نصوص الكتاب والسنة المشهورة وبما جرى عليه جمهور الصحابة والتابعين وأخذوا بما أثبتته الأدلة العقلية ما لم يتعارض مع القواعد الشرعية لإلزام الخصوم والرد عليهم أو لزيادة الطمأنينة لا لاستفادة العقائد منها
Pada dasarnya, “Ahlussunnah salaf” maupun “Ahlussunnah kholaf” adalah sama. Hanya saja kalau salaf enggan men-ta’wil (al-Qur’an/al-Hadits) yang sulit diterima akal, sedangkan kholaf, karena perubahan zaman dan timbulnya berbagai pemikiran sesat serta “penta’wilan” yang bukan-bukan, maka mereka menta’wil dan memberi arti logis yang tidak bertentangan dengan qowanin syar’iyyah dan lughowiyyah demi memberi penjelasan pada orang awam yang sulit menerima ayat tersebut atau menolak faham bid’ah.
Jadi, kelompok ini adalah sama aqidahnya, namun berbeda sikap dalam menghadapi nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah SWT, yang seakan-akan menyiratkan adanya tasyabbuh (keserupaan Allah dengan makhluk-Nya). Kelompok pertama (ahlul hadits) bersikap diam dan tidak menafsirkannya, sedangkan yang kedua bersikap menafsiri dengan tafsiran yang jauh dari pen-tasybih-an.
Mengapa sampai para ahli hadits berpegang teguh pada lahiriahnya dalil nash, adalah karena merebaknya pemikiran-pemikiran bid’ah Mu’tazilah yang cenderung menafikan nash-nash mutasyabihat/men-ta’wil-kan sifat-sifat Allah SWT. Maka, manakala salafussholeh ahlul hadits melihat kiprah Mu’tazilah dengan pemikiran-pemikiran bid’ahnya “menafikan sifat-sifat Allah” yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW yang telah dikenal oleh para al-aimmatu al-Rasidin (imam-imam yang benar), dan mereka (Mu’tazilah) dibantu oleh jama’ah khalifah Bani Abbas dalam masalah penafian sifat dan khalqul Qur’an, maka para ahli hadits dalam menetapkan madzhab Ahlussunnah yang berkaitan dengan mutasyabihat-nya ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW memilih jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, semisal Imam Malik bin Anas. Slogan mereka adalah:
نؤمن بما ورد به الكتاب والسنة ولا نتعرض للتأويل، بعد أن نعلم قطعا أن اللـه عز وجل لا يشبه شيئا من المخلوقات، وأن كل ما تمثل في الوهم فإنه خالقه مقدره
Sehingga, karena ketinggian disiplin mereka, maka dengan tegas mereka menyatakan: “siapapun yang menggerakkan tangannya tatkala membaca ayat kholaqtu biyadii atau mengisyaratkan telunjuknya pada saat meriwayatkan hadits qolbul mu’miniina baina usbu’aini min ashobi-ir rohman, maka harus diputus tangannya dan dicabut telunjuknya”.2)
Setiap orang berpengetahuan pasti tahu bahwa ahlul hadits lebih mengenal berbagai perilaku, biografi para rawi dan hadits-hadits Rasulullah SAW dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana ahli nahwu lebih mengenal seluk beluk Imam Sibawaih dan Kholil yang tidak diketahui oleh orang lain. Ini harus diakui, namun, para ahli bid’ah yang menafikan sifat-sifat Allah SWT telah menjadikan ayat “laisa kamitslihi syai-un” sebagai senjata untuk menolak hadits-hadits shahih. Setiap didatangkan hadits yang kontra dengan rasio dan logika filsafatnya, mereka selalu menolak dengan “laisa kamitslihi syai-un”, inilah suatu cerminan atas kesesatan mereka dan tipu dayanya pada orang-orang awam yang lebih buta hatinya dari mereka serta merubah makna ayat-ayat al-Qur’an.
Mereka memahami hadits-hadits sifat dengan suatu pemahaman yang tak dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya serta para aimmatul Islam. Anggapannya, hadits-hadits tersebut hanyalah akan menetapkan tasybih. Kemudian untuk menolak hadits tersebut, digunakan ayat “laisa kamitslihi syai-un”. Inilah suatu perubahan dua Nash sekaligus. Seterusnya, mereka mengarang berbagai kitab yang dipenuhi pemikiran-pemikiran bid’ah. Katanya: “Inilah aqidah-aqidah agama Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk diyakininya serta datang dari-Nya”. Mereka juga sering membaca al-Qur’an dan men-tafwidl-kan maknanya pada Allah SWT tanpa meresapi arti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dan menegaskan bahwa itulah arti yang dikehendaki Allah SWT.3)
Belum cukup kebiadapan mereka mengartikan al-Qur’an sekehendaknya sendiri tanpa mencari petunjuk dari sunnah Rasulullah SAW, masih ditambah pembantaian para ulama yang tidak sealiran dengannya. Para penguasa Bani Umayyah yang telah termakan rekayasa kotor mereka, dimanfaatkan untuk menyingkirkan ulama-ulama Ahlus sunnah. Yaitu suatu fitnah besar yang merupakan warna kelabu bagi catatan sejarah umat Islam akibat slogan “khalqul qur’an” yang dipropagandakan mereka.4)
Melihat bid’ah yang besar itu, Imam Ahmad bangkit dan berjuang dengan gigih mempertahankan sunnah Rasulullah SAW. walaupun beliau masuk penjara selama dua puluh delapan bulan, terbelenggu kedua kakinya, disekap dalam ruangan yang pengap tanpa ada setitik cahaya sedikitpun, berbagai perlakuan kasar dan pukulan menghantam dirinya hingga darah bercucuran, tubuh bengkak-bengkak dan kulit mengelupas, beliau tetap konsekwen dan tegas mengatakan: “al-Qur’an kalamullah adalah Qadim, tidak makhluk. Siapapun yang mengatakan al-Qur’an makhluk, maka dia adalah kafir”.5)
Ketegangan dan kegigihan Imam Ahmad ini, tak lain adalah demi mempertahankan ajaran Rasulullah SAW dari tangan-tangan sesat kaum Mu’tazilah yang telah keblinger mengobarkan “ghiroh keagamaan” pada saat ini. Dimana dunia telah menghadapi suatu bencana besar, yakni penghancuran aqidah yang telah dihembuskan oleh orang-orang Syi’ah. Dengan bangkitnya revolusi Syi’ah Iran yang dipelopori oleh Khomeini, Islam dalam bahaya besar, dan kehancuran diambang pintu. Karena gantinya, ditebarkan aliran-aliran sesat ”berhalaisme” atau “jahiliyyah modern”. Syi’ah dengan bekerja sama dan dibantu oleh Yahudi, Nasrani, kebatinan, kafir zindiq dan kaum atheis, bertujuan hendak meruntuhkan Islam.6)
Kalau umat Islam tidak bangkit, khususnya bangsa Indonesia, bagaimana nanti nasib generasi selanjutnya?, Apakah mereka tetap bisa berpegang pada ajaran Rasulullah SAW?, Bagaimana bentuk bangsa Insonesia ini bila telah di-Syi’ah-kan?, Masihkah ada orang yang menghormati Sahabat?, Akankah al-Qur’an terselematkan?, Bukankah perzinaan semakin merajalela dengan praktek muth’ah?.
Untuk itu, demi mengaca pada perjuangan Imam Ahmad, marilah kita bertekad untuk melawan Syi’ah. Semua pejabat dan rakyat harus bersatu padu membela ajaran Rasulullah SAW dan mempertahankan al-Qur’an kalamullah.
3 komentar:
insya alloh.. semoga kita diberi kekuatan agar menjaga apa yg telah di wariskan Nabi Muhammad SAW kepada kita, umat-Nya ...Amien..
amin ya roobal 'alamin.
amin ya roobal 'alamin.
Post a Comment