Oleh : Den Baguse Wafa
Ada keistimewaan Ramadlan 1432 H kali ini. Yakni bertepatannya Ramadlan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-66, mengingatkan kita dengan kemerdekaan Republik Indonesia yang juga bertepatan dengan bulan Ramadlan. Karenanya edisi kali ini berusaha membahas Korelasi Ramadlan dengan Kemerdekaan Hakiki.
Ramadlan, yang terkenal sebagai bulan suci dan disucikan pada hakekatnya adalah momentum pembebasan. Kehadirannya selalu disambut dengan gegap gempita oleh umat Islam seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Berbagai acara dipersiapkan untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Mulai dari masjid-masjid, pesantren-pesantren, sampai acara di TV-TV penuh dengan nuansa religius. Meskipun begitu, sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas acara tersebut, pada hakikatnya, hanya sebatas permainan citra (image) dan tanda (sign) belaka. Sehingga makna puasa sebagai kekuatan pembebas (liberating power) dari berbagai penjajahan kurang begitu bergaung.
Konteks Kemerdekaan Indonesia
Dalam konteks Indonesia, puasa Ramadlan ini mempunyai hubungan historis- semiotis dengan momentum kemerdekaan RI. Karena hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadlan. Belum lama ini kita telah memperingati hari kemerdekaan itu. Paska momentum kemerdekaan RI yang tak berselang lama tersebut, secara berurutan kini kita disusul dengan puasa Ramadlan. Seolah kita diingatkan oleh sejarah bahwa, dalam konteks Indonesia, antara proklamasi 17 Agustus dengan puasa Ramadlan mempunyai hubungan makna yang signifikan. Apa makna yang menghubungkan kedua momen itu? Jelas: kemerdekaan.
Baik 17 Agustus maupun puasa Ramadlan, dalam konteks Indonesia, adalah dua momentum yang bertemu pada satu titik yakni kemerdekaan. Hanya saja kontek kemerdekaan yang terkandung di dalamnya berbeda. Untuk tujuh belas Agustus, yang merupakan momen terlepasnya bangsa Indonesia dari cengkraman kaum kolonial, adalah cermin dari kemerdekaan fisik. Kemerdekaan dalam konteks ini lebih diorientasikan bagaimana kita tidak lagi ditindas dan dijajah oleh bangsa asing, bagaimana kekayaan alam kita tidak lagi dikuras oleh bangsa penjajah, bagaimana rakyat Indonesia bisa sejahtera, mempunyai papan, sandang dan pangan yang layak dan seterusnya. Semua itu adalah cermin dari kemerdekaan fisik. Meskipun sampai sekarang kemerdekaan itu masih bersifat prosedural dan belum menyentuh pada dimensi substansial.
Sejalan dengan momentum di atas, puasa Ramadlan pada hakekatnya juga mencerminkan spirit kemerdekaan. Namun kemerdekaan yang diusung oleh puasa adalah kemerdekaan jiwa, ruh dan mental-spiritual. Puasa pada hakekatnya adalah kekuatan pembebas (liberating power) dari belenggu penjajahan. Bentuk penjajahan dalam konteks puasa ini adalah hal-hal yang masuk dalam kategori penyakit ruhani, misalnya suka berbohong, berkhianat, suka korupsi, suka maling, arogan, sombong, mau menang sendiri, anarkis, suka bertindak sewenang-wenang dan sebagainya.
Kemerdekaan hakiki juga berarti kita merdeka untuk memperbanyak kebaikan sekaligus merdeka dari anasir-anasir negatif atau kemaksiatan. Hari ini kita mendapatkan fakta bahwa, muslimah yang berjilbab sebagian masih kesulitan bekerja di tempat publik dengan alasan jilbabnya; entah itu rumah sakit atau yang lainnya. Masih ada instansi-instansi yang tidak memberikan kesempatan luas kepada kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tetap pada waktunya. Sebaliknya, kita seakan dibanjiri dengan berbagai kemaksiatan yang sebagiannya tidak bisa kita hadang karena masuk dalam wilayah privasi dan menerobos dalam keluarga kita. Media elektronik yang kaya dengan kemaksiatan namun miskin pendidikan, lokalisasi dan perjudian yang dilindungi, serta pergaulan bebas yang bahkan difasilitasi dengan penjualan kondom secara legal benar-benar membuat kemerdekaan tidak mencapai hakikatnya.
Belum lagi ketika hak umat untuk hidup sejahtera harus terampas karena praktik korupsi yang meraja lela. Baru beberapa hari yang lalu, koran-koran nasional memberitakan bahwa korupsi di berbagai daerah demikian parah, hingga masuk kategori menggurita. Lalu yang dirugikan tentu saja adalah umat, rakyat kecil yang senantiasa taat membayar pajak. Tentu banyak hal yang menjadi catatan hingga kita sampai pada kesimpulan bahwa kemerdekaan sejati belum menjadi milik kita, umat Islam Indonesia.
Tujuan puasa tidak lain adalah membebaskan jiwa atau hati (qolb) kita dari penyakit-penyakit ruhani itu. Karena dengan terjajahnya hati dari penyakit-penyakit tersebut bisa menjadikan diri seseorang berjalan tidak tabil dan kacau. Kekacauan diri ini berimplikasi pada kekacauan sistem dalam masyarakat, bangsa dan negara. Karena sebuah masyarakat, bangsa dan negara dibangun oleh indifidu-indifidu di dalamnya. Atas dasar ini kita tahu bahwa karut-marutnya kondisi negara kita dan semrawutnya tatanan politik kita sekarang ini adalah karena sistem yang ada dikendalikan oleh indifidu-indifidu yang kacau. Aturan main dan etika yang ada di dalamnya dipegang oleh para politikus yang berotak kotor, berhati busuk dan bermental comberan.
Selama ini para pejabat negara baik yang ada di level legislatif, eksekutif dan yudikatif, cenderung suka bermewah-mewah, hidup hedonis dan glamor. Meskipun rakyatnya banyak yang kelaparan, tidak kuat sekolah dan hidup di bawah kolong jembatan, mereka justru melakukan korupsi berjamaah, berbagi-bagi uang dan berfoya-foya. Eksisnya penyakit-penyakit hati tersebut merupakan indikasi bahwa hati dan jiwa kita masih terjajah.Puasa disyariatkan tidak lain adalah untuk membabat habis mental dan hati yang rusak tersebut.
Menuju Kemerdekaan Yang Kaffah
Dengan demikian, bisa diambil makna bahwa hadirnya Ramadlan yang bersanding erat dengan momentum 17 Agustus tersebut, merupakan seruan kepada bangsa Indonesia untuk menuju kemerdekaan yang kaffah, kemerdekaan yang sempurna dan holistik. Kemerdekaan fisik yang telah diraih itu harus disempurnakan dengan kemerdekaan ruhani. Kemerdekaan yang kaffah itu kita aktualisasikan dalam bentuk pengendalian diri. Karena pengendalian diri ini merupakan bukti bahwa seseorang mampu menguasai nafsunya dan bukan sebaliknya.
Selama ini kita gagal dalam memaknai kemerdekaan. Kemerdekaan kita artikan sebagai budaya yang serba boleh. Kemerdekaan kita pahami sebagai usaha untuk bebas menerobos tanpa kenal aturan dan norma-norma yang ada. Makna kemerdekaan kita distorsikan sebagai kebebasan yang tanpa batas: bebas korupsi, bebas menilap uang negara, bebas menggarong, bebas beringkar janji, bebas menindas, bebas menyeleweng dan seterusnya. Pada hal semua ini adalah wujud kebobrokan hati dan mental-spiritual.
Puasa sebagai pengendalian diri merupakan kekuatan pembebas (liberating power) dari kebobrokan hati dan mental tersebut. Ia pada hakekatnya adalah upaya untuk menuju kemerdekaan kaffah tersebut, kemerdekaan yang tidak hanya lepas dari penjajahan kaum kolonial, tetapi lebih dari itu juga terbebas dari berbagai jeratan penyakit hati. Kemerdekaan ini merupakan wujud kebebasan yang sejati.
Jadi kebebasan sejati itu sebenarnya adalah berupa pengendalian bukan pelampiasan. Dan norma-norma inilah yang nantinya berfungsi sebagai alat pengendali.Maka ketika seseorang bisa memenej dirinya dengan norma-norma itu sejatinya bukan berada dalam pengekangan tetapi justru berada dalam ruang kemerdekaan yang sebenarnya, karena dengan norma dan batasan-batasan itu dia bisa menguasai dirinya dan bukan sebaliknya. Karena bisa menguasai diri, maka menjadikan dia leluasa dalam membawa diri.
Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk meraih kemerdekaan hakiki? QS. An-Nisa ayat 97 memberikan ibrah kepada kita mengenai orang yang berdiam diri dalam keterjajahan.
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali"
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan asbabun nuzul ayat ini. Bahwa ada sebagian orang makkah yang berislam secara sembunyi-sembunyi. Namun mereka tidak ikut hijrah ke Madinah. Maka saat perang Badar, mereka dipaksa oleh kafir Quraisy untuk ikut berperang di pihak mereka. Saat melihat orang dari kelompok ini terbunuh, sebagian sahabat yang tahu hendak mendoakan mereka, namun Allah SWT menurunkan ayat ini.
Artinya apa? Kita tidak boleh berdiam diri dalam kelemahan. Kita tidak boleh menyerah dalam kondisi yang tidak ideal. Maka bulan Ramadlan merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk bangkit. Bangkit dalam aqidah Islam yang benar,meninggalkan dan melawan segala bentuk paham sesat,liberalisme,pluralisme,sekulerisme,radikalisme, dan isme-isme lainnya, bangkit untuk menjalankan Islam. Bangkit untuk menunjukkan semua potensi kita. Bahwa kita bisa. Bahwa kita, dengan identitas keislaman kita, siap mencapai kemerdekaan hakiki. Mencapai hidup yang mulia dan mendapatkan ridha dan surga-Nya.
Maka dalam konteks Indonesia, puasa Ramadlan kali ini harus kita fungsikan untuk menuju kemerdekaan atau kebebasan sejati yakni kemerdekaan atau kebebasan yang didasari dengan pengendalian diri.
Semoga bermanfaat,…
0 komentar:
Post a Comment