Measih bisa diketengahkan sejumlah besar riwayat-riwayat kitab Ushul Al-Kafi (hal. 271) kitab tershahih versi Syi’ah, yang memuat sumpah para imam atas terjadinya tahrif dalam ayat-ayat Al-Quran. Cobalah perhatikan satu riwayat tentang tahrif Al-Quran: Dari Hisyam bin Salim, dari Abi Abdillah AS, dia berkata: “Sesungguhnya Al-Quran yang turun dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad berjumlah 17.000 ayat”.
Jumlah ayat Al-Quran yang sekarang berada ditangan kaum muslimin sedikit diatas 6.000 ayat. Menurut catatan pengarang-pengarang Syi’ah, tidak sampai mencapai 6.500 ayat. Namun menurut pernyataan Al-Imam Ja’far, jumlah ayat Al-Quran mencapai 17.000 ayat. Maksud riwayat ini adalah bahwa para sahabat yang menghimpun Al-Quran telah mencapakkan dua pertiga Al-Qu’an.
Riwayat ini telah dikomentari oleh pen-syarah. Ushul al-Kafi, al-Allamah al-Qazwini sebagai berikut: “maksud Al-Imam Ja’far melontarkan pernyataan tersebut adalah bahwa dari al-Quran yang asli telah dibuang banyak sekali ayat yang tidak terdapat dalam naskah-naskah al-Quran yang populer”.
Kami sajikan lima riwayat diatas dengan meniru beberapa contoh dari Ushul al-Kafi. Bila bukan karena hal ini. bukanlah hal yang mustahil untuk memaparkan sejumlah besar riwayat-riwayat tahrif. Kini kami akan mengetengahkan beberapa riwayat lain yang bersumber dari sebagian kitab-kitab mu’tamad versi Syi’ah yang lain, yang menyatakan dengan gamblang atas terjadinya tahrif dalam al-Quran.
Dikutip dari Tafsir as-Shofi juz I hlm. 11 dari Tafsir al-‘Ayyasyi, kitab tafsir klasik dan mu’tamsd versi syi’ah, kutipan pernyataan al-Imam al-Baqir. “Seandainya tidak ada penambahan dan pengurangan dalam al-Qura’an, niscaya tidak akan kabur hak kita hak kita dimata orang yang berakal”. Masih dalam halaman yang sama Tafsir al-ayyasyi terdapat terdapat petikan imam ja’far: “Seandainya al-Quran di bacasesuai dengan kondisi ketika diturunkan,niscaya engkau akan menjumpai nam-nama kami(para imam)di dalamnya.”
Ahmad bin Ali bin Abi Thalib at-Tabrasi, muhaddis dan syi’ah abad V. menyebutkan sebuah riwayat dalam kitab al-Ittihad-nya, kitab mu’tamad versi syi’ah sebagai berikut: ”Tersebutlah seorang zindiq yang menyeang Sayyidina Ali dengan beberapa gugatan yang seluruhnya dapat dijawab beliau. Salah satu gugatan yang diajukan adalah ayat nomor tiga dari surat an-Nisa’:
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء [النساء:3]
Yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya)maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…”adalah jumlah syarthiyyah sesuai dengan tata bahasa arab,tetapi mengapa tidak ditemukan pertautan antara syarat dengan jaza’daalam ayat ini?
“jawabannya telah saya kemukakan sebelumnya,yaitu pembuangan yang dilakukan orang-orang munafik dari al-Quran dan pembuangan yang terdapat antara kalimat ”fil yatama”dan kalimat “fankihumaa thoba lakum minan nisa’ “ yang terdiri dari perintah-perintah dan kisah-kisah yang jumlahnya melebihi dua pertiga al-Quran”, jawab sayyidina Ali.1)
dalam riwayat yang tercantum dalam kitab al-Ihtijaj tersebut, juga disebutkan bahwa Amirul Mu’minin Ali AS. menjawab sebagian serangan zindiq tapi dengan jawaban yang telah disebutkan di atas (tahrif) yang tidak perlu disebutkan di sini.
Sampai di sini saya akhiri mata rantai riwayat-riwayat para imam ma’shum (versi Syi’ah) dalam persoalan tahrif. Sebelumnya saya telah menyebutkan bahwa tokoh-tokoh besar muhaddits dan mujtahid mereka (Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah) mengklaim bahwa terdapat lebih dari 2000 riwayat dari para imam ma’shum yang menunjukkan terjadinya tahrif dalam al-Quran dengan berbagai macam bentuk tahrif.
Dan kini kami akan menyebutkan beberapa pernyataan sebagian tokoh-tokoh besar ulama Syi’ah yang dianggap sebagai hujjah (sanad) bagi madzhab mereka (Syi’ah). Salah satunya adalah muhaddits dan faqih besar mereka; as-Syaikh Ni’matullah al-Musawy al-Jaza’iri yang berbicara dengan rinci dalam kitab al-Anwar-nya mengenai persoalan tahrif serta menjelaskan di dalamnya dengan teramat terang dan gamblang mengenai aqidah Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah tentang al-Quran al-Kariim yang sekarang berada di tangan kaum muslimin.
Sesungguhnya Qiraat al-Quran as-Sab’ah (tujuh macam bacaan al-Quran) merupakan qiroah yang mutawatir menurut seluruh kaum muslimin (di luar Syi’ah). Ke-mutawatir-an tersebut merupakan prinsip aqidah kaum muslimin; bahwasanya al-Quran ini (yang ada sekarang) adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah dan ditransfer dari beliau oleh umatnya. Namun, al-Jazairi, muhaddits Syi’ah, mengingkari status mutawatir qiraah sab’ah seraya berkata, “Mengenai status mutawatir qiroah sab’ah berdasarkan wahyu Ilahi dan mengakui bahwa seluruhnya benar-benar turun dibawa oleh Ruh al-Amin (Jibril) dapat mengakibatkan tersingkirnya hadits-hadits (riwayat para imam) yang mustafidloh (populer) bahkan mutawatir yang menunjukkan secara gamblang atas terjadinya tahrif dalam al-Quran dalam segi pembicaraan, materi dan struktur kalimat. Toh, sahabat-sahabat kita telah sepakat atas kesahihan dan kebenaran hadits-hadits tersebut. Memang benar dalam persoalan ini (tahrif), al-Murtadlo, as-Shaduq dan at-Thobary berbeda pendapat dan menetapkan bahwa apa yang tercatat diantara dua sampul mushaf tidak lain adalah al-Quran yang telah diturunkan (kepada Rasulullah) dan di dalamnya tidak terdapat perubahan dan pergantian.
Kemudian as-Syaikh Ni’amtullah al-Jazairi menulis dengan sangat gamblang seraya men-ta’wil-kan pernyataan tiga tokoh besar Syi’ah di atas; “Kelihatannya pendapat mereka muncul karena pertimbangan-pertimbangan yang banyak (taqiyyah)….bagaimanapun juga mereka tertiga telah meriwayatkan banyak hadits-hadits (riwayat para imam) dalam kitab mereka yang memuat terjadinya masalah-masalah yang telah lewat (seputar tahrif), dan ayat turun dengan teks ‘begitu’, kemudian dirubah menjadai ‘begini’.
Al-Jazairi lalu memberikan dalil atas tuduhannya bahwa telah terjadi tahrif dalam al-Quran, dan al-Quran yang ada sekarang bukanlah kitab yang telah diturunkan kepada Rasulullah lewat pernyataannya: “Dari hadits-hadits (riwayat para imam) dapat disimpulkan bahwa al-Quran yang sesuai dengan kondisi ketika turun tidak disusun kecuali oleh Amirul Mu’minin Ali AS bedasarkan wasiat Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, selama enam bulan Ali menghabiskan waktu untuk menghimpunnya. Ketika beliau selesai menghimpunnya sesuai dengan kondisi ketika diturunkan, pergilah beliau dengan membawa al-Quran menghadap orang-orang yang mengaku khalifah sepeninggal Rasulullah. Beliau berkata, “Inilah kitab Allah yang ssuai dengan kondisi ketika diturunkan”. Umar lalu berkata kepadanya, “Kami tidak membutuh-kan kamu dan al-Quran kamu”. Ali lalu berkata kepada mereka, “Kalian tidak akan pernah melihatnya (al-Quran yang dihimpun Ali) setelah hari ini dan tidak seorangpun yang akan melihatnya hingga muncul anakku, al-Mahdi. Dalam al-Quran itu (yang dihimpun Abu Bakar cs) terdapat banyak tambahan, sedang al-Quran ini (al-Quran Ali)terjaga dari perubahan.”
Kemudian al-Jazairi mengutip dari Ushul al-Kafi, sebuah riwayat yang bersumber dari al-Imam Ja’far as-Shadiq. Dalam akhir riwayat tersebut terdapat keterangan; “Apabila telah muncul Imam Mahdi, maka dia akan membaca kitab Allah sesuai dengan naskah otentiknya dan ia akan mengeluarkan mushaf yang ditulis Ali AS”. Setelah mengutip riwayat ini dengan sempurna, al-Jazairi menutup pembicaraannya dengan berkata, “Hadits-hadits (riwayat para imam) yang datang memuat persoalan ini banyak sekali.”
Adapun dalam persoalan mushaf Ali RA, al-Jazairi menuturkan dalam sorotan riwayat-riwayat para imam ma’shum, bahwa ketika muncul ‘pemilik zaman’ (al-Mahdi), terangkatlah al-Quran dari tangan-tangan manusia menuju ke langit, lalu keluarlah al-Quran yang disusun oleh Amirul Mu’minin.2)
1) . Ihtijaju at-Thabrasi 1/377 terbitan an-Najf al-Asyraf.
2) . Al-Anwar an-Nu’maniyyah; III/357-364.
0 komentar:
Post a Comment